Rabu, 22 April 2009

TP.PKK Gelar Workshop Management KF dan Penyusunan Tematik

PROBOLINGGO - Sebagai persiapan bagi tutor Keaksaraan Fungsional (KF) yang dibina oleh TP. PKK Kabupaten Probolinggo untuk mendapatkan Sukma I, TP. PKK Kabupaten Probolinggo Selasa (16/12) lalu menggelar workshop management KF dan penyusunan tematik bagi tutor KF se Kabupaten Probolinggo di Pendopo Kabupaten Probolinggo. Kegiatan ini terselenggara karena dilatarbelakangi bahwa pendidikan itu tidak hanya dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal saja melainkan juga melalui Keaksaraan Fungsional (KF).
Ketua Pokja II TP. PKK Kabupaten Probolinggo Rachmi Iskandar mengatakan kegiatan ini diikuti oleh 100 orang peserta yang terdiri dari Ketua TP. Kecamatan dan peserta tutor. Kegiatan ini bertujuan sebagai langkah percepatan pemberantasan buta aksara, pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan, pemberdayaan warga belajar KF dalam bentuk kegiatan positif dan bermanfaat dan untuk memberikan pengetahuan kepada penyandang buta aksara.
"Kegiatan ini bertujuan sebagai motivasi warga belajar untuk maju, pemberian buta aksara untuk bisa menguasai ketrampilan dasar dan baca tulis berhitung, dan untuk meningkatkan sumber daya manusia," ujar Rachmi Iskandar.Menurut Rachmi Iskandar, ada dua materi yang akan diberikan yaitu workshop management KF dan penyusunan tematik. Sementara nara sumber yang akan memberikan materi diantaranya Rachmi Iskandar dari TP. PKK Kabupaten Probolinggo, Roy Iskandar dan Hasyin dari Dinas Pendidikan dan Amrullah dari Tim Forum Komunikasi Tutor Pendidikan Keaksaraan (FKTPK).
"Saya berharap penyelenggaraan Keaksaraan Fungsional (KF) di Kabupaten Probolinggo semakin bagus sesuai dengan tujuannya," harap Rachmi Iskandar.
Sementara Ny. Tantri Hasan Aminuddin sesaat sebelum membuka kegiatan ini mengatakan penyelenggaraan pendidikan dapat ditempuh melalui 3 (tiga) jalur yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pendidikan formal merupakan pendidikan yang dimulai dari SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA sampai perguruan tinggi. Sedangkan jalur pendidikan non formal meliputi PAUD, Paket A, Paket B, Paket C dan kursus-kursus. Sementara pendidikan informal merupakan penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh keluarga dengan basic pengenalan moral spiritual dan sikap kehidupan keseharian dalam kehidupan bermasyarakat.
"Bagi masyarakat yang dalam posisi kurang beruntung dalam keadaan buta huruf, masih bisa tercaver dalam program keaksaraan fungsional dengan spesifikasi pembelajaran calistung dalam konsep pembelajaran tematik," ujar Ny. Tantri Hasan Aminuddin.
Lebih lanjut Ny. Tantri Hasan Aminuddin menambahkan bahwa peningkatan kualitas SDM tutor atau tenaga pendidik merupakan salah satu kunci dalam pelaksanaan program. Penyelenggaraan program KF merupakan pekerjaan yang luar biasa beratnya. Apalagi jika melihat situasi dan kondisi peserta didik atau warga belajar yang nota bene berasal dari kelompok masyarakat kurang beruntung dan ada kecenderungan miskin dan status sosial rendah, sekaligus sudah berumur lanjut yang punya beban ekonomi keluarga.
"Saya berharap, ibu-ibu tutor supaya pandai-pandai mengantisipasi semuanya. Supaya tidak membebani mereka dan mengganggu mereka dalam mencari nafkah," lanjut Ny. Tantri.
Penyelenggaraan kegiatan ini diharapkan ada out put berupa tersusunnya materi tematik bagi penyelenggaraan pendidikan KF. Sebab penyusunan tematik ini mengandung pengertian bahwa program pengajaran harus disusun berdasarkan kebutuhan riil warga belajar dan berdimensi situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya.
"Dari sinilah tutor mengajarkan calistung sekaligus mengajarkan ketrampilan, dan akhirnya diharapkan ada praktek bersama. Proses ini akhirnya merupakan peluang bagi warga belajar untuk menjadi peluang usaha," imbuh Ny. Tantri.(wan)

Kerja Keras Vs Kerja Cerdas - 2

Jika diamati, sistem pendidikan yang selama ini diterapkan di Indonesia tampaknya cenderung membuat pelajar menjadi pasif, atau kurang memotivasi untuk memunculkan kreatifitas. Salah satu alasan mengapa kebanyakan sistem pendidikan di Indonesia (justru) membuat siswa-siswi menjadi pasif adalah karena adanya orang-orang atau sistem tertentu yang memang ingin memastikan bahwa siswa-siswi mereka selalu berada ‘di dalam kontrol’, sehingga ketika ada siswa/i yang memiliki kreatifitas di atas rata-rata justru akan dianggap sebagai murid yang ‘kurang ajar’ atau ‘memberontak.’ Akibatnya, mereka mulai memberikan ‘hukuman’ atau tekanan-tekanan tertentu yang mengharuskan murid menurut tanpa memikirkan lebih lanjut apa yang diperintahkan oleh sang guru.
Hasilnya, murid-murid yang ada tidak memiliki daya saing dan kreatifitas mereka tidak berkembang. Itu sebabnya, sekarang ini banyak orangtua yang memasukkan anak-anak mereka ke sekolah internasional atau bahkan menyekolahkan anak mereka dengan sistem homeschooling, karena dalam homeschooling orangtua memegang peranan yang sangat penting dalam memberikan arahan dan mendidik anak-anak, sehingga potensi yang ada bisa terus di-explore dan dikembangkan sejak dini.Banyak/sedikitnya jumlah siswa dalam satu kelas adalah salah satu alasan mengapa murid yang ada mengalami kesulitan untuk berkembang secara maksimal. Semakin banyak siswa yang ditangani oleh seorang guru, secara otomatis perhatian guru tersebut akan semakin terpecah. Sebaliknya, semakin sedikit siswa yang ditangani, setiap siswa yang ada bisa diperhatikan satu per satu. Dengan demikian, sang guru juga tidak akan kewalahan dengan banyaknya siswa yang harus diperhatikan.Sistem Pendidikan yang KompleksSistem pendidikan adalah hal yang sangat kompleks – ada banyak faktor yang menjadi penyebab dan alasan, sehingga kita tidak bisa hanya menunjuk satu faktor dan satu solusi saja. Akan tetapi, selama ada niat baik dari orang-orang yang bertugas untuk membuat kurikulum, maka masalah-masalah yang ada tetap akan bisa ditemukan jalan keluarnya. Dari tahun ke tahun, sistem pendidikan di Indonesia hampir selalu mengalami perubahan kurikulum. Mungkin pada awalnya perubahan kurikulum ditujukan untuk meningkatkan pembelajaran siswa, namun karena adanya orang-orang tertentu yang memanipulasi hal tersebut untuk menarik keuntungan pribadi (salah satunya bertujuan agar siswa membeli buku pelajaran baru setiap tahun ajaran), maka sistem pendidikan itu sendiri mengalami penurunan yang cukup signifikan.Bicara tentang sistem pendidikan, terlebih dahulu kita harus bicara tentang orang yang menggerakkan sistem itu sendiri. Hal ini kembali berpulang pada para guru dan staf pengajar yang ada. Menurut hemat saya, sistem pendidikan yang baik adalah ketika guru dapat mengenali dan memunculkan setiap potensi yang ada dalam diri siswanya. Sebagai contoh, ada sekolah-sekolah tertentu yang tidak menetapkan target khusus seperti kebanyakan sekolah pada umumnya dalam proses belajar mengajar. Mereka hanya menetapkan tema tertentu dan membiarkan murid-murid menggali pemahaman mereka sendiri. Dengan demikian, siswa yang rajin dan kreatif secara otomatis akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih banyak dari siswa yang lain. Selanjutnya, siswa-siswi yang melakukan penggalian informasi ini diminta untuk melakukan presentasi di depan kelas dan dari situlah guru memberikan penilaian. Selain itu, guru juga memberikan arahan dan tuntunan, khususnya bagi siswa yang prestasi akademisnya masih kurang. Dengan demikian, siswa bukan hanya diajar berdasarkan kurikulum belaka, namun juga dipupuk dan dilatih untuk memberikan presentasi, berkreasi, mengamati, menganalisa, dan menggali informasi.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem sekolah konservatif yang selama ini dianut, yaitu berdasarkan buku teks belaka sehingga tanpa sadar ‘memasung’ kreatifitas siswa yang bersangkutan. Akan tetapi, di sisi lain, sistem baru yang mulai diterapkan oleh sekolah-sekolah ‘plus’ ini memiliki konsekuensi, yaitu dibutuhkan guru yang lebih banyak sehingga satu guru tidak menangani terlalu banyak murid. Inilah yang menjadi masalah di beberapa sekolah, yaitu kurangnya tenaga pengajar baik dalam jumlah maupun kualitas, sementara sekolah menerima siswa dalam kapasitas semaksimal mungkin. Dari sini kita semakin bisa melihat, betapa kompleksnya permasalahan yang ada dalam sistem pendidikan kita.Perbaikan Kualitas SDM Melalui Pendidikan InformalPendidikan informal dapat menolong untuk memperbaiki kualitas SDM yang kita miliki. Itu sebabnya, sebagai orangtua, kita perlu mengamati anak-anak kita saat ini, seberapa jauh kemampuan mereka dalam mengkomunikasikan apa yang ada dalam benak mereka kepada kita maupun kepada teman-teman yang lain. Selanjutnya, kita perlu memperhatikan apakah anak tersebut mampu melakukan pengamatan dengan baik atau berpikir secara logis. Seringkali, prestasi atau nilai yang bagus yang mereka peroleh di sekolah belum tentu menunjang performa mereka di luar. Sebagai contoh: anak kita memiliki nilai yang sangat bagus dalam pelajaran bahasa Inggris di sekolah, namun pada kenyataannya, ia mengalami kesulitan untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa si anak membutuhkan pendidikan informal tambahan, karena akan sangat disayangkan jika ia hanya memiliki nilai bagus dalam pelajaran di kelas namun tidak pada prakteknya. Jadi, ada baiknya kita mencari alternatif pendidikan informal yang mungkin dibutuhkan oleh anak kita.Kecerdasan Spiritual dan EmosionalOrang yang bekerja dengan mengandalkan otot seringkali memiliki tingkat stres yang jauh lebih rendah daripada orang yang bekerja dengan otaknya. Sebenarnya, masing-masing orang memiliki tingkat stres yang berbeda-beda. Memang, orang-orang yang lebih banyak mengandalkan otaknya memiliki tingkat stres yang lebih tinggi karena ada begitu banyak hal yang harus ia amati dan pikirkan dalam waktu yang sama. Satu-satunya cara untuk menanggulangi tingkat stres dalam diri seseorang adalah dengan cara mengembangkan kecerdasan spiritual, sehingga ia bisa terus menjalani kehidupan sehari-hari tanpa mengalami stres. Ini juga yang menyebabkan semakin banyak orang yang tertarik untuk mengikuti yoga, meditasi, dsb., karena mereka meyakini bahwa kegiatan-kegiatan semacam itu dapat menolong mereka menghilangkan stres dan memberi ketenangan. Akan tetapi, sebetulnya itu hanyalah solusi yang bersifat sementara, karena tetap berpusatkan pada kemampuan yang kita miliki secara pribadi. Untuk mengasah kecerdasan spiritual yang kita miliki, kita hanya perlu belajar meningkatkan keimanan kita kepada Tuhan. Semakin kita mengasah kecerdasan spiritual kita, semakin berkurang tingkat stres kita.Pada prinsipnya, intelegensi emosional adalah kemampuan kita untuk beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan karyawannya menunjukkan bahwa ia pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang cukup tinggi. Demikian pula seorang bawahan/karyawan yang berusaha untuk memahami kondisi dan keberadaan pemimpinnya adalah karyawan yang memiliki intelegensi emosional yang cukup bagus. Untuk mengasah intelegensi emosional, kita hanya perlu belajar untuk memposisikan diri dalam keberadaan orang lain, melihat dan berpikir dari sudut pandang orang lain. Hasilnya, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk bisa beradaptasi dan berempati dengan orang-orang lain. Seorang pemimpin yang memiliki intelegensi emosional yang baik akan dicintai dan dihargai oleh karyawannya, demikian pula seorang karyawan yang memiliki emosional yang baik akan disukai oleh rekan-rekannya dan pemimpinnya.Intelegensi emosional memiliki kaitan dengan karakter seseorang. Meski begitu, kecerdasan emosional bisa dilatih dan diasah, sehingga kalaupun karakter kita tampak bertolak belakang (misalnya berangasan), kita tetap bisa memunculkan dan membentuk kecerdasan emosional itu dalam diri kita, sehingga karakter kita turut mengalami perubahan. Tapi jangan lupa bahwa intelegensi emosional juga harus didukung oleh intelegensi visual, intelegensi logis, dan intelegensi-intelegensi lainnya, atau dengan kata lain harus ada keseimbangan di antara ketujuh intelegensi tersebut. Tanpa keseimbangan, orang yang memiliki intelegensi emosional yang tinggi dapat dengan mudah dimanipulasi atau dimanfaatkan oleh orang lain.Orang yang kurang mampu bergaul atau berinteraksi satu sama lain sebetulnya menunjukkan bahwa intelegensi emosional yang ia miliki perlu dikembangkan. Semakin intelegensi emosional kita terasah, semakin kita memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan orang-orang yang baru kita temui untuk pertama kalinya.Sebenarnya, dengan mengasah satu intelegensi, secara otomatis intelegensi-intelegensi lain yang kita miliki akan turut terasah. Sebagai contoh: kita ingin mengasah intelegensi verbal yang kita miliki. Untuk dapat menyampaikan sesuatu, kita perlu mengadakan penelitian atau penggalian atas sebuah topik. Untuk memperoleh hasil yang baik, kita pasti membutuhkan intelegensi visual dan intelegensi logis yang baik pula. Semakin daya analisa kita terasah, bobot dari apa yang kita sampaikan juga semakin teruji. Selanjutnya, dengan mengasah intelegensi kreatif yang kita miliki, ada berbagai macam variasi yang bisa kita pakai dalam menyampaikan topik pembicaraan. Semakin intelegensi kita terasah, kemampuan kita dalam mengerjakan sesuatu juga bertumbuh dengan luar biasa. Satu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah mendisiplin diri sendiri – apa yang memang harus kita kerjakan, kerjakanlah secara tuntas dan maksimal, jangan menunda-nunda.Menurut pendapat sebagian orang, multi-tasking (mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada waktu yang sama) tidak cukup efektif karena hal itu menyebabkan konsentrasi menjadi terpecah. Sebenarnya hal itu tergantung dari kapasitas orang yang bersangkutan. Ada orang-orang tertentu yang dapat melakukan beberapa pekerjaan sekaligus di waktu yang sama dan tetap memberikan hasil yang maksimal, karena mereka memang memiliki kapasitas yang cukup bagus. Sebaliknya, ada orang-orang yang meski hanya melakukan satu pekerjaan, tetap tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Jika selama ini pemimpin kita sering memberikan beberapa pekerjaan sekaligus untuk diselesaikan, sebetulnya itu adalah kesempatan yang baik untuk mengembangkan kapasitas kita, dan bukan menjadikan ketidakmampuan kita sebagai alasan untuk tetap tinggal di zona nyaman. Ingat, kita tinggal di kota di mana level persaingan yang ada sangat tinggi. Tanpa terus meng-upgrade diri, kemampuan bersaing kita akan semakin mengecil dan kita semakin tersingkir dari zona kesuksesan yang ingin dimasuki.Bagi orang-orang yang tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk kembali ke pendidikan formal ataupun informal, tetap ada cara-cara lain untuk mengasah intelegensi, yaitu dengan membaca. Membaca adalah salah satu solusi terbaik bagi mereka yang ingin mengasah intelegensi. Saat ini ada begitu banyak buku yang secara spesifik dapat menolong kita mengasah dan meningkatkan intelegensi-intelegensi tertentu dalam diri kita. Ada langkah-langkah sistematis maupun strategis yang bisa kita aplikasikan dari buku-buku tersebut. Karenanya, saya mendorong Anda untuk banyak membaca, karena ada banyak keuntungan yang akan Anda nikmati dari membaca.Jangan pernah menutup diri bagi sebuah perubahan dan jangan pernah membatasi diri untuk mempelajari hal-hal baru. Ketika kita mau mempelajari hal-hal yang baru dan terus mengalami perubahan, artinya kita sedang terus mendekati titik keberhasilan yang kita impi-impikan.

Bisnis Pendidikan Informal Yang Membidik Ibu-ibu

femaleradio.com-10/11] Tidak perlu jadi desainer interior dulu untuk bisa menata rumah sendiri. Cukup kursus home decoration 3 bulan, rumah Anda akan tertata apik seperti yang sering terlihat di majalah interior. Problem menata rumah yang sering dihadapi para ibu, rupanya menjadi inspirasi 3 orang ibu, Sari, Yanti dan Ria untuk membuka kursus home decoration yang berada di kawasan Wijaya Graha Puri, Jakarta Selatan, 2 tahun yang lalu. Pendidikan informal home decoration ini mereka bernaung dalam sebuah lembaga yang mereka namakan Spectra School of Art & Design. Lembaga pendidikan ini merupakan sebuah pengembangan dari perusahaan konsultasi sumber daya manusia dan administrasi yang telah mereka punya sejak tahun 1995. "Berhubung di kantor kami masih banyak ruang yang bisa dimanfaatkan, maka saya pikir untuk mendirikan sekolah informal, semacam kursus-kursus singkat yang sesuai core bisnis Spectra," ungkap Sari. Dengan keyakinan segala sesuatu bisa dipelajari, aba bakat atau tanpa bakat, maka Sari memantapkan diri membuka kursus home decoration. "Memang sih sudah banyak buku dan program TV yang mengulas home decoration, tapi kan beda dengan di kelas, di situ kita bisa bertanya langsung pada pengajarnya," ujar Sari. Di kelas tersebut, para peserta kursus belajar memadumadankan warna dan furniture dengan asistensi pengajarnya yang seluruhnya berjumlah 4 orang. "Misalnya bagaimana memadukan interior dari jaman Louis XV dengan memadukan gambar-gambar furniture dari jaman tersebut," jelas Yanti, pengajar yang berlatar pendidikan desain dari IKJ. Tak perlu takut tidak punya latar belakang desain ataupun tak bisa menggambar, karena kebanyakan peserta kursus buta sama sekali mengenai home decoration. "Bahkan ada yang sedang bangun rumah, sekalian kursus dan konsultasi," ujar Yanti lagi. Untuk kursus home decoration ini, biaya yang dikenakan adalah sebesar Rp 1.250.000 selama 3 bulan (seminggu dua kali). Walau biaya dikenakan relatif cukup murah, namun pada awalnya Spectra punya kesulitan dalam mencari peserta kursus. Kelas pertama mereka, pada waktu baru dibuka, hanya berjumlah 3 orang saja. Namun, setelah memasuki angkatan, jumlahnya berkembang menjadi 10 orang. Salah satu kendalanya, menurut Ria, adalah para ibu biasa cukup merasa puas dengan menata rumah hanya dengan melihat buku dan majalah. "Mereka bukannya menggali lebih dalam lagi," ujar Ria. Selain membuka kelas home decoration, Spectra juga menyediakan kelas fotografi dan melukis. Untuk kelas yang terakhir ini, lumayan cukup banyak peminatnya. Bahkan, sekitar 38 orang lulusan Spectra pada tahun lalu berhasil diterima di universitas negeri. Sedangkan untuk kelas fotografi, sama seperti kelas home decoration biaya yang dikenakan pun tidak mahal. Untuk kelas fotografi basic, biayanya adalah Rp 1 juta untuk 9 kali pertemuan, sudah termasuk 1 kelas pameran foto. "Untuk mengikuti kelas ini tidak perlu punya kamera canggih kok, dengan kamera saku pun tidak apa-apa," ujar Sari. Konon, yang mengikuti kursus fotografi ini bukan hanya anak muda, tapi para ibu yang ingin mendalami fotografi. Berani mencoba ?

Home Schooling

Homeschool, atau sekolah rumah, adalah sebuah aktivitas untuk menyekolahkan anak di rumah secara penuh. Paham ini mungkin terlihat sedikit nyeleneh karena sementara semua orang menyekolahkan anaknya di sekolah umum, kok ada ya orang yang menyekolahkan anaknya di rumah. Bukankah itu sama saja dengan tidak sekolah. Pemikirin seperti ini terjadi karena ada sebuah proses ahistoris (terpotong dari sejarah) yang melupakan bahwa dulu sekolah memang di mulai dari rumah. Baru kemudian setelah guru menjadi sebuah profesi tertentu sekolah mulai berpindah ke sebuah gedung yang dinamai sekolah.Sekarang, homeschooling mengalami comeback terutama di Amerika Serikat. Perubahan ini terjadi karena dunia pendidikan juga mengalami perubahan dalam abad terakhir ini, yaitu semakin sentralnya lembaga pendidikan di tangan negara. Homeschool adalah sebuah reaksi atas perubahan itu.Bila dikategorikan, alasan-alasan untuk melakukan homeschool bisa dituliskan seperti ini:1. Sekolah tidak mengajarkan iman yang benar kepada anak saya. Terus terang ini sering menjadi alasan utama orang tua untuk men-sekolahrumah-kan anaknya. Paling tidak 80% penggiat homeschool di Amerika adalah golongan ini. Mereka ada penganut Kristen Evangelis dan Fundamentalis yang tidak ingin anaknya diajarkan sains yang bertentangan dengan kitab suci.2. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah bobrok. Banyak bullying di sekolah. Guru-guru juga tidak bisa mendidik dengan baik, malah membuat anak stress. Belum lagi kalau sekolahnya suka tawuran dan rawan kriminalitas. Untuk kasus Indonesia, kemungkinan besar mereka menyekolahkan anaknya karena alasan ini, karena kecewa dengan lembaga pendidikan di sini.3. Tidak setuju dengan filosofi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Sekitar 10% penggiat homeschooling di Amerika memiliki pandangan ini. Mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di rumah saja, dengan pendekatan pendidikan yang mereka sukai.4. Orang tua ingin mengambil tanggung jawab penuh atas pendidikan anaknya. Alasan ini sebenarnya bisa saja merupakan penjelasan lain dari ketiga alasan di atas.Ada beberapa keberatan akan sekolah di rumah yang biasa dikemukakan orang:1. Orang tua bukan guru profesional, bagaimana bisa mereka mendidik anaknya.2. Anak-anak nantinya tidak bisa bersosialisasi karena tidak bergaul dengan anak-anak sebayanya di sekolah.3. Tidak tahu harus memakai kurikulum apa.4. Biaya untuk membeli buku menjadi lebih besar karena tidak bisa meminjam buku dari sekolah.Saya mencoba untuk menjernihkan keempat keberatan di atas.Pertama, semua orang yang lebih tua sebenarnya adalah guru bagi yang lebih muda. Tidak ada orang yang tidak bisa mengajar. Semua orang yang bisa membaca bisa mengajar orang lain membaca. Begitu pula dengan berhitung dan lain-lain. Tetapi bagaimana dengan ilmu-ilmu yang sulit seperti fisika dan kimia? Di sinilah terletak kesalahpahamannya. Homeschooling bukan berarti orang tua mengajar anak, melainkan orang tua belajar bersama anak. Jadi tidak ada keharusan bahwa orang tua harus menguasai materi pelajaran. Kalau ada kesulitan dalam menguasai materi, bantuan bisa dicari kemudian.Kedua, sekolah di rumah tidak berarti sang anak harus dikurung di rumah. Anak tetap bisa bebas bermain dengan tetangga, atau malah disekolahkan di sekolah non-formal yang lain seperti sekolah musik atau sekolah olahraga.Ketiga, sekarang, dengan kemudahan teknologi informasi, akses akan kurikulum dapat diperoleh dengan mudah. Kelompok-kelompok orang tua yang menjalankan homeschooling juga sudah mulai bermunculan.Keempat, biaya untuk homeschooling malah bisa lebih rendah, karena tidak harus keluar biaya gedung, seragam, uang transpor dan jajan. Memang belanja buku di awal akan terlihat besar, namun bila dibagi pertahun akan jauh lebih murah dari biaya sekolah total.Yang patut diperhatikan adalah homeschooling menuntut tanggung jawab yang besar dari orang tua akan perkembangan anaknya. Ini adalah komitmen yang tidak mudah, apalagi untuk orang kota. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk menjalankan homeschool saya bisa memberikan beberapa saran ini:1. Yakinkah Anda, bahwa Anda akan memprioritaskan waktu dan tenaga Anda untuk pendidikan anak Anda?2. Carilah informasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan. Kalau bisa malah ngobrol dengan orang yang sudah menjalankannya.3. Cek di Dinas Pendidikan daerah Anda apakah anak Anda bisa mendapatkan ijasah formal atau persamaan dan bagaimana caranya, sebab ini berkaitan dengan kelanjutan studi anak Anda di jenjang yang lebih tinggi.4. Jangan memaksa anak untuk homeschool, berikan pengertian kepada dia. Jika ia lebih suka sekolah formal, biarkan saja. Kecuali bila anak sudah lebih besar, Anda bisa lebih memberikan pertimbangan lebih banyak kepada anak Anda, karena ia sudah bisa diajak berdialog dan berdebat bila perlu.

Kala suara anak jalanan terendam "live music'

JAKARTA, RABU - Bagi kalangan kelas menengah ke atas, menikmati hiburan live music menjelang pergantian tahun merupakan hiburan yang menyenangkan. Namun bagi anak-anak jalanan yang biasa berprofesi sebagai pengamen, hingar bingar live music justru mengurangi pendapatan mereka hari ini.
Ketika ditemui di kawasan Tebet Utara Dalam, enam orang anak jalanan yang biasa beroperasi di sejumlah kafe yang memang berjejer di ruas jalan Tebet Utara Dalam sedang bercengkerama di trotoar di pertigaan ujung jalan ini. Hingar bingar live music dari Comic Cafe, Burger and Grill dan sejumlah kafe lainnya memaksa mereka harus diam.
“Nggak boleh ngamen. Dimarahin ama penjaganya,” ujar Harupin (9).
Teman-temannya, Doni (6), Iwan (10) dan Riswan (11) sibuk mencoba terompet tahun baru yang baru saja mereka peroleh dari penjual terompet di tempat itu dengan cuma-cuma.
Sementara itu, teman lainnya Oki (11) dan Doni (10) menyusul kemudian. Doni yang berumur 10 tahun mengaku sering mengamen di daerah ini dengan intensitas tak tentu. Sekali-kali bisa saja pindah ke daerah lain atau justru di kereta rel listrik (KRL) ekonomi. Seharinya, sekitar Rp 10.000-20.000 bisa mereka kantongi. Jika ngamen bertiga, tentu saja uangnya harus dibagi tiga.
Menjelang 2009, tak ada satupun dari mereka yang mengungkapkan harapan khusus yang mereka inginkan. Bahkan, Doni yang ayah ibunya tidak akur hingga pisah rumah hanya terdiam ketika ditanya mengenai rencananya di tahun depan.
“Apa ya? Nggak tau,” ujarnya lalu diam. Nggak ingin sekolah? “Oh iya, mau,” tandas Doni meralat jawabannya.
“Nggak mungkin,” seru Harupin yang memang agak usil.
Meski gelap malam menyamarkan senyum simpul Doni, senyumnya melanjutkan tekad yang baru saja diucapkannya. Asal saja, kesempatan pun segera diberikan kepada anak-anak tidak mampu seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan menjadi 20 persen oleh pemerintah.

Pendidikan Luar Sekolah Belum Banyak Diakui

Jakarta, Kompas - Pengakuan masyarakat terhadap pendidikan luar sekolah (PLS), masih belum sama. Bahkan, di kalangan pendidikan sendiri masih banyak yang tidak menganggap pendidikan luar sekolah sebagai kegiatan pendidikan yang turut mencerdaskan anak bangsa.
“Pengakuan terhadap PLS masih parsial. Meskipun di beberapa daerah banyak yang sudah mengakui lulusan PLS, namun tidak sedikit yang masih tak acuh,” ujar Direktur Pendidikan Masyarakat Ekodjatmiko Sukarso di Jakarta, Selasa (17/6). Kepada Ekodjatmiko dimintakan tanggapan tentang ditolaknya lulusan program paket C (setara SLTA) dari Serang oleh panitia Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Jakarta untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi
Menurut Ekodjatmiko, penolakan ini di satu sisi sebagai bukti bahwa jajaran pendidikan sendiri belum memberikan pengakuan, tetapi di sisi lain menjadi pemicu semangat untuk membuktikan diri bahwa lulusan PLS juga bermutu. Dari segi mutu soal ujian, peserta paket A (setara SD), B (setara SLTP), dan C sudah mempergunakan soal dari Pusat Pengujian Depdiknas seperti dilakukan bidang persekolahan.
“Selain persoalan klasik, yang sering dipertanyakan orang adalah tentang proses pendidikan yang dilakukan di PLS. Adapun mutu soal ujian sudah sama dengan persekolahan,” ujarnya.
Menurut Ekodjatmiko, di PLS sudah lama menerapkan konsep belum lulus bagi warga belajarnya. Sebuah prinsip yang mirip dengan ketentuan lulus yang diterapkan di persekolahan saat ini. “Bagi kami di jajaran PLS, warga belajar yang belum lulus harus mengikuti proses belajar lagi agar ikut tes berikutnya hingga bisa dinyatakan lulus. Jadi tidak ada permainan nilai,” ujarnya.
Ekodjatmiko menilai, jajaran pendidikan mendatang harus lebih siap lagi mengakui model pembelajaran yang berbeda dengan model persekolahan. Apalagi UU Sisdiknas yang disahkan 11 Juni lalu tidak hanya mengakui pendidikan nonformal seperti yang dilakukan PLS, tetapi juga pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar mandiri.
“Pengakuan ini ada pada Pasal 27 Ayat (1). Jadi masyarakat yang tidak puas dengan model persekolahan yang ada bisa melakukan pendidikan mandiri. Jika peserta didik itu lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan, mereka akan mendapat pengakuan yang sama dengan pendidikan formal dan nonformal,” ujarnya. (MAM

LP3M Laksanakan Pendidikan Layanan Khusus

LP3M unismuh kerjasama dengan Diknas menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi anak nelayan di Desa Aeng Batu-Batu Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Kegiatan ini diikuti oleh kurang lebih 50 orang anak putus sekolah yang dibagi dalam 2 kelas yaitu kelas setingkat SMA dan kelas untuk tingkatan SMP.
Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatan pengetahuan anak-anak nelayan yang putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP dan SMA. Namanya saja pelayanan khusus, jadwalnya juga dibuat khusus yaitu hari sabtu dan minggu. Kegiatan ini dilaksankaan selama 6 kali pertemuan yang materinya meliputi bidang studi matematika, agama, ekonomi, biologi, dan bidang studi lainnya berdasarkan kebutuhan daerah setempat.
Pendidikan Layanan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Warga yang Membutuhkan Pendidikan Khusus Diminta Melapor

JAKARTA - Warga yang membutuhkan layanan pendidikan khusus diminta melapor ke dinas pendidikan setempat atau langsung ke Departemen Pendidikan Nasional. Pemerintah, kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso, akhir pekan lalu, akan membantu melalui subsidi biaya operasional pendidikan dan biaya alat keterampilan.
Besaran bantuan yang akan diberikan berkisar Rp 30-100 juta. Hingga kini ada 196 lembaga atau yayasan, 18 lembaga pemasyarakatan anak, dan 14 sekolah Indonesia di luar negeri yang menjadi penyelenggara pendidikan layanan khusus yang terdaftar dan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Penyelenggaraan pendidikan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Eko mencontohkan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak di daerah transmigrasi di Sumatera Barat, untuk anak-anak jalanan di Jakarta Selatan, dan anak-anak suku pedalaman di Mentawai.
Salah satu sekolah pendidikan layanan khusus di Jakarta yang dikunjungi Tempo adalah di Perkampungan Nelayan Blok Empang, Kampung Baru, Muara Angke, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Pendidikan yang dikelola Yayasan Lentera Bangsa ini mulai dirintis pada 2003, tapi baru aktif pada 2005.
Sekolah yang dibangun tepat di atas empang ini berukuran 6 x 12 meter, beralas kayu, dan beratapkan tripleks. Sekolah dibangun semipermanen dengan bahan baku bambu dan kayu. Di sekolah ini tidak ada jendela sehingga angin bebas masuk dari sela dinding bambu yang tak rapat. Di sana juga tidak ada kursi dan meja seperti sekolah pada umumnya. Sekolah ini dibangun dengan subsidi Rp 60 juta dari pemerintah.
Sekolah ini sebenarnya memiliki sekitar 300 siswa, tapi hanya 180 orang yang aktif. Siswa berbaju warna-warni dan tanpa alas kaki belajar di ruangan yang dibagi menjadi dua bagian sama besar. Karena luasnya yang tidak memadai, siswa di satu kelas harus belajar sambil memunggungi kawan di kelas lainnya.
Pendidikan layanan khusus yang digelar mulai tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas ini gratis. Seluruh kebutuhan siswa, termasuk buku sekolah dan alat tulis, disediakan yayasan. Sekolah hanya tidak menyediakan seragam.
Kepala Sekolah Sobirin menyatakan orang tua siswa kebanyakan berprofesi sebagai nelayan, buruh angkut, buruh lelang, pemungut ikan, dan pemulung. "Kalau Jumat, Sabtu dan hujan, biasanya hanya beberapa anak yang masuk," katanya.
M. Khairun, salah satu siswa kelas II, mengatakan proses belajar di sana menyenangkan. "Gurunya baik walaupun sekolahnya cuma seperti ini," kata anak 10 tahun itu. Ia sekolah karena tidak ingin menjadi buruh angkut seperti ayahnya. "Saya mau jadi pemain bola." REH ATEMALEM SUSANTI

Mendigitalkan Pulau Sumatera

Lewat program Education for Tomorrow Telkom Divre Sumatera coba mendigitalkan Pulau Sumatera. Target mereka satu juta siswa paham dan mengerti internet. Akankah langkah ini berhasil, setelah sebelumnya program mendigitalkan Pulau Sumatera yang diusung sembilan gubernur sejak 2001 tak terdengar kabarnya lagi.Ada secercah cahaya yang datang dari sebuah obor yang kini mengitari pulau Sumatera. Mulai dari Aceh Darusalam, Medan, Riau, Padang, Bangka Belitung, Palembang, hingga Lampung. Secercah cahaya itu membawa asa bagi dunia pendidikan khususnya dan dunia TI pada umumnya. Jika nantinya secercah cahaya itu mampu menerangi seluruh provinsi/kabupaten/kota di Pulau Sumatera, bukan tidak mungkin akan membawa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat di sana. Secercah cahaya itu datang dari sebuah obor bernama Telkom Sumatera. Perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia itu, memang saat ini tengah menyisir Pulau Sumatera lewat program yang bernama Education for Tomorrow. Melalui program ini Tekom Sumatera menargetkan satu juta pelajar di Sumatera paham dan mengerti internet. Untuk mencapai target tersebut, tak heran jika Muhammad Awaluddin yang mengepalai Divre Telkom Sumatera dan stafnya terlihat sibuk lalu lalang dari satu daerah ke daerah lainnya. Kadang berada di Aceh, kadang esoknya sudah terbang ke Palembang. Bukan cuma daerah-daerah di Sumatera yang ia jambangi, beberapa perusahaan vendor besar di Jakarta pun dia datangi untuk mengajak kerja sama membantu menerangi Pulau Sumatera.Kesenjangan DigitalItulah salah-satu kegiatan yang terjadi di Pulau Sumatera belakangan ini. Ada satu keinginan untuk menjembatani kesenjangan digital (digital divide) yang masih menyelimuti negeri ini, terutama di Pulau Sumatera. Di tengah seabrek persoalan di negeri ini, memang acapkali persoalan yang satu ini terlupakan. Padahal, kesejangan digital sejatinya juga menjadi persoalan serius yang perlu mendapat penanganan segera. Pasalnya, hidup di era teknologi dalam kancah global, TIK menjadi salah satu penyokong penting dalam kehidupan sehari-sehari salah-satunya kesempatan dalam mengakses informasi. Nah, bila digital divide belum teratasi, bisa dibayangkan: hidup dalam ketertinggalan. Muhammad AwaluddinExecutive General Manager Telkom Divisi Regional IHal inilah yang tampaknya disadari oleh Telkom Divre Sumatera. Mereka coba ikut berpartisipasi mengatasi digital divide dengan menggelontorkan program. Education for Tomorrow. Menurut Executive General Manager Telkom Divisi Regional I Muhammad Awaluddin, dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, gap kesen-jangan digital di Indonesia masih besar. “Di Malaysia, ujian sekolah sudah menggunakan sistem online intranet/internet,” ujarnya memberi contoh. (Dari kiri ke kanan) Sosialisasi Program Education for Tomorrow di Provinsi Riau dan Riau Kepulauan, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan.Dijelaskan oleh Awaluddin, Education for Tomorrow adalah program penyiapan metode pendidikan masa depan dengan menggunakan teknologi informasi untuk seluruh aktivitas pendidikan di sekolah. Praktis, semua kegiatan seperti pekerjaan rumah (PR), ujian, pengumuman, nilai, buletin, interaksi antara orang tua, murid dan guru, dilakukan secara online yang dapat diakses melalui web sekolah atau one stop school service. Untuk itu Telkom Divre Sumatera mengenalkan komputer, internet berikut manfaatnya serta mengenalkan aplikasi internet untuk menunjang aktivitas kehidupan pada komunitas pendidikan. “Kami ingin membentuk komunitas pendidikan yang berbasis TI,” tandasnya lagi. Yang menjadi sasaran adalah sekolah, guru, dan siswa. Sebelumnya, beberapa tahun lalu, Telkom meluncurkan Internet Goes to School. Hanya saja, program yang mensosialisasikan internet ke siswa yang masuk dalam early adopter ini belum sepenuhnya dibarengi dengan adanya database yang bagus yang selanjutnya memungkinkan adanya program pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Education for Tomorrow dibagi dalam empat tahapan. Pertama, persiapan dan sosialisasi untuk mengenalkan manfaat internet bagi kepentingan sekolah dan dunia pendidikan. Kedua, pematangan: berupa layanan internet khusus sekolah dan komunitas pendidikan. Ketiga, pemantapan guna mendukung penyediaan fasilitas akses internet dunia pendidikan. Keempat, implementasi: yakni pemanfaatan internet guna meningkatkan komunitas internet dan dunia pendidikan yang dibarengi dengan penyediaan infrastruktur dasar. Program tersebut dijalan secara paralel tergantung kepada kondisi siswa dan sekolah. “Kalau siswanya sudah mengenal internet ya kita langsung kepada tahapan kedua dan seterusnya,” jelas lulusan S2 International Management di European University Antwerpen, Belgia, ini. Sebenarnya apa yang dilakukan Telkom tak jauh berbeda dengan program yang digelar Departemen Pendidikan Nasional melalui Jardiknas (Jaringan Pendidikan Nasional). Dan ini disadari oleh Awaluddin. Justru karena itulah, ia menuturkan bahwa Education for Tomorrow menjadi bagian aksi nyata program Jardiknas. “Kami saling bersinergi sekaligus mendukung program tersebut.” Wujudnya? Telkom akan membantu memperbanyak titik koneksi sekolah, membantu percepatan layanan data dan informasi pendidikan secara terpadu, serta membantu percepatan komunitas pendidikan.Skala SumateraMengingat Telkom Divre Sumatera membawahkan area Sumatera, maka kegiatan Education for Tomorrow fokus ke wilayah tersebut. Program ini menyasar 1 juta pelajar yang targetnya rampung sampai 2007. Angka sebesar itu mencakup sekitar 10 persen dari populasi pelajar Sumatera yang berjumlah 9,7 juta. Penduduk Sumatera sendiri mencapai 48 juta jiwa. Sejauh ini, dijelaskan Awaluddin, Telkom Divre Sumatera sudah memberikan edukasi kepada hampir 300 ribu lebih siswa. Ketika ditanya di saat penghujung tahun tinggal beberapa bulan, apa mungkin merealisasikan target satu juta pelajar, dengan nada optimistis Awal yang pernah menjabat sebagai Vice President & Marketing Communication PT Telkom ini menjawab, “Kami yakin bisa mencapai satu juta.” Apalagi, lanjutnya, hampir semua Pemkab/Pemkot yang tersebar di 10 provinsi menyambut baik program tersebut. Dan sebagai komandan program Education for Tomorrow, Awal secara intens memantau perkembangan program tersebut dan tak segan terjun langsung ke lapangan. Selain pelajar, edukasi juga diberikan kepada guru. Mulanya, diakui Awal, program Education For Tomorrow hanya ditujukan kepada pelajar. Toh faktanya, masih banyak guru di Sumatera belum mengenal dan mengerti komputer dan akses internet berikut pemanfaatannya bagi pendidikan. “Akhirnya guru juga diedukasi dan kami juga mengelar training of trainer (TOT),” ujar pria yang ingin memasukkan Education for Tomorrow ke dalam program Unesco atau International Telecommunicaton Union (ITU) ini. “Apa yang kami lakukan juga sesuai dengan Millenium Development Goals (MDG),” imbuhnya. Akses Terbatas dan Harga MahalAdanya program Education for Tomorrow yang membuat siswa jadi melek internet, patut diapresiasi. Hanya saja persoalan sekarang, setelah mereka mengerti dan bisa menggunakan internet, bagaimana dengan media untuk mengakses akses dan biaya sewa bandwith? Seperti kita ketahui, belum seluruh sekolah di Indonesia termasuk Sumatera memiliki laboratorium komputer. Dan masih banyak siswa yang belum bisa memiliki komputer atau laptop sebagai media akses. Belum lagi harga sewa bandwith masih cenderung mahal. Akibatnya, harga sewa internet di warung juga tak terjangkau oleh pelajar. Pemberian bantuan komputer kepada 6 sekolah di Banda Aceh.Dua hal tadi tidak ditampik Awal dan ia melihatnya sebagai tantangan yang harus dicarikan jalan keluarnya. Untuk itu, Telkom Divre Sumatera memberikan bantuan komputer kepada sejumlah sekolah. Selain itu, mereka akan mengajak para vendor yang berkenan memberikan bantuan komputer atau setidaknya bisa memberi harga khusus untuk pembelian komputer. Nah, soal harga, Telkom Divre Sumatera berencana untuk memberikan harga khusus bagi sekolah dan siswa. “Yang ada di benak saya, untuk siswa, mereka bisa membeli semacam kartu untuk akses internet layaknya voucher pulsa dengan harga yang terjangkau.” Sementara itu, bagi sekolah, Awaludin menawarkan akses internet murah via Speedy. Apalagi, dari 126 kabupaten/kota di Sumatera, 26 di antaranya sudah tersedia layanan Speedy. Sejalan dengan Education for Tomorrow, Telkom Divre Sumatera mendeklarasikan Generasi Digital Sumatera yakni siswa yang telah mengaplikasikan TIK dalam kehidupan sehari-hari. Parameternya memiliki email, memanfaatkan blog site, memanfaatkan internet sebagai sumber informasi yang intens, sistem informasi dalam mendukung aktivitas lainnya. Yang sudah meregister tercatat 12 ribu siswa tapi yang baru dilantik sekitar 5.500 siswa yang tersebar di 10 provinsi. Kampung Digital dan Pesantren Digital adalah dua rencana lain yang tengah disiapkan Telkom Divre Sumatera. Bisnis Informasi Di balik kemasan kegiatan tersebut, Awaluddin tidak menampik bahwa apa yang mereka lakukan juga mengemban sisi bisnis. Melek TI membuat Telkom sebagai salah-satu Internet Service Provider (ISP) akan kecipratan berkah. Selain itu, kondisi ini akan memunculkan peluang bisnis baru yakni konten. Menurut Awaluddin, selama ini Telkom telah berkecimpung di bisnis komunikasi yang sering cenderung sudah banyak pemain. Dengan makin banyaknya pelajar maupun masyarakat TI, harus dibarengi adanya konten yang menarik sesuai kebutuhan. “sehingga mereka tetap connect,” tuturnya yang melihat value business dalam bidang konten. Apa yang dilakukan Telkom Divre Sumatera ini mudah-mudahan dapat terus eksis keberadaannya. Enam tahun lalu (2001) sembilan gubernur se-Sumatera telah sepakat untuk bersatu lewat dunia maya. Mereka bertekad untuk mewujudkan Sistem Informasi Terpadu Sumatera, salah-satunya lewat pengembangan TIK. Sistem informasi terpadu yang akan mencakup antar-pemerintah seSumatera (G to G), pemerintah ke pelaku bisnis (G to B), dan pemerintah ke masyarakat (G to C) itu tidak terdengar kabarnya hingga sekarang. Target mereka pada 2005 semua provinsi plus kabupaten sudah online, tampaknya hanya omong kosong belaka, karena hingga tahun ini kenyataan tersebut tak bisa dilihat dengan mata telanjang sekalipun. Mudah-mudahan Education for Tomorrow yang dilakukan Telkom Divre Sumatera bisa menjadi obat pelibur lara dalam usaha kita bersama meng-online-kan Pulau Sumatera. (FR, AZ)

Jabar Perluas Layanan Pendidikan Bagi Pencat

Perkembangan layanan pendidikan untuk kalangan penyandang cacat (pencat) atau dikenal dengan istilah lain yaitu kalangan masyarakat berkebutuhan khusus masih terbatas. Layanan pendidikan, sampai posisi akhir tahun 2007 bagi kalangan pencat baru menyentuh 12.000 orang. Adanya fakta tersebut, Jabar terus memperluas layanan pendidikan bagi kalangan pencat, papar Kasubdin PLB Jabar, Nondi Hidayat ketika dihubungi jabarprov.go.id (21/4) di ruang kerjanya di Kantor Disdik Jabar, Jalan Rajiman Kota Bandung .

Menurut Nondi, Disdik Jabar dalam menggali informasi perihal perkembangan layanan pendidikan bagi pencat di Jabar, sudah melakukan studi sampling yang dilakukan di 11 desa, 1 Kecamatan di Kabupaten Sukabumi.

Berdasarkan studi sampling tersebut, dari jumlah pencat sebanyak 83 orang, baru 15 orang yang mendapatkan layanan pendidikan. Dari hasil studi sampling tersebut serta dengan mempertimbangkan jumlah Kecamatan di Jabar yang mencapai 574 dan jumlah desa/kelurahan yang mencapai kurang lebih 5.920 desa, layanan pendidikan bagi pencat perlu terus ditingkatkan.

Tentang perluasan layanan pendidikan, tidak hanya diperuntukkan untuk kelompok anak usia sekolah, tetapi layanan pendidikan tersebut juga harus menyentuh usia pencat dari berbagai kelompok usia. Implikasi atas hal tersebut, untuk penyelenggaraan layanan pendidikan bagi pencat disamping direalisasikan melalui pendidikan formal juga dapat dilakukan melalui pendidikan luar sekolah misalnya melalui program Kejar Paket A dan Kejar Paket B.

Nondi, menambahkan dalam rangka perluasan layanan pendidikan bagi pencat Jabar mempersiapkan berbagai langkah. Pertama, untuk memperluas tempat pembelajaran Ponpes juga dijadikan tempat belajar untuk pencat selain SLB.

Penggunaan Ponpes mulai direalisasikan tahun 2008 dan sebanyak 3 Ponpes mulai digunakan untuk kegiatan belajar kalangan pencat, yaitu Pesantren di Cililin KBB, Cimahi dan Sindangsari Ciamis.

Terkait dengan pemanfaatan ponpes sebagai tempat belajar kalangan pencat, di tahun 2008 disediakan dana sebesar Rp.45 juta per Ponpes. Dana tersebut dialokasikan untuk penataan awal dan di tahun 2009 direncanakan di Ponpes tersebut akan dibuat tempat belajar dan tempat pemukiman.

Langkah kedua, dalam rangka perluasan layanan pendidikan adalah melakukan penjaringan data kelompok pencat yang belum terlayani pendidikan. Penjaringan dilakukan di semua desa di Jabar. Proses penjaringan dilakukan oleh seluruh guru sukwan yang mengajar di SLB.

Langkah ketiga, ujar Nondi adalah mapping school. Langkah tersebut dimaksudkan untuk penempatan belajar kalangan pencat, melalui penempatan tersebut kalangan pencat dapat ditempatkan di SLB, Ponpes, sekolah inklusif dan di pendidikan non formal.

30 juta Anak Butuh Pendidikan khusus

JAKARTA (SI) – Lebih dari tiga juta anak membutuhkan pendidikan layanan khusus (PLK). Jumlah itu merupakan anak usia sekolah yang tidak tertampung pada sekolah umum dikarenakan akses pendidikan tak terjangkau,putus sekolah, berada di daerah konflik, luar negeri atau karena kebutuhan khusus lain.”PLK sangat fleksibel, mulai dari kurikulum, waktu belajar hingga pada kebutuhan sumber daya gurunya,”kata Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ekodjamitko Sukarso kepada Seputar Indonesia (SI) kemarin. Hingga saat ini, kata Eko,PLK sudah berjumlah 196 sekolah.Tersebar di dalam dan luar negeri. ”Termasuk PLK yang melayani anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan-perkebunan milik Malaysia,”tuturnya.Dia menerangkan, lebih dari 3 juta anak yang membutuhkan PLK tersebut terdiri atas pekerja anak berjumlah 2,6 juta orang, 15.000 anak-anak di daerah transmigrasi, serta 2.000 anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) anak. ”Belum lagi kebutuhan PLK untuk anak korban perdagangan orang (trafficking), di daerah pelacuran, konflik, dan anak-anak penderita HIV/AIDS serta anak putus sekolah yang datanya belum terhimpun,” ujar Eko. Sementara itu, pada Sabtu (11/4) Eko meresmikan satu-satunya PLK di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.Dia berharap PLK yang melayani anakanak putus sekolah dan anak-anak nelayan yang terletak di pesisir pulau terpencil itu bisa dijadikan model bagi PLK-PLK lain. PLK yang memiliki jam belajar di sore hari dan hanya mempunyai waktu pertemuan tiga kali seminggu tersebut bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah Gresik. (rendra hanggara)

Pencari Bakat Anak Berkebutuhan Khusus

Tidak ada kesejarahan yang menyebabkan keterlibatannya dengan dunia orang-orang berkebutuhan khusus, kecuali latar belakang kuliahnya di IKIP Yogyakarta, Jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tidak banyak pula orang yang berusaha menampilkan orang-orang berkemampuan khusus ini secara massal dalam sebuah gerakan.
Orang yang melibatkan diri dalam dunia orang-orang berkebutuhan khusus dalam satu kehebohan massal itu adalah Ciptono.Kehebohan terjadi pada suatu hari di tahun 2002. Pada hari itu, jalan-jalan protokol Kota Semarang dipadati arak-arakan mereka yang berkebutuhan khusus, mulai dari tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita. Mereka berjalan perlahan, merayap di atas kursi roda bersama orangtua dan guru-guru sekolah luar biasa. Hari itu sekan-akan menjadi "hari mereka yang berkebutuhan khusus"."Tujuan saya mengadakan acara bagi mereka yang berkebutuhan khusus itu tidak lain untuk mencari bakat-bakat terpendam yang ada pada diri mereka. Ternyata saya memang bisa menemukan bakat-bakat mereka," kata Ciptono.Dia mengenang kiprahnya di balik penyelenggaraan acara bertajuk "Lomba Jalan Sehat Keluarga Pendidikan Luar Biasa" itu.Pria kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, ini ditemui di Jakarta pekan lalu seusai menerima penghargaan ISO 2009 di Lampung.Ciptono lalu menjelaskan latar belakang diadakannya acara jalan sehat itu. Acara tersebut diselenggarakan agar para siswa berkebutuhan khusus bisa tampil lebih percaya diri di tengah masyarakat. Prinsipnya, kata Ciptono, ?Mereka (berkebutuhan khusus) tidak perlu dikasihani, tetapi harus diberi kesempatan.?Maka, acara itu kemudian digunakan sebagai kesempatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus untuk menampilkan kemampuannya, di bidang seni maupun keterampilan.Dari acara terbesar pertama di Semarang bagi mereka dengan kebutuhan khusus ini ditemukanlah Delly Meladi, penyandang tunanetra bersuara merdu yang mampu menghafal lebih dari 1.000 lagu. Penyandang tunanetra lainnya, Mega Putri, ditemukan sebagai pembaca puisi. Ada lagi Bambang Muri, penyandang tunagrahita, yang sama seperti Delly pandai bernyanyi.Ciptono tidak menyangka bahwa kegiatan jalan sehat itu telah melahirkan efek domino yang baik bagi perubahan mereka dengan kebutuhan khusus. Selain bisa muncul dari panggung ke panggung, suara mereka juga direkam dalam bentuk kaset atau video compact disc (VCD).Sampai sekarang Ciptono telah menghasilkan lima VCD dan satu kaset. Salah satunya adalah VCD yang dikeluarkan Badan Koordinasi Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah berlabel Keplok Ora Tombok (ikut bersenang-senang tanpa membayar).VCD itu menampilkan Delly, Mega, dan Bambang. Penari latar yang mengiringi ketiga penyanyi itu pun berasal dari siswa-siswi SMALB C/D1 YPAC Semarang."Pokoknya semua yang terlibat di dalamnya adalah anak-anak berkebutuhan khusus," kata Ciptono.Orangtua mampuSetelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (dulu bernama IKIP Yogyakarta) tahun 1987, Ciptono langsung mengajar di SLB Wantu Wirawan Salatiga dengan gaji Rp 5.000 per bulan plus Rp 700 untuk uang transpor.Dia berkisah, uang sebesar itu habis dalam waktu lima hari saja. Untunglah, karena orangtuanya terbilang mampu, ongkos transportasi sehari-hari ditanggung ayahnya, Jayin Hartowiyono. Sementara sang ibu, Suntianah, menyerahkan semua keputusan untuk tetap mengajar di SLB kepada Ciptono.Dia mengaku, jiwa sosial untuk menolong anak-anak berkebutuhan khusus itu muncul sejak lulus SMA tahun 1982."Maunya lulus Fakultas Kedokteran UGM karena saya bercita-cita menjadi dokter. Tetapi, karena diterimanya di IKIP Jurusan Pendidikan Luar Biasa, ya saya harus mengajar di SLB,? katanya.Meski orangtuanya cukup berada karena memiliki armada bus Gotong Royong dan Hidayah di kota kelahirannya, Salatiga, saat masih kanak-kanak Ciptono dititipkan kepada neneknya dengan pendidikan ?keras?. Ia mengaku, neneknyalah yang mendidiknya untuk mencintai sesama, khususnya mereka yang tidak mampu dan berkekurangan."Boleh dibilang saya dilatih (Nenek) untuk tidak tegaan," katanya.Tahun 1989 ia mengajar Pendidikan Sejarah dan Perjuangan Bangsa dan dasar-dasar pendidikan luar biasa di pendidikan guru agama negeri. Pada tahun itu juga ia menjadi calon pegawai negeri sipil SLB C YPAC Semarang. Dari keseringannya bergaul dengan mereka yang berkebutuhan khusus, Ciptono mulai menemukan kenyataan bahwa di antara anak-anak itu ada yang memiliki bakat khusus.Misalnya, ia menemukan Andi Wibowo, penyandang tunagrahita yang mampu menggambar dengan menggunakan dua tangan secara bersamaan. Andi ?hanya? memiliki IQ 60, di mana umumnya, menurut Ciptono, anak-anak itu ber-IQ 90.Untuk memunculkan anak-anak berkebutuhan khusus yang punya kemampuan khusus, ada saja acara yang dia ciptakan setiap tahun, mulai dari donor darah, halalbihalal, sampai merayakan Natal. Semua acara itu selalu melibatkan siswa-siswi berkebutuhan khusus. Sampai-sampai saat mereka tampil di sebuah mal pada 19 Desember 2008, banyak orang tidak percaya bahwa itu suara asli mereka yang berkebutuhan khusus.?Mereka tahunya itu suara pura-pura atau tiruan, bukan suara mereka yang sebenarnya. Padahal, itu asli suara mereka dengan kebutuhan khusus, mulai dari tingkat SD sampai SMA,? tutur Ciptono.Tujuh rekorAtas prestasinya memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus, Ciptono yang pada 2003 menyabet juara I Lomba Mengarang dan Pidato Antarguru SLB se-Jawa Tengah itu mendapat berbagai penghargaan dari dinas pendidikan sampai Departemen Pendidikan Nasional.Ia juga memperoleh tujuh rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas kepeduliannya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Penghargaan lainnya adalah sebagai guru SLB berdedikasi tinggi dari dinas pendidikan setempat pada tahun 2003. Tahun 2005 ia menerima penghargaan sebagai guru berdedikasi tinggi dari Mendiknas Bambang Sudibyo, dan tahun 2006 menjadi juara guru kreatif.Agustus 2008 Ciptono menyabet juara pertama lomba manajemen pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus tingkat nasional."Saya mendapat hadiah Rp 10 juta dari Gubernur Jawa Tengah atas prestasi ini," kata Ciptono yang tiga kali mendirikan SLB, yakni SLB Hajjah Sumiati, SD Bina Harapan, dan belakangan ini ia membuka sekolah di garasi untuk anak-anak berkemampuan khusus.Jabatan formal Ciptono adalah Kepala Sekolah SLBN Semarang yang membawahkan 60 karyawan dan guru. Sepuluh di antaranya sudah menjadi pegawai negeri sipil, sedangkan selebihnya masih sebagai tenaga honorer.Uniknya, 20 persen karyawannya itu haruslah dari anak-anak berkebutuhan khusus. Sekarang ini, misalnya, dikaryakan dua penyandang tunadaksa, dua penyandang tunarungu, dan satu penyandang tunanetra."Asisten guru pun diangkat dari anak-anak berkebutuhan khusus ini," kata Ciptono menambahkan

Kelas Super, Wadah Pendidikan Khusus Bagi Anak-Anak Jenius

Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi (Dikmenti) DKI Jakarta bekerjasama dengan Yayasan Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), dan Bayerische Motoren Werke (BMW) Indonesia baru saja me-launching kelas super khusus bagi anak jenius. September nanti, pendidikan bagi anak-anak pilihan ini akan dimulai. PRESTASI anak-anak Indonesia di berbagai olimpiade sains internasional melahirkan inspirasi untuk membuat wadah bagi anak-anak yang berkemampuan tinggi. Karena itulah dibuat kelas khusus bagi anak-anak jenius yang nantinya akan mewakili Indonesia dalam berbagai even internasional. "Kami menyebutnya kelas super. Karena isinya memang anak-anak berkemampuan super," kata Kepala Dinas Dikmenti DKI Jakarta Margani M. Mustar, saat me-launching kelas itu 10 Agustus lalu. Untuk sementara, kelas super ini baru dibuka di Jakarta. Ke depan, Dikmenti akan mengembangkan ke beberapa kota, seperti Surabaya, Semarang, Jogjakarta, dan Bandung. Anak-anak berkemampuan super, memang ditengarai sangat banyak di Indonesia. Ketua Yayasan TOFI Prof Yohanes Suryo, pernah menguji IQ 1.500 siswa SMA di Indonesia. Di antara anak-anak tersebut, terdapat 40 siswa yang memiliki IQ di atas 150. Untuk di Jakarta, Dinas Dikmenti meminjam salah satu ruang SMAN 3 Jakarta sebagai tempat belajar anak-anak kelas super. Alasannya, fasilitas yang tersedia di sekolah sudah memadai. Lokasinya juga cukup strategis, yakni di kawasan Kuningan. Kelas super juga akan memanfaatkan laboratorium-laboraturium di beberapa SMA lain. Dalam satu-dua minggu ini proses seleksi akan dilakukan. Menurut Yohanes Suryo, yang berhak mengikuti seleksi adalah siswa yang memiliki nilai total minimal 28 dalam ujian nasional SMP, atau dengan rata-rata nilai minimal 9,33. Syarat lainnya, yakni memiliki nilai matematika 10. Hasil penjaringan sementara, terdapat sekitar 3.000 siswa yang memenuhi persyaratan di atas. Selain itu akan diseleksi 2.000 siswa yang memiliki minat khusus di bidang sains. "Jadi total yang akan diseleksi sebanyak 5.000 siswa. Mereka akan menjalani tes potensi akademik (TPA). Jumlah itu dikerucutkan menjadi 50 siswa untuk mengikuti tes wawancara," kata Yohanes," kata Yohanes. Lantas, seperti apa kelas super ini nantinya? Yohanes menjelaskan, dalam satu kelas terdiri dari 20-40 siswa. Mereka akan dibimbing oleh tenaga pengajar khusus bergelar master dan doktor (S2 dan S3). Para guru ini berasal dari beberapa lembaga seperti BPPT, Puspitek, ITB, dan sebagainya. Tentu saja, honor guru-guru ini juga berstandar lebih tinggi disbanding guru biasa. Maklum, BMW Indonesia memberikan support yang besar dalam program ini. Kurikulum yang diberikan juga sedikit berbeda. Siswa akan mendapat materi pelajaran selevel dengan perguruan tinggi. "Asumsinya, pelajaran se-level SMA sudah mereka kuasai," kata Yohanes. Pada saat kelas I, para siswa akan mendapat pelajaran fisika, biologi, kimia, matematika, dan komputer. Materinya disamakan dengan yang diterima mahasiswa semester pertama dan kedua. Untuk materi bahasa Inggris, akan diarahkan untuk penguasaan materi percakapan. Sedangkan, pelajaran bahasa Indonesia difokuskan untuk memberikan kemampuan menulis karya ilmiah. Para siswa ini juga diberi materi budi pekerti serta pelajaran musik klasik. Saat naik ke kelas dua, siswa sudah diarahkan pada spesialisasi pelajaran tertentu. Makanya, materi sains yang diberikan juga fokus pada salah satu pelajaran, yakni matematika, kimia, biologi, atau kimia. Kelompoknya dirampingkan menjadi 5 siswa setiap kelas. Penyampaian materi juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan pelajaran bahasa Inggris diarahkan pada kemapuan TOEFL dan menulis paper. Untuk menambah wawasan, juga diberikan materi ekonomi, sosial, dan budaya. Juga diberikan materi kepemimpinan mengasah kemampuan para siswa dalam presentasi dan diskusi. Naik ke kelas kurikulumnya berbeda lagi. Materi pelajaran sains sudah diarahkan sepadan dengan matematika.

IIQ Utamakan Pendidikan Khusus Wanita

BERTEPATAN dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember 2008, civitas Institut Ilmu Al-Qur\'an (IIQ) mendapat anugerah besar bahwa di Kampus II Terpadu IIQ Pamulang dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa). Untuk mengetahui sejauh mana pembangunan Rusunawa dan kaitannya dengan pendidikan tinggi khusus wanita ini, wartawan Pelita mewawancarai Ketua Umum Yayasan IIQ, Hj Harwini Joesoef. Peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa IIQ bertepatan dengan Hari Ibu, bisa Ibu jelaskan?Perlu diketahui bahwa Institut Ilmu Al-Qur\'an sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang takhassus membidangi Al-Qur\'an dan ilmu-ilmu Al-Qur\'an lainnya, dari sejak awal berdirinya memang berkomitmen mengutamakan kepentingan pendidikan wanita. Karena menurut pandangan kami bahwa wanita merupakan pendidik utama dan tiang pembangunan yang kuat dan kokoh baik bagi kepentingan pembangunan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Untuk itu, sangat wajar jika peletakan batu pertama pembangunan Rusunawa di Kampus IIQ ini bertepatan dengan Hari Ibu, tanggal 22 Desember. Saya sebagai wanita pun menyadari, perjuangan membekali kaum wanita, khususnya di bidang ke-Qur\'an-an tidak mudah. Dituntut keridhaan dan keikhlasan. Begitu juga mahasiswi IIQ dituntut selain dapat membaca Al-Qur\'an dengan baik dan tartil serta menghafal Al-Quran, mereka juga mengetahui makna yang terkandung dalam ayat-ayat suci Al-Quran. Bagaimana tanggapan Ibu tentang dibangunnya Rusunawa ini? Tentunya bagi kami, khususnya civitas akademika IIQ sangat gembira dan bangga memiliki Rusunawa. Rusunawa ini sangat berarti dan pembangunannya sudah lama dinanti-nantikan oleh para wanita penghafal Al-Qur\'an, khususnya di lingkungan Kampus IIQ. Menghafal Al-Qur\'an di tempat yang tenang, baik dan rapi juga akan menambah kenyamanan bagi anak-anak untuk terus meningkatkan kualitas mereka. Pembangunan Rusunawa berkapasitas 400 orang itu seluruhnya ditanggung oleh Menpera. Kami hanya menyediakan lahan seluas 1.000 m2, mengurus IMB, izin tata ruang, dan mebel, seperti meja, kursi, lemari, dan lain-lain. Pembangunan Rusunawa tersebut akan selesai dalam waktu empat bulan.IIQ, Sabtu (27/12) besok mewisuda lulusannya, bisa Ibu jelaskan?Ya, kami akan mewisuda lulusan IIQ Jakarta baik S-1 maupun S-2. Jumlahnya sekitar 150 orang di Wisma Syahida Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat. Diharapkan dalam wisuda tersebut hadir Menteri Agama H Muhammad Maftuh Basyuni, Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo, Dewan Penyantun IIQ seperti H Try Sutrisno, H Muhammad Sudomo, RS Museno, Rektor IIQ Dr KH Ahsin Sakho, dan Sekretaris Umum Yayasan IIQ H Azhari Baedlawie, MM. Apa harapan Ibu ke depan?Kami berharap tetap dapat berkiprah di Yayasan IIQ dan selalu turun memantau keberadaan IIQ yang memang sejak didirikannya bertujuan membina para wanita muslimah dan berusaha mencetak ulama yang hafal dan menguasai ilmu-ilmu Al-Qur\'an, memiliki wawasan luas, berakhlak mulia, dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan umat dan masa depan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami pun sangat menyadari bahwa proses untuk mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud, kiranya bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Untuk itu, tentu membutuhkan tekad dan upaya yang kuat, disertai dengan keikhlasan, kedisiplinan, dan sikap konsisten dalam perjuangan. (sidik m nasir)

PAUD Berbasis Keluarga

risis ekonomi, itulah yang tengah terjadi di negeri ini. Belum pulih kesejahteraan rakyat dari guncangan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2005, sudah kembali hancur. Lagi-lagi oleh badai kenaikan harga BBM, yang pada 24 Mei 2008 naik sebesar 28,7 persen.
Bisa dipastikan jumlah penduduk miskin meningkat. Dengan melonjaknya biaya hidup, mereka yang sebelumnya sedikit berada di atas garis kemiskinan, serta-merta tidak lagi mampu mengakses kebutuhan sehari-hari, yang primer sekalipun. Mereka jatuh miskin.
Bila kenaikan harga BBM 2005 sebesar 118 persen telah meningkatkan jumlah penduduk miskin se- besar 4,2 juta jiwa maka kenaikan BBM 2008 diperkirakan menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 1,02 juta jiwa, sehingga jumlah penduduk miskin pada 2008 akan membengkak menjadi 41,7 juta jiwa atau sekitar 21,9 persen dari penduduk Indonesia (SP, 27/5/08).
Memang untuk membantu penduduk miskin pemerintah kemudian memberikan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan per keluarga miskin. Namun, jumlah bantuan tersebut tentu saja tidak mampu menutupi peningkatan pengeluaran keluarga sebagai dampak ikutan dari kenaikan harga BBM. Terlebih tidak semua keluarga miskin bisa menerima BLT karena pemerintah masih menggunakan data keluarga miskin 2005, yang tentu sudah tidak valid lagi. Kenyataan tersebut dipastikan akan membuat banyak keluarga tidak mampu mengakses kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, dan papan. Dengan kondisi seperti ini bisa dipastikan bila keluarga miskin akan mengabaikan kebutuhan akan pendidikan. Jangankan menyekolahkan anak, untuk bisa makan tiga kali sehari dengan kandungan gizi memadai saja sangat jarang bisa mereka alami.
Anak-anak pun tidak bisa sekolah bahkan yang sudah sekolah terpaksa putus sekolah. Besar kemungkinan mereka semakin tidak beratensi untuk memasukkan anaknya yang masih berusia dini ke lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) formal, semacam taman kanak-kanak (TK). Karena bukan rahasia lagi bila diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menyekolahkan anak ke TK. Terlebih hingga saat ini pemerintah belum memberikan subsidi bagi anak-anak yang mengikuti lembaga PAUD formal.
Pemerintah hanya memberikan subsidi pendidikan (berupa BOS, misalnya) bagi anak yang bersekolah di SD/SMP/SMA, sehingga tidak aneh bila biaya mengikuti PAUD formal kerap kali melebihi biaya pendidikan bagi anak SD/SMP/ SMA. Bahkan begitu miskinnya mereka bisa jadi juga tidak mampu menyekolahkan anaknya ke lembaga PAUD nonformal, seperti taman bermain, tempat penitipan anak, dan sebagainya. Sekalipun biayanya lebih murah, namun tetap saja memerlukan biaya.
Potensi Belajar
Lalu, apakah berarti anak-anak mungil dari keluarga miskin itu akan diabaikan saja? Semestinya tidak. Karena seperti halnya anak-anak yang lain, mereka pun mempunyai potensi belajar yang sangat luar biasa.
Saat masih dalam kandungan, otak anak sudah berkembang dengan sangat pesat. Melalui proses pembelahan sel (mitosis), sedikitnya setiap menit tumbuh 250.000 sel otak sehingga saat dilahirkan, setidaknya di otak bayi telah ada 100 miliar sel otak. Jumlah sel-sel otak ini akan terus bertambah hingga bayi berusia dua bulan. Di usia inilah jumlah sel otak bayi sudah sama dengan jumlah sel otak orang dewasa dengan kemampuan beribu kali lebih hebat dari super komputer tercanggih di dunia. Fantastis. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena setiap sel otak anak berpotensi menjadi alat pemroses informasi.
Menurut Dr Leon Eisenberg, psikiater anak dari Universitas John Hopkins, otak bayi dapat dianalogikan seperti sebuah komputer. Hanya, komputer canggih itu masih belum bisa dipakai karena jaringannya belum banyak yang tersambung, belum diisi program, memorinya juga masih kosong. Untuk menghidupkan dan mengaktifkannya perlu dibangun jaringan dan dimasukkan program serta data.
Sel-sel otak bayi baru berguna apabila telah ada serabut yang menghubungkan antarsel otak. Untuk memacu pertumbuhannya diperlukan stimulus berupa rangsangan melalui organ-organ sensorik, yaitu pancaindera.
Semakin banyak stimulus yang dimasukkan ke dalam otaknya akan semakin banyak dan semakin baik kerja otak. Ini artinya, bila kepada bayi diberikan banyak kesempatan untuk memprogram otaknya, yaitu dengan memberi masukan sensorik dan motorik, maka kecerdasannya akan jauh berkembang. Namun, proses pemberian stimulasi juga tidak bisa sembarangan karena otak mempunyai sifat yang sangat khas.
Hanya empat macam stimulus yang akan disimpan oleh otak anak, yaitu yang lebih dulu direkamnya, yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan dan yang berlangsung terus-menerus.
Dalam konteks inilah keluarga (terutama orangtua) berperan dominan. Bukankah orangtua merupakan orang pertama yang dikenal anak? Ia berpeluang menjadi orang pertama yang memasukkan rekaman stimulus. Apalagi dengan kemampuan janin untuk menangkap dan merespons suara maka proses pendidikan sudah bisa dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Bukankah orang tua merupakan sosok yang paling dipercaya oleh anak? Bukankah orang tua merupakan sosok yang paling sering bersama anak? Oleh karena itu ia berpeluang untuk memberikan stimulus secara terus-menerus. Bukankah suasana rumah semestinya lebih santai daripada suasana sekolah, sehingga orangtua bisa memberikan stimulus dengan lebih menyenangkan?
Kerja Sama
Benyamin S Bloom, professor pendidikan dari Universitas Chicago, menemukan fakta bila sesungguhnya 50 persen dari semua potensi dasar manusia sudah terbentuk sejak masih berada dalam kandungan hingga usia 4 tahun. Sebanyak 30 persen potensi berikutnya terbentuk pada usia 4 - 8 tahun. Dan potensi sisanya, yaitu 20 persen, terbentuk dari rentang usia 8 tahun hingga manusia itu meninggal.
Mencermati fakta di atas jelaslah bila sebagian besar potensi dasar manusia terbentuk di rumah, ketika ia belum mengikuti pendidikan formal. Ini berarti kemampuan anak, kebiasaan, karakter, dan sikapnya bergantung pada proses pembelajaran di rumah, oleh orangtua. Masalahnya tidak semua orangtua bisa memberikan pembelajaran bagi anak usia dininya dengan benar. Masih sangat banyak orangtua yang belum mengetahui cara yang benar untuk berkomunikasi dengan anak, untuk memberikan stimulasi kecerdasan, baik secara kognitif, emosi maupun spiritual. Ironinya, hal ini justru banyak terjadi di keluarga miskin, karena tingkat pendidikan rendah. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Perlu kerja sama semua pihak untuk mengatasinya.
Pemerintah, misalnya, bisa menggiatkan kembali serta lebih memberdayakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Selama ini Posyandu lebih memfokuskan pelayanan pada pemantauan pertumbuhan dan kesehatan anak. Tentu tidak ada yang salah dengan bentuk layanan ini, hanya pelayanan Posyandu bisa lebih diperkaya dengan memberikan informasi tentang cara pengasuhan anak yang benar, terutama saat anak masih dalam kandungan dan ketika ia berada di tahap usia emas (golden age), yaitu usia 0 - 6 tahun.
Guna memperlancar program ini, Posyandu bisa bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, PKK, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN mempunyai program Bina Keluarga Balita (BKB) dengan sasaran orangtua yang memiliki anak usia dini. Dalam program BKB, yang sekolah adalah orangtua anak, yang kemudian diimplementasikan ke anak-anaknya.
Pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, bisa mengajak para penulis dan praktisi pendidikan untuk membuat modul-modul pembelajaran PAUD bagi orangtua. Modul pembelajaran PAUD berbasis keluarga ini nantinya sebagai pegangan orangtua terkait dengan pembelajaran PAUD yang benar. Hendaknya modul- modul tersebut dibagikan gratis, terutama bagi keluarga miskin. Bisa secara langsung atau melalui lembaga nirlaba, seperti Posyandu.
Pemerintah hendaknya juga bekerja sama dengan media massa untuk menyebarluaskan informasi tentang PAUD berbasis keluarga serta tentang materi-materi PAUD. Dengan cara ini, keluarga miskin bisa mengakses ilmu mendidik anak usia dini secara gratis.
Tak ada yang bisa mengingkari bila anak-anaklah yang akan memegang kendali masa depan negeri ini, termasuk yang saat ini terkungkung oleh kemiskinan. Oleh karena itu, kita harus memberdayakan mereka sejak berusia dini. Jangan biarkan krisis ekonomi menghancurkan masa depan anak-anak kita.
Penulis adalah ibu rumah tangga yang sangat berminat pada masalah anak, perempuan, dan keluarga.

Masa Emas PAUD Tidak Didukung SDM Guru


PADA masa 3 tahun merupakan pondasi membangun kecerdasan dan perkembangan otak anak usia dini. Tidak heran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangatlah penting. Sayangnya, hal ini tidak didukung dengan sumber daya manusia (SDM) guru yang belum semua berkualifikasi.
"Jumlah TK di Kaltim ada 943 baik negeri maupun swasta. Tapi 80 persen gurunya belum kualifikasi S1," ungkap Kepala Bidang Pendidikan TK, SD dan SLB Dinas Pendidikan (Disdik) Kaltim, Musyahrim yang ditemui dalam Workshop Pengembangan Kecerdasan dan Budi Pekerti Anak Usia Dini, di Stadion Sempaja, kemarin.
Dins pun telah membuat program untuk menyekolahkan guru TK hingga jenjang S1. Sehingga diharapkan, tidak ada lagi guru yang tidak berkualifikasi. Baik tingkat TK hingga menengah atas.
Menurut Ratna Megawangi, pendiri Indonesia Heritage Foundation (IHF) yang juga istri Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Meneg BUMN). Saat anak pertamanya mengenyam pendidikan TK di Amerika, profesi guru TK sangat bergengsi. Bahkan menjadi kebanggaan guru TK di negara maju ini.
"Guru TK anak saya semua berpendidikan S1 dan S2. Bahkan, kepala sekolahnya adalah seorang profesor. Hal ini menujukkan betapa pentingnya pembangunan karakter anak usia di Amerika," jelas Ratna.
Menurut Ratna, PAUD merupakan investasi paling tinggi. Kunci keberhasilan anak dewasa kelak, tergantung pada PAUD. Karena itu, Ratna mengajak guru untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
"Ciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan agar karakter tumbuh subur. Saat ini, sekolah menjadi momok. Anak-anak takut pergi ke sekolah. Jangan sampai anak-anak takut sekolah di TK. Ini bisa bahaya. Karena TK merupakan taman bermain sambil belajar untuk anak," kata Ratna. (ici)

Pendidikan Untuk Anak Pemulung

Lokasi pembuangan akhir sampah (LPA) Bantar Gebang merupakan pusat penampungan seluruh sampah dari wilayah bekasi dan DKI jakarta, lokasi beroperasi sejak tahun 1989 dengan luas areal 23 ribu m3/hari dari berbagai jenis sampah yang berasal dari pasar umum, swalayan, restoran, hotel dan rumah tangga.

Pemulung anak merupakan komunitas yang selayaknya memperoleh hak-hak dasarnya dengan baik. Mereka dapat bermain dan belajar sebagaimana layaknya anak-anak yang lain bisa menikmati masa kanak-kanak dan terlindung dari bahaya kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.

Dari tahun ke tahun jumlah pemulung senantiasa berubah dan bertamabah, demikian juga dengan pemulung anak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh situasi krisis ekonomi yang sampai saat ini belum terselesaikan dimana terjadi penyempitan lapangan pekerjaan, pendidikan semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Dan meningkatnya harga kebutuhan pokok sehingga mendorong pelibatan seluruh anggota keluarga untuk ikut bekerja
Lokasi pembuangan akhir sampah (LPA) Bantar Gebang merupakan pusat penampungan seluruh sampah dari wilayah bekasi dan DKI jakarta, lokasi beroperasi sejak tahun 1989 dengan luas areal 23 ribu m3/hari dari berbagai jenis sampah yang berasal dari pasar umum, swalayan, restoran, hotel dan rumah tangga.
Kehadiran LPA Bantar gebang telah memunculkan komunitas baru dimana mereka merupakan kelompok migran dari jawa barat, jawa tengah, dan madura yang bekerja sebagai pengais sampah. Lokasi ini merupakan ladang pekerjaan dan tempat bergantung dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan komunitas tersebut sudah menganggap bahwa LPA Bantar Gebang sebagai tambang emas terbuka.
Dimana mereka memperoleh pekerjaan dengan mudah dan memberikan pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun pekerjaan resiko kecelakaan dan ancaman bahaya dari buruknya lingkungan kerja begitu pula lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif untuk perkembangan fisik, kesehatan moral dan moral bagi anak.
Hambatan yang dirasakan oleh anak dalam mendapatkan hak-haknya dikarenakan (1) Kondisi keluarga yang migran dan miskin menyebabkan anak-anak hidup tanpa identitas kewarganegaraan, (2) tempat tinggal yang tidak memadai dan lingkungan tak bersanitasi berdampak pada buruknya status kesehatan pemulung anak, (3) komunitas illegal berdampak pada kesulitan memperoleh akses pelayanan publik, seperti PENDIDIKAN dan kesehatan. Kondisi ini tentunya tidak bisa dibiarkan karena akan berdampak pada situasi yang lebih buruk bagi anak Indonesia.
Yayasan Dinamika Indonesia yang didirikan tahun 1989 bersama Portalinfaq melakukan kegiatan kerjasama yang difokuskan kepada bidang pendidikan dan Sosial. Kerjasama yang berlangsung ini merupakan kerjasama yang ketiga dalam program pendidikan khususnya bagi anak-anak pemulung yang bersekolah di dalam LPA Bantar Gebang.
Sampai saat ini jumlah murid yang telah bersekolah di Sekolah formal di bawah bimbingan Yayasan Dinamika Indonesia sebanyak 210 siswa baik ditingat SD maupun SLTP, sedangkan ruangan sekolah yang dimiliki hanya mempunyai 4 kelas dan ini untuk bagi siswa-siswi kelas 1 sampai dengan kelas 5, sedangkan untuk mereka yang akan ke kelas 6 direkomendasikan oleh pihak sekolah untuk melanjutkan ke sekolah-sekolah negeri dan swasta yang telah bekerjasama dengan Yayasan dinamika Indonesia.
Begitu pula bagi mereka yang telah tamat SD juga diusahakan untuk tetap melanjutkan kejenjang SLTP disekitarnya agar kesinambungan pendidikan yang mereka dapati akan menjadi bekal untuk kehidupan yang lebih baik. Dukungan bagi Anak untuk belajar ini dimaksudkan agar anak-anak pemulung dapat menggunakan hak-hak dasarnya dan mengurangi jam kerja anak dalam membantu orang tua mereka sebagai pemulung.
Sasaran lain yang hendak dicapai dari proses pembelajaran ini secara tidak langsung adalah kelompok-kelompok dalam komunitas dalam situasi khusus yaitu : (1) Keluarga pekerja anak, (2) Tokoh komunitas pemulung, (3) Pemerintah daerah dimana komunitas pemulung berasal dan pihak-pihak yang mengelola LPA BantarGebang.
Kesadaran akan perhatian kepada pekerja anak dan pendidikan anak membutuhkan waktu dan pemahaman tentang kewajiban anakpun belum sepenuhnya diketahui oleh para komunitas pemulung bahkan secara legalitaspun Undang-Undang tentang Pekerja Anak belum dilaksanakan secara baik dan konsisten. Untuk itulah peran LSM dan masyarakat dalam membangun kesadaran pendidikan bagi pekerja anak sangat dibutuhkan dalam bentuk kepedulian sosial membantu mereka untuk tetap bersekolah.

72 Persen Anak Usia Dini Tak Terlayani Pendidikan

TEMPO Interaktif, Malang:Sebanyak 72 persen atau 7,2 juta dari 28 juta anak usia dini (0-6 tahun) belum terlayani oleh pendidikan, baik secara formal maupun non-formal. Penyebabnya karena masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan khusus untuk usia dini. "Tempat belajar yang disediakan pemerintah masih minim karena terbatasnya anggaran," kata Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo pada acara Gebyar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) se Jawa Timur, di Malang, Selasa (30/8). Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah (PLS), lanjutnya, telah ditunjuk untuk mengurangi jumlah anak yang tak terlayani pendidikan. Dirjen PLS telah bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat, seperti PKK, Aisyiah, Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU untuk menggelar pendidikan usia dini. Tentang PAUD, Bambang memperkirakan akan berdampak positif pada peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu juga berpengaruh pada kenaikan angka indeks pembangunan masyarakat Indonesia. Namun ia mengingatkan agar PAUD jangan dititikberatkan pada pembelajaran, tetapi pada permainan. Dirjen PLS, Atje Suryadi mengatakan saat ini di Indonesia ada sekitar 6450 lembaga PAUD. Dari jumlah itu, sekitar 40 persen atau 2640 buah berada di Jatim. Dengan banyaknya lembaga PAUD ini, Jawa Timur bisa dikatakan sebagai provinsi yang berhasil mendorong masyarakat peduli terhadap pendidikan usia dini.

Angka Partisipasi PAUD di Indonesia Masih Rendah

Semarang, Kompas - Angka partisipasi pendidikan anak usia dini atau PAUD di Indonesia masih tergolong rendah dibanding negara-negara berpenghasilan rendah di Asia lainnya. United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organizations atau UNESCO mencatat, partisipasi PAUD di Indonesia hanya 22 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding partisipasi PAUD di Filipina yang sebesar 27 persen, Vietnam 43 persen, Thailand 86 persen, dan Malaysia 89 persen.
Demikian diungkapkan Progamme Specialist UNESCO Jakarta, Alisher Umarov, dalam jumpa pers mengenai program PAUD di Universitas Negeri Semarang (Unnes), Senin (4/12).
Menurut Alisher, dukungan pemerintah dalam menyediakan akses dan layanan PAUD di Indonesia masih rendah. Anggaran pendidikan yang diarahkan untuk anak usia dini masih terbatas. Kondisi ini berbeda dengan negara-negara di Asia lainnya yang relatif lebih tinggi. Malaysia, Filipina, dan Thailand anggaran pendidikan usia dininya rata-rata telah di atas 10 persen.
"Salah satu persoalan peningkatan PAUD di banyak negara adalah rendahnya pendanaan untuk pelaksanaan program PAUD. Sebagian besar negara mengalokasikan kurang dari 10 persen dari total belanja pendidikannya untuk sektor pendidikan usia dini. Sebagian lagi bahkan hanya mengalokasikan kurang dari lima persen, termasuk Indonesia," papar Alisher.
Pengembangan pendidikan untuk anak usia dini di Indonesia, kata Alisher, harus dilakukan dengan pendidikan yang lebih sistemik. Untuk menuju ke arah sana, diperlukan dukungan kebijakan dan investasi dari pemerintah.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengakui partisipasi PAUD di Indonesia masih rendah. Institusi nonformal, terutama keagamaan, justru paling banyak berperan dalam PAUD di Indonesia.
Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Depdiknas Gutama menambahkan, masih rendahnya partisipasi PAUD di jalur formal di Indonesia tak lepas dari masih relatif barunya pelaksanaan program tersebut di Indonesia, yaitu sekitar tahun 2001. (HAN)

PAUD Bukan Mendinikan Sekolah

Meskipun pendidikan anak usia dini (PAUD) sudah berjalan cukup lama, tetapi masih banyak yang pemahamannya keliru. PAUD bukan untuk mendinikan sekolah dengan mengajarkan hal-hal yang belum saatnya, dan PAUD juga bukan belajar sambil bermain. Dalam pelaksanaan PAUD lebih ditekankan pada pendidikan yang harus sesuai dengan tahap perkembangan dan potensi masing-masing anak.
Prakteknya dengan pembelajaran melalui bermain, sehingga tidak merampas dunia anak. Seperti tujuan PAUD yang mengajak pendidik untuk melejitkan semua potensi anak dari kecerdasan motoriknya, bahasa, kognitif, emosional, dan sosial. Tentu dengan mengedapankan kebebasan memilih merangsang kreatifitas, dan penumbuhan karakter.Hal tersebut diungkapkan Kepala Seksi PLS Dirjen PAUD Depdiknas Sukiman pada seminar PAUD Berbasis Keluarga kerjasama PAUD, TP PKK dan Dinas Pendidikan Kabupaten Purworejo di Pendopo (16/2). Sukiman juga menjelaskan PAUD berbasis keluarga sifatnya informal, sehingga harus dilakukan sealamiah mungkin melekat pada kegiatan anak sehari-hari.Pembelajarannya setiap aktifitas anak dapat dijadikan sebagai wahana pendidikan, mulai bangun pagi hingga menjelang tidur. Bahkan peralatan dan perabot rumah juga dapat dijadikan sarana pembelajaran dan alat permainan edukatif. Misalnya anak yang bermain kereta-keretaan dengan media kursi. Ini permainan yang sangat positif karena dapat mencerdaskan anak, papar Sukiman. Pada kesempatan yang sama Bupati Purworejo H Kelik Sumrahadi Ssos MM mengatakan anak adalah asset bangsa yang diharapkan dapat menjadi penerus generasi yang kelak akan membawa perubahan pada suatu negara. Baik dan buruk perubahan tersebut juga tergantung pada apa yang kita berikan pada anak, baik kita sebagai orang tua, para pendidik, dan juga tak kalah penting peran andil pemerintah itu sendiri.Sementara itu Ketua penyelenggara Drs. Sukusyanto MM mengatakan tujuan seminar agar peserta yang berjumlah 700 orang dari unsur pendidik ini, dapat semakin menyadari akan urgensi pendidikan anak yang berbasis pada keluarga.

Para Siswa yang Memilih Belajar di Jalur Nonformal

Ketika para siswa lainnya berburu sekolah formal, maka yang dilakukan para siswa di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Gedeg ini justru sebaliknya. Mereka harus puas menyandang predikat lulus di lembaga pendidikan nonformal. KHOIRUL INAYAH, Mojokerto ---------------------------------------------------- BERADA di dekat areal persawahan, membuat SKB Gedeg terlihat asri. Jauh dari kebisingan lalu lintas Jl Raya Gedeg yang kerap dilewati kendaraan kelas berat. Di sinilah, sekitar 500 meter dari Jembatan Tinggi Pagerluyung hamper 100 siswa belajar.Meskipun masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 13.00 dan mengenakan pakaian abu-abu putih, ternyata di sini mereka bukan masuk sekolah kategori SMA atau SMK. Pada identitas bahu kanan mereka tertulis Pendidikan Setara SMA. ''Ini sesuai dengan permintaan para siswa sendiri yang meminta pakai seragam, agar tidak berbeda dengan pendidikan di jalur formal,'' kata M. Sokheh, salah satu pamong atau sebutan untuk guru.Demikian untuk jam masuk belajar, ketentuan pukul 07.00-13.00 itu juga permintaan para siswa sendiri. Sebab pada umumnya, mereka berasal dari kelompok usia sekolah. ''Mungkin akan berbeda ceritanya kalau yang belajar di sini para pekerja atau yang sudah di atas usia sekolah. Mungkin jamnya ya tidak jam efektif kerja dan tidak perlu mengenakan seragam,'' katanya.Sri Wulandari, salah satu siswa dari Desa Kepuhkuning mengaku menggunakan seragam membuatnya tidak minder karena terasa sama dengan teman-temannya yang bersekolah di sekolah formal. ''Ya, biar kelihatan seperti sekolah,'' ujarnya.Saat ditanya mengapa ia memilih sekolah nonformal dan tidak masuk ke lembaga pendidikan formal. ''Yang utama ya karena faktor ekonomi. Karena sekolah di sini gratis,'' kata Yuliani, siswi lainnya yang juga berasal dari desa yang sama.Memang, para pelajar di sini tidak dipungut biaya sepeser pun. Bahkan termasuk uang untuk buku pun mendapatkan subsidi. Pihak sekolah hanya menarik biaya Rp 20 ribu per bulan untuk biaya kursus mereka. Sebab, di sini para siswa selain mendapatkan pelajaran seperti pelajaran formal lain, mereka juga bisa belajar keterampilan. Antara lain, laboratorium bahasa mulai Bahasa Jerman, Inggris dan Jepang. Juga ada laboratorium computer untuk desain grafis, serta ada 8 komputer yang memiliki koneksi internet. Beberapa siswa putri juga ada yang mengikuti kursus menjahit.''Kalau masalah fasilitas di sini sebenarnya sudah lumayan lengkap,'' kata Kasek Imam Baidlowi.Dengan kondisi seperti ini, maka siswa di SKB ini cukup beragam. Termasuk salah satunya ada yang menjadi loper koran. ''Saya kalau pagi loper Koran Jawa Pos, jam 07.00 ke sekolah,'' kata Ivan Wahyudi, siswa kelas II.Untuk mengatur waktu, Ivan mengaku berangkat ke agen Koran Tamin Agency di Jl Pahlawan Kota Mojokerto pukul 04.30 dengan mengayuh sepeda pancal. Pukul 05.00, dia sudah mengirim Koran Jawa Pos kepada pelanggannnya. ''Pelanggan saya ada 20 orang di Perumahan Magersari Indah,'' kata pemuda yang setiap hari menghabiskan 30 koran untuk dijualnya.Nah, sisanya yang 10 eksemplar koran ia jual setelah mengantar ke rumah pelanggan. Biasanya, ini akan dibeli warga yang menghendaki membeli koran secara eceran. Menjelang pukul 07.30, ia bergegas pulang untuk persiapan menuju sekolah yang berjarak sekitar 6 km dari rumahnya.Bagaimana kalau sisa yang 10 eksemplar tersebut tidak habis? ''Biasanya saya titipkan ke kakak saya yang juga jualan koran. Tetapi seringnya habis kok,'' kata Ivan. (yr)

Problem Pendidikan Islam Masa Kini

ISTILAH pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.
Apakah problematika Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini? Salah satu cara adalah melihat pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari seluruh jenis pendidikan yang ada dan kemudian mengkaji persoalan terdapat dalam dunia pendidikan Islam.
Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan yang mereka hadapi secara memadai.
Saya kira ke dalam sistem pendidikan Indonesia sekarang perlu dimasukkan sejumlah perbaikan atau penyesuaian untuk membuatnya mampu melahirkan angkatan yang makin cerdas dan makin terampil.
Menjadi kewajiban sistem pendidikan di Indonesia untuk membekali generasi muda sekarang ini dengan pengetahuan yang relevan, keterampilan yang memadai dan watak atau karakter yang dapat diandalkan, agar timbul barisan pengelola masyarakat dan bangsa yang mampu menjawab tantangan secara cepat dan manusiawi.
Problematika kedua yang dihadapi sistem pendidikan di Indonesia ialah perluasan sistem, yaitu menambah daya tampung sistem, sehingga sistem pendidikan Islam tidak hanya melayani anak-anak usia sekolah melalui pendidikan formal saja, melainkan melayani masyarakat melalui sistem pendidikan non-formal. Akhir-akhir ini kehausan masyarakat kita akan pengetahuan tentang agama Islam sangat meningkat. Sistem pendidikan non-formal merupakan satu-satunya sarana memenuhi kebutuhan tersebut.
Di masyarakat muncul berbagai lembaga untuk memenuhi permintaan akan pengetahuan agama, misalnya lembaga dakwah, kelompok pengajian, kuliah subuh, dan sebagainya. Ini semua dapat dipandang sebagai modal untuk mengembangkan sistem pendidikan non-formal.
Mampukah kita mengembangkan lembaga pendidikan non-formal yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat? Dapatkah kita mengembangkan lembaga pendidikan yang akan mampu mencegah bangsa kita menjadi buta agama? Inilah problem pendidikan nasional kedua yang sudah mulai terasa dewasa ini. Pada dasarnya ada dua acara pendidikan nasional yang perlu dilaksanakan yakni peremajaan sistem, dan pengembangan sistem pendidikan nonformal.
Apakah sumbangan yang dapat diberikan oleh pendidikan Islam di Indonesia untuk membantu pendidikan nasional mengembangkan diri, sehingga ia mampu melahirkan angkatan baru dalam masyarakat Indonesia yang kian lama kian cerdas, kian terampil dan kian bijaksana, dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang dihadapinya?
Sistem dan Struktur
Ada dua hal yang perlu dikaji mengenai Pendidikan Islam Indonesia sebagai suatu sistem, yaitu mengenai hubungannya dengan keseluruhan sistem pendidikan; dan mengenai struktur internal yang terdapat dalam tubuh Pendidikan Islam Indonesia .
Dalam soal peremajaan sistem pendidikan formal, pendidikan Islam merupakan semacam "beban" yang harus diangkat oleh induknya, yaitu sistem pendidikan nasional pada umumnya. Sedangkan dalam soal pengembangan pendidikan nonformal, ia menjadi "pelopor" yang tak mudah diikuti. Pendidikan Islam di Indonesia yang ada pada saat ini dapat dibagi menjadi empat jenis, yaitu:
Satu, Pendidikan Pondok Pesanten, ialah Pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional bertolak dari ajaran Alquran dan Al- Hadis, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan para siswa sebagai jalan hidup (way of life);
Dua, Pendidikan Madrasah, ialah pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga model Barat yang mempergunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa;
Tiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum.
Empat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga pendidikan umum sebagai mata pelajaran saja. Mengenai pendidikan jenis pertama (pondok pesantren) dan kedua (madrasah) tidak ada masalah. Mengenai pendidikan Islam jenis ketiga (pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah lembaga pendidikan seperti Universitas Islam, pada tingkat pendidikan tinggi; SMA, pada tingkat pendidikan menengah. Sedangkan SD dan SMP, pada tingkat pendidikan dasar.
Mengenai Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum, ada sedikit tambahan. Kegiatan pendidikan Islam jenis ini pada umumnya merupakan pendidikan keislaman yang sangat terbatas cakupannya dan banyak pihak yang berpendapat, bahwa kegiatan ini sebenarnya sukar dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, dan lebih tepat kalau disebut sebagai kegiatan pengajaran.
Pendidikan Islam Indonesia dapat diandalkan untuk memelopori kegiatan pengembangan sistem pendidikan nonformal dalam masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam di madrasah serta lembaga pendidikan umum yang bernafaskan Islam merupakan wahana yang dapat dipergunakan oleh umat Islam untuk ikut mendorong lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan formal .
Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum merupakan kegiatan dengan posisi yang bersifat marginal. Artinya tidak banyak yang dapat dilakukan oleh para pendidik Islam lewat pendidikan jenis ini untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan .
Kekuatan utama, dari pondok pesantren sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal terletak pada kemampuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada segenap golongan umur dan masyarakat.
Di lain pihak, keterbatasan yang terdapat pada pondok pesantren sebagai pusat pendidikan non-formal ialah bahwa pelayanan pendidikan yang diberikannya kepada masyarakal terpusat pada soal keagamaan semata-mata. Padahal kebutuhan masyarakat luas akan pelayanan pendidikan di masa sekarang meliputi berbagai macam jenis, seperti kesehatan, pertanian, berbagai jenis teknologi, pengetahuan umum, dan sebagainya.
Dua Jalur
Proses peremajaan sistem pendidikan formal perlu dilakukan lewat dua jalur kegiatan, yaitu: jalur kegiatan untuk mengangkat mutu pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah; dan jalur kegiatan untuk mendorong sekolah dan madrasah mengantisipasi persoalan yang diperhitungkan akan muncud di masa depan. Melalui perkembangan ini, pendidikan formal kita akan mampu melahirkan angkatan-angkatan yang makin takwa, makin cerdas dan makin terampil (11).

Perlu Pendidikan Nonformal semacam Penataran P4

Pimpinan perguruan tinggi, sekolah, dan diknas, jangan ragu-ragu lagi menyelenggarakan Penataran P 4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dan kembali ke pelajaran PMP. Jika tidak, dikhawatirkan 50 tahun lagi Pancasila hilang. Pemerintah perlu memikirkan jalur pendidikan nonformal semacam Penataran P 4. Demikian pandangan yang berkembang dalam Siaran Interaktif Koran Tokoh di Global FM 96,5 Minggu (1/6). Topiknya, “Indonesia makin Jauh dari Pancasila?”. Berikut, sari-patinya. Beda Pendapat Dianggap Musuh Dalam 10 tahun era reformasi, banyak perilaku tak berkiblat pada nilai Pancasila. Beberapa oknum melihat persoalan dengan mengatasnamakan agama. Perbedaan agama dan tempat pemujaan diakui sesuai Sila I. Ketika mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, agama jangan dilihat perbedaannya sebab tujuannya sama. Di bawah kaki Lambang Burung Garuda, tertera Bhinneka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap satu. Tidak semua warga Indonesia menghayati kebhinnekaan. Ketika orang berbeda pendapat, dianggap musuh. A.A.A. Ngr. Tini Rusmini Gorda,S.H., M.M. Dosen FH Undiknas Denpasar Bersyukur Ada Pancasila Pendahulu kita telah memberi landasan kebijakan berupa Pancasila. Isinya sudah lengkap. Yang melatarbelakangi manusia berbeda, karmanya. ‘Jika kita menanam jagung tidak mungkin akan memetik singkong atau padi’. Manusia diciptakan tidak seperti mesin, sama dan sebangun. Bersyukur di Indonesia ada Pancasila. Ada orang tertentu ingin menggesernya. Ini tantangan bangsa Indonesia Nang Tut Su, Tabanan Nilai Pancasila, Keseimbangan Pancasila, suatu nilai yang ada dalam agama. Pancasila, lima dasar etika mencapai kehidupan manusiawi. Kalau kemudian terindikasi bangsa ini makin jauh dari norma Pancasila, ini hanya penyikapan subjektif dalam mengekspresikan jiwa Pancasila. Tak ada seorang pun ingin komunitas bangsa ini tercerai berai. Harus sadar bahwa persatuan dan kesatuan fondasi kehidupan yang mutlak. Manusia dibekali cita, budi, dan manah yang perlu disikapi secara adil dalam pertumbuhannya bersama kebutuhan jasmaninya sehingga terjadi keseimbangan. Nilai Pancasila adalah keseimbangan berpikir, berucap, dan berbuat. Pande, Pandakgede Dipertanggungjawabkan secara Moral Jika dilihat sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, mungkin pemikiran dari pencetusnya, bahwa apa pun yang diperbuat agar bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Tini Rusmini Gorda Pancasila dan Agama Berbeda Pancasila dan agama berbeda. Agama, hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Pancasila, dasar negara RI. Dalam orde baru negara terlalu jauh mengambil alih masalah keagamaan. Porsi kebangsaan digeser keagamaan. Nilai Pancasila masih diterapkan namun pelaksanaannya tidak konsekuen. Ledang Asmara, Denpasar Hanya Mengacu pada Agama Orang yang berjiwa Pancasila berkurang. Kadang perilaku saudara-saudara kita hanya mengacu pada agama. Mahayadi Tak Ada lagi P4 Dalam era reformasi, P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tidak ada. Saat penerimaan mahasiswa baru juga tak ada lagi Penataran P4. Memperingati Lahirnya Pancasila tanpa penghayatan dan pengamalan Pancasila. Ada yang memaknai sila I, dari kacamata agama tanpa penghayatan terhadap Pancasila. Padahal perbedaan agama tak harus menyebabkan bermusuhan dan menjadikan negara ini negara agama. Sila II, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, namun persamaan hak asasi tidak dirasakan. Sila III, Persatuan dan Kesatuan, tetapi ada yang inginkan daerahnya merdeka. Ada Sila IV, tetapi yang berbeda pendapat, dianggap musuh. Kondisi sosial ekonomi saat ini sangat jauh dari tuntutan Sila V. Kesenjangan ini, tanpa adanya penghayatan dan pengamalan sila-sila Pancasila, menjadikan penyebab konflik sosial. Tini Rusmini Gorda Menyimpang dari Pancasila Perjalanan bangsa dan negara ini sudah jauh menyimpang dari Pancasila . Bhinneka Tunggal Ika, artinya ada pluralisme. Dimungkinkan banyak ada agama. Tiap agama diberi hak untuk hidup. Kenyataannya, ada yang memaksakan supaya agama hanya ada satu, yang lainnya dibonzaikan. Ini penyimpangan terhadap Pancasila. Semestinya ada keadilan tetapi nyatanya kemiskinan bertambah. Ada musyawarah dan mufakat, tidak ada diktator mayoritas dan tirani minoritas, berarti duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Sekarang terus ada amendemen konstitusi tiang kerangka Pancasila, karena dikalahkan mayoritas. Bali selalu mengatakan pertahankan Pancasila, namun justru orang Bali menghancurkan Pancasila dengan memberi peluang pemilu ditentukan mayoritas. Kemunafikan, satu sisi membela Pancasila, di sisi lainnya merongrong Pancasila. Jodog Pancasila akan Hilang Diperkirakan 50 tahun ke depan Pancasila hilang. Membentuk manusia Pancasila, terutama melalui pendidikan. Sementara sekarang pelajaran tentang Pancasila hilang. Dulu waktu saya kecil, ada mata pelajaran PMP, nyatanya kini sudah diganti PKN, berarti Pancasila sudah tidak diprioritaskan. Ngurah Halus, Karangasem Di Mana Idealisme Pancasila? Kini aroma yang terlihat di TV dan di masyarakat luas mengarah ke kapitalisme. Kalau toh ada aroma idealisme, mengarah ke Timur Tengah. Di mana idealisme Pancasila dan nation and character building bangsa Indonesia? Aparatur negara, tidak mau lagi memberi contoh pada masyarakat. Kebohongan dibuat menjadi kebenaran. Kenapa aparatur negara atau anggota DPR/DPRD tidak berpikir ke depan? Marbun Kembali ke PMP dan P4 Tidak adanya P4 menimbulkan kekhawatiran. Anak-anak sekarang cenderung mengemukakan pendapat tanpa mengindahkan etika. Mereka hanya tahu boleh berpendapat pada semua orang, tanpa tahu ada aturannya. Pada zaman seperti sekarang ini perlu ada pendidikan nonformal semacam Penataran P4. Perlu penyegaran ulang, misalnya tiap bulan sekali. Seperti mobil perlu servis tiap bulan. Materi P4 juga baik jadi acuan untuk menegakkan demokrasi yang benar. Pimpinan perguruan tinggi, kepala sekolah, diknas, dan lainnya jangan ragu-ragu lagi menyelenggarakan Penataran P4, atau di SMP kembali ke mata pelajaran PMP. Kembali ke kurikulum lama jika relevan dengan kondisi kini, kenapa tidak. Bak atlet loncat tinggi jika ingin maju mundur dulu. Saat ini soal ekonomi lebih banyak dipolemikkan, padahal inti permasalahan mendasar sebenarnya moral. Tini Rusmini Gorda Perlu Keteladanan Esensinya Pancasila, menyuruh orang berbuat baik dan benar. Agama pun juga demikian. Saat ini masyarakat dihadapkan pada kehampaan ideologi. Masih banyak terjadi konflik atas nama kepentingan sempit. Menanamkan nilai Pancasila pada anak didik hendaknya lebih banyak melalui keteladanan dan contoh tingkah laku sehari-hari yang sesuai dengan isi Pancasila. Suardana, Jimbaran Sincan dan Naruto Salah satu tokoh idola saya adalah Prof. Gorda (almarhum), yang sering memaparkan P4 terutama lewat kegiatan Lembaga Keterampilan Manjemen Mahasiswa (LKMM). Ternyata manusia-manusia yang baik, seperti juga Sophan Shopian, ajalnya lebih cepat. Tidak mampunya anak-anak menghapal bisa diberdayakan dengan sistem tertentu. Anak-anak jika menghapal cerita Naruto atau Sincan bisa. Revitalisasi nilai-nilai Pancasila dapat melalui hal-hal kecil seperti lewat media massa atau tempat bermain. Nyoman Karsana, Gatsu Teori dan Praktik harus Sejalan Keteladanan dimulai dari diri sendiri, kemudian ditularkan. Mengenai nilai Pancasila bukan persoalan hapalan, namun jika tidak hapal bagaimana mungkin mengaplikasikannya. Ini suatu proses pemahaman. Teori dan praktik harus sejalan. Praktik tanpa teori berarti tanpa pedoman. Anak-anak, kalau libur tanpa dibangunkan, mereka sudah bangun berkat Naruto dan Sincan. Namun, ketika hari sekolah, untuk bangun berantem dulu dengan ibunya. Tidak jelek juga menontonnya hanya perlu didampingi dan berikan mereka filosofinya. Peran media massa juga penting. Tini Rusmini Gorda Dijajah Neokolonialisme Pancasila antikolonialisme dan kapitalisme. Apakah ekonomi kita ekonomi kerakyatan atau kapitalisme? Apakah kita masih dijajah neokolonialisme (kolonialisme gaya baru)? Jodog Kembali ke Semangat Pancasila Para pemimpin mendengungkan ekonomi kerakyatan, namun kenyataannya yang merebak kapitalisme. Kembali ke inti Pancasila yang antikolonialisme dan kapitalisme, mari lakukan bersama-sama. Dalam peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasioanl ada slogan ‘Indonesia Bisa’. Agar tidak hanya sebatas slogan, mari kita kembali ke semangat Pancasila.

Pendidikan Nonformal

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakatB. PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKATPendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.1. Konsep Pendidikan Berbasis MasyarakatPendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .2. Pendidikan Nonformal Berbasis MasyarakatModel pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.3. Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis MasyarakatMenurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.• Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.4. Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakatDalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat.Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup merekaDalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.C. K E S I M P U L A NDari apa yang telah diuraikan terdahulu dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan Pendidikan Nonformal berbasis Masyarakat sebagai berikut :• Pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upaya-upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan perannya dalam kehidupan.• Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.• Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desaD. DAFTAR PUSTAKAFaisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,SurabayaSudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional PendidikanUndang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan DosenUndang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.