Jumat, 27 Februari 2009

Malang Gelar Pendidikan Khusus Penderita Autis Kamis, 06-September-2007, 18:52:25

Malang, Kominfo-Newsroom -- Pemerintah Kabupaten Malang, Jawa Timur, melalui kebijakannya sesuai amanat UUD 1945, serta UU Sisdiknas N0 20 Tahun 2003, akan segera melaksanakan pendidikan khusus (PK) dan pendidikan layanan khusus (PLK) bagi penderita autis.

Anak penderita autis atau anak-anak dengan berkebutuhan khusus (ABK) yang mengalami kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapat pendidikan guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi.

Selain pendidikan khusus, pemkab Malang juga akan menambah sekolah inklusif (sekolah biasa) yang dapat mengakomodir semua anak berkebutuhan khusus (ABK) yang terpilih melalui seleksi dan memiliki kesiapan baik Kepala Sekolah, guru, orang tua peserta didik, tenaga administrasi serta lingkungan sekolah/masyarakat.

Saat ini jumlah sekolah inklusif yang ada di Kabupaten Malang baru delapan sekolah yang tersebar di delapan kecamatan, sedangkan SLB yang ada masih sangat terbatas dan letaknya jauh.

''Ke depan akan dikembangkan sekolah untuk ABK pada masing-masing kecamatan di tiap eks pembantu Bupati,'' kata Kadis P dan K, Drs Suwandi MM, MSC, pada acara sosialisasi pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus kerjasama Tim Penggerak PKK dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Malang, belum lama ini.

Ia mengharapkan, melalui kerjasama yang sinergi antara Dinas P dan K dan TP.PKK (Pokja II) dapat meningkatkan pemahaman terhadap masyarakat tentang arti pentingnya Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bagi penderita autis guna menyongsong masa depan mereka lebih baik lagi. (www.jatim.go.id/hsn/toeb)

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.
Oleh : Nurma Cholida

04-Mei-2007, 16:18:18 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

Landasan Hukum Pendidikan Khusus untuk CI/BI

Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa di Indonesia memiliki landasan hukum sebagai berikut:

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional :

a. Pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

b. Pasal 5 ayat 4 “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

c. Pasal 32 ayat 1, “pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

UU no. 23/2002 tentang Perlindungan Anak pasal 52, “anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus”.

PP No. 72/1991, tentang Pendidikan Luar Biasa

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 25 Tahun 2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional

Keputusan Mendiknas No. 053/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Mendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi

Peraturan Mendiknas no. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan

Peraturan Mendiknas no. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah Dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah.

Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengelolaan Pendidikan.

Hutang Pemerintah pada Pendidikan

Depag Tak Sanggup Berikan Pendidikan Bermutu


Jakarta – Menteri Agama M Maftuh Basyuni mengatakan Departemen Agama (Depag) tidak yakin mampu memberi pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya anggaran untuk pelaksanaan program pokok pendidikan yang kini diterima sangat kecil.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Paskah Suzetta mengamini pernyataan Menag. Namun, Bappenas menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah), karena urusan pendidikan agama bukan lagi melulu beban Departemen Agama.
“Kami di Depag berharap mendapat anggaran yang lebih wajar dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Sesuai dengan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan bahwa dana pendidikan dialokasikan sekurangnya 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Kami minta yang wajar,” kata Maftuh Basyuni dalam rapat kerja gabungan Komisi VIII dan X DPR di Jakarta, Senin (10/7). Rapat tersebut juga dihadiri oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo dan Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Karena itu, setidaknya Depag memerlukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,24 triliun untuk membiayai program dan kegiatan mendesak yang belum tertampung dalam APBN 2006. Maftuh juga menjelaskan pihaknya akan membentuk panitia kerja (panja) bersama Mendiknas dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) guna mengatasi adanya diskriminasi dalam anggaran pendidikan anatara departemen pendidikan dan Depag.

Bukan Beban Depag
Pihaknya akan melakukan pembicaraan awal yang intensif dalam waktu dekat. Hal itu terkait dengan alokasi anggaran pendidikan nasional yang 84% masuk ke Depdiknas.
Menag menilai ada diskriminasi anggaran pendidikan terhadap pihaknya. Ihwalnya, 20 persen anggaran pendidikan yang diambil dari APBN, sekitar 84 persen untuk pendidikan nasional dan hanya 16 persen untuk pendidikan agama. Namun, di Depag, anggaran tersebut dibagi menjadi 2, yaitu untuk pendidikan agama dan gaji pegawai. Untuk Diknas, dana itu khusus untuk anggaran pendidikan.
Rendahnya anggaran pendidikan di Depag tersebut disesalkan Kepala Bappenas Paskah Suzetta. Ia juga menyesalkan rendahnya kontribusi pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk pendidikan keagamaan (madrasah). Menurutnya, pendidikan keagamaan tidak lagi menjadi wewenang pemerintah pusat, yakni Departemen Agama.
Menurut Paskah, sekolah umum yang dikelola Depdiknas berbeda dengan sekolah keagamaan yang telah didesentralisasikan dan APBD memiliki kontribusi. Perbedaan juga terjadi dalam hal tunjangan kesejahteraan guru yang bersumber dari APBD.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan saat ini adalah formulasi baru agar daerah bisa memberi kontribusi juga kepada pendidikan keagamaan di daerahnya dan tidak hanya memberatkan pada kebijakan pemerintah pusat.
Sementara itu, Depag mengusulkan anggaran untuk tahun 2007 sebesar Rp 21,4 triliun. Namun, Depag hanya memperoleh pagu sementara sebesar Rp 10,7 triliun untuk membiayai 5 fungsi dan 21 program Depag. Dari pagu sementara itu, anggaran untuk pendidikan agama hanya Rp 3,6 triliun.
(inno jemabut)



Copyright © Sinar Harapan 2003

Advokat Semestinya Jalani Pendidikan Khusus

Medan, Kompas - Mantan Menteri Kehakiman Ismail Saleh mengingatkan, advokat adalah profesi yang mulia sehingga mereka yang menjalani profesi ini harus benar-benar orang yang terpilih. Keterpurukan advokat bukan karena faktor lain, tetapi justru karena perilaku sejumlah advokat yang kurang profesional. Karena itu, seseorang yang akan menjadi advokat harus menjalani pendidikan khusus dan tidak cukup hanya bergelar sarjana hukum (SH).

Berbicara dalam Rapat Kerja Nasional (rakernas) X Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) di Medan, Kamis (12/9) malam, Ismail membandingkan profesi advokat dengan notaris. "Seseorang untuk menjadi notaris harus menjalani pendidikan khusus, setara strata dua (S2). Semestinya advokat pun menjalani pendidikan yang sama," ujarnya.

Mantan Jaksa Agung itu mengharapkan, sejumlah fakultas hukum membuka program khusus advokat. Dengan begitu, kedudukan advokat-dari sisi keilmuan-setara dengan notaris yang jelas diakui spesialisasinya. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dalam Undang-Undang (UU) Profesi Advokat nantinya ditegaskan calon advokat harus lulus lebih dahulu dari pendidikan spesialis tersebut.

Ismail menduga bahwa tidak tertutup kemungkinan seorang sarjana hukum sekadar mencoba-coba untuk menjadi advokat/pengacara. Sebab, selama ini syarat menjadi pengacara hanya harus bergelar SH dan menjalani ujian. "Coba-coba itu, kan, bukan ciri profesional. Tetapi, karena advokat tidak ada pendidikan spesialisasinya, ya ini bisa saja terjadi," katanya lagi.

Ismail juga mengingatkan, wajah advokat harus berbeda dengan jaksa atau hakim. Ukuran keberhasilan dan profesionalisme advokat pun bukan semata-mata materi atau uang. Advokat harus berupaya mewujudkan cita-cita kemandiriannya, yakni bebas dari semua bentuk intervensi. Advokat harus menjaga citranya sendiri.

Dalam rapat lanjutan Rakernas X AAI, kemarin, Ketua Dewan Kehormatan AAI Agus Takarbobir mengakui, rusaknya citra advokat memang bukan oleh pihak lain, melainkan oleh advokat sendiri. Tetapi, Dewan Kehormatan-sebagai hakim internal di kalangan advokat-tentu saja tidak bisa menjemput bola kalau ada advokat yang diduga melanggar kode etik. Dewan Kehormatan hanya bisa menunggu adanya pengaduan.

Selama tahun 2001 sampai Agustus 2002, lanjut Takarbobir, cuma satu perkara dugaan pelanggaran kode etik yang diterima Dewan Kehormatan Pusat AAI. Sebagian perkara, seperti lima kasus di DKI Jakarta dan tiga kasus di Makassar, diselesaikan Dewan Kehormatan cabang. (tra)

Pemerintah Daerah Berupaya Maksimal Membantu Pendidikan Keagamaan PDF Cetak E-mail

Ditulis Oleh humas
Thursday, 06 December 2007

Pemerintah daerah akan selalu berupaya maksimal untuk membantu lancarnya pembangunan di bidang pendidikan, khususnya pendidikan di bidang keagamaan, guna mewujudkan Kabupaten Banjar yang Baiman Bauntung dan Batuah. Namun sejauh ini masih terkendala Permendagri nomor 13 tahun 2006, khususnya bantuan yang diberikan kepada sekolah agama swasta.

Hal tersebut dikemukakan Bupati Banjar HG. Khairul Saleh saat menerima kunjungan puluhan orang perwakilan guru-guru agama swasta se-Kabupaten Banjar, Senin (3/12) di runag kerjanya.

Lebih jauh Khairul Saleh menyatakan, salah upaya untuk membantu pendidikan keagamaan tersebut adalah dengan diserahkannya bantuan sebesar sebesar Rp. 3,6 miliyar lebih untuk 1.494 guru TK Alqur’an, 167 guru TK Alqur’an Albanjari, 1.195 guru madrasah diniyah awwaliyah dan 126 guru madrasah diniyah wustho.

Disamping itu bantuan tersebut menurut Khairul Saleh juga diserahkan bantuan untuk 1.435 guru pondok pesantren, 1.583 guru madrasah ibtidayah, tsanawiyah dan aliyah swasta serta bantuan untuk 187 orang penghulu se-Kabupaten Banjar saat menjelang Lebaran 1428 hijriyah beberapa waktu lalu.

Sehubungan dengan adanya keinginan para pelaku pendidikan agama swasta tersebut tentang bantuan yang diberikan dalam pelaksanaan ujian nasional Khairul Saleh menyatakan, untuk sekolah agama negeri sudah menjadi tanggung jawab Departemen Agama, sedangkan untuk sekolah agama swasta, akan dianggarkan melalui APBD yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan.

Sementara Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Banjar H. Nabhani Abdullah, mengemukakan saat ini pihaknya masih terkendala untuk membantu Pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) 9 tahun, karena masih banyaknya sekolah swasta yang masih menggunakan kurikulum Pondok Pesantren dan tidak menggunakan kurikulum Depag, sehingga tidak dapat mengikuti ujian nasional.

Menanggapi kendala itu, Wakil Bupati Banjar KH. Muhammad Hatim, Lc yang juga turut menerima kunjungan tersebut mengemukakan, untuk merubah atau mengganti kurikulum Pondok Pesantren menjadi Kurikulum Depag memang tidak mungkin, mengingat siswa yang masuk sekolah di madrasah swasta pada sore hari, biasanya juga masuk sekolah di Sekolah Dasar pada pagi harinya, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan.

Labih jauh Guru Hatim, menjelaskan, setelah meluluskan madrasah swasta biasanya mereka juga meluluskan Sekolah Dasar di kampungnya dan meneruskan ke tingkat yang lebih tinggi pada Pondok Pesantren di ibu kota kabupaten namun tidak menggunakan kurikulum Depag.

Untuk mengatasi kendala Depag dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun, ia menganjurkan agar para guru-guru pada sekolah swasta, khususnya yang memiliki murid yang tidak berijazah sesuai kurikulum Pemerintah ataupun kurikulum Depag agar menyediakan atau menyelenggarakan kegiatan belajar Paket B dan Paket C guna membantu pemerintah dalam mensukseskan wajar dikdas 9 tahun.

Tanggal/Jam Posting : 07 September 2004 - 00:37:55

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus

JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004
Minggu, 28 Januari 2007
Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus
Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?



Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.



Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.



Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.



Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.



Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).



Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).



Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.



Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.



Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.



Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air

Pendidikan Layanan Khusus

Last Updated ( Monday, 24 November 2008 )

Written by Harry, on 25-11-2008 00:00
Pendidikan Layanan KhususBetapa gembiranya anak-anak nelayan yang kurang beruntung itu di Kampung Baru Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakart Utara memperoleh akses pendidikan lewat program Pendidikan Layanan Khusus (PLK). Data yang diperoleh dari ketua Yayasan Lentera Bangsa Syaifudin Zufri ada sebanyak 190 anak usia sekolah yang kebanyakan karena putus sekolah atau terhimpit ekonomi, bahkan ada pula yang tidak pernah sekolah. Dari 190 anak, katanya, 150 anak merupakan usia sekolah SD-SMP dan sisanya usia SMA. Jadi hanya 20 persen dari jumlah total anak-anak di Kampung Baru yang punya kesempatan sekolah. "Sekolah PLK ini gratis," kata Syaifuddin. Untuk menjawab permasalahan tersebut pemerintah punya tekad kuat untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun pada tahun 2008 ini. Karena hal ini merupakan sikap dan komitmen politik sekaligus kepedulian bangsa. "Anak-anak usia dibawah 18 tahun yang belum sekolah atau putus sekolah dapat belajar lewat jalur PLK. Karena telah dijamin oleh undang-undang,". kata Direktur Pembinaan SLB Ekodjatmiko Sukarso saat meresemikan PLK Anak Nelayan di Muara Angke Jakarta Utara.

UU Sisdiknas 20/2003 pada Pasal 32 Ayat 1 tentang pendidikan khusus (PK) seperti untuk orang cacat, kemudian anak cerdas istimewa dan bakat istimewa. Pasal 32 Ayat 2 tentang PLK seperti anak-anak yang memerlukan pendidikan yang aksesnya tidak terjangkau seperti anak-anak di daerah terbelakang / terpencil / pedalaman / pulau-pulau, anak TKIM SILN (Sekolah Indonesia di Luar Negeri) anak suku minoritas terpencil, pekerja anak, pelacur anak/traficfficking, lapas anak, anak jalanan, anak pemulung, anak pengungsi (gempa konflik), anak dari keluarga miskin absolut. "Kami sadar bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus ini memikirkan makan apa untuk sekarang dan besok, sulitnya bukan main. Sehingga dengan adanya Pasal 32 UU Sisdiknas, maka anak-anak tersebut harus sekolah," katanya.

Diakuinya, bahwa pemerintah tidak dapat memenuhi semua itu tanpa adanya dukungan masyarakat, LSM, pemerintah daerah dan pihak swasta. "Semoga peran LPPM Universitas Muhammadiyah Jakarta dengan mendirikan Sekolah PLK Lentera Bangsa dapat merealisasikan niat baik pemerintah untuk mencerdaskan anak-anak dan kelak dapat mendirikan mereka." katanya. Program Sekolah PLK nantinya menitikberatkan pada "kearifan lokal", yaitu membina dan mendidikan anak-anak berkebutuhan khusus ini dengan konsentrasi 80 persen kecakapan hidup. Hal ini dimaksudkan agar keluar atau lulus dari Sekolah PLK mereka dapat hidup mandiri. Kearifan lokal itu menjadi kekayaan setiap daerah yang harus dikembangkan.

Sumber : media cetak Spirit
Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

Last Updated ( Friday, 07 November 2008 )

Written by Harry, on 10-11-2008 00:00

Dukung Pendidikan Layanan KhususMasyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) harus mendukung pendidikan layanan khusus. Program ini diprioritaskan untuk anak usia sekolah di lokasi bencana, pulau atau desa terisolir, anak-anak dari keluarga sangat miskin, terbelakang, dan tidak punya orangtua. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Tobias Uly di Kupang, Sabtu (11/10) mengatakan, pendidikan layanan khusus diprioritaskan bagi anak-anak termarjinal. Mereka yang selama ini tidak mendapat pelayanan pendidikan sama sekali karena berbagai persoalani. "NTT anak-anak kelompok marjinal ini cukup banyak, selain karena kemiskinan juga kondisi wilayah kepulauan yang sangat sulit dijangkaui. Saat ini sedang dilakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka proaktif memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mengikuti program ini,"katanya. Peluncuran program ini untuk membantu kelompok masyarakat usia sekolah dasar yang selama ini tidak pernah tersentuh pendidikan. Diharapkan program ini dapat mengatasi kasus buta aksara di NTT yang sampai saat ini mencapai 300.000 lebih. Pendidikan bagi anak anak yang tergolong marjinal tidak dipungut biaya seperti sekolah formal. Guru-guru yang mengajar, adalah guru negeri. Proses belajar mengajar disesuaikan dengan kondisi dan tempat tinggal para calon siswa. Pendidikan ini juga mengeluarkan ijazah yang sama seperti sekolah formal. Tetapi jenjang pendidikan layanan khusus hanya berlaku bagi tingkat sekolah dasar, dan masuk SMP mereka sudah bisa bergabung di sekolah formal. Diutamakan dalam pendidikan ini adalah keterampilan siswa untuk bisa menulis, membaca dan menghitung. Dengan modal ini mereka bisa lanjut ke SMP, dan tidak masuk kategori buta aksara lagi.

Sumber : www.kompas.com

Dukung Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan Agama dan Keagamaan, Depag Canangkan Tiga Pilar Kebijak
Oleh arixs
Senin, 12-January-2009, 11:16:07 92 klik Sampaikan Kisah ini kepada Temanmu Versi Cetak

HARI Ulang Tahun atau Hari Amal Bakti (HAB) Departemen Agama ke-63 yang jatuh tanggal 3 Januari 2009, diperingati Senin (5/1) di halaman Kantor Wilayah Departemen Agama (Depag) Provinsi Bali.

Peringatan hari istimewa yang dilangsungkan dengan kesederhanaan, rasa kekeluargaan namun penuh makna itu, diikuti seluruh karyawan Depag Provinsi Bali beserta jajarannya dari Kandepag Badung, Kandepag Kota Denpasar, Kandepag Tabanan, Kandepag Gianyar, Kandepag Klungkung dan Balai Diklat Teknis Keagamaan Denpasar.

Dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan Setda Provinsi Bali Drs. I Nyoman Yasa, M. Si. yang sekaligus bertindak sebagai inspektur upacara, Menteri Agama RI H. Muhammad Maftuh Basyuni S.H., menyatakan bahwa makna penting dalam setiap peringatan hari jadi sebuah instansi adalah perenungan atau refleksi terhadap tuntutan kesejarahan atas terbentuknya instansi tersebut, dan kesanggupan bersama secara jujur dan ikhlas untuk melakukan evaluasi kritis terhadap posisi dan peran Departemen Agama dalam pembangunan nasional pada saat ini dan di masa yang akan datang.

Di tengah keterbatasan anggaran yang mendera lembaga-lembaga pendidikan agama dan keagamaan, Depag diharapkan tidak patah arang atau putus semangat dan bersikap apatis.

Tetapi, harus tetap yakin dan bekerja keras untuk mendayagunakan segala potensi yang ada. Anggaran yang terbatas justru menjadi tantangan agar Depag lebih cerdas dan inovatif menentukan pilihan program dan kegiatan yang tepat sasaran.

Sudah barang tentu, kita akan menghadapi banyak dilema di lapangan, seperti apakah alokasi anggaran lebih berbasis pada pemerataan atau peningkatan kualitas pendidikan?

Untuk mendukung berbagai upaya peningkatan kualitas pendidikan agama dan keagamaan, Depag telah mencanangkan tiga pilar kebijakan.

Pertama, mengejar ketertinggalan mutu pendidikan. Kedua, meningkatkan perhatian dan keberpihakan terhadap pelayanan pendidikan bagi komunitas yang kurang mampu. Ketiga, perlakuan yang sama terhadap lembaga pendidikan negeri dan swasta.

Dalam kesempatan itu, Departemen Agama RI menganugerahkan Satya Lencana Karya Satya kepada 209 karyawan Depag Prov. Bali atas pengabdian mereka selama ini. Sebanyak 9 orang dengan masa bakti selama 30 tahun, 76 orang dengan masa bakti 20 tahun, dan 124 orang dengan masa bakti 10 tahun.

Acara tersebut dirangkaikan dengan pemotongan tumpeng sebagai ungkapan rasa syukur, serta pemberian bingkisan kepada pensiunan Depag Prov. Bali, penyerahan hadiah kepada penyuluh, guru, serta pengawas agama Islam teladan dan berprestasi. Hadiah juga diberikan kepada pemenang madrasah dan pondok pesantren berprestasi di tingkat provinsi.

Juara I penyuluh agama Islam tingkat madrasah mendapatkan hadiah sepeda motor. Sedangkan Juara I guru madrasah mendapatkan laptop, yang merupakan sarana prasarana guna mendukung profesi/pekerjaan mereka.

Sementara Bidang Pendidikan Agama Hindu Depag Prov. Bali memberikan bingkisan/hadiah kepada pemenang Utsawa Dharma Gita tingkat SD. Semua ini merupakan implementasi dari tema HAB tahun ini yakni “Memantapkan Peran Departemen Agama dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Agama dan Keagamaan”.

Kepala Kanwil Depag Prov. Bali, Drs. IGAK Suthayasa, M. Si. mengimbau kepada seluruh karyawan untuk selalu bekerja sama, toleransi, transparan dalam menunaikan tugas-tugas atau optimalisasi peran dan menumbuhkembangkan budaya kerja.

“Semoga peringatan Hari Amal Bakti Departemen Agama yang ke-63 ini makin memperteguh komitmen dan profesionalitas kita sebagai aparatur Departemen Agama dalam menghadapi tantangan tugas yang makin besar dan kompleks.

Mudah-mudahan kita dapat mewujudkan Departemen Agama yang kita cintai ini sebagai tempat pengabdian yang memberi manfaat besar bagi pembangunan bangsa dan Negara,” ujarnya.

Mengakhiri sambutannya, Kakanwil Depag Prov. Bali tak lupa mengucapkan “Selamat Hari Amal Bakti ke-63, Dirgahayu Departemen Agama”.

Acara istimewa ini bertambah istimewa karena dirangkaikan pula dengan penandatanganan dua prasasti atas pembangunan fisik Wisma Sejahtera yang berlokasi di Jalan Kahuripan No. 1 Denpasar dan Sekretariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Bali di Jalan Teratai No. 25 Denpasar. Alokasi dana untuk pembangunan ini diambil dari tahun anggaran 2008.

Sekretariat FKUB yang telah di-palaspas 3 Desember 2008 ini dibangun di atas tanah seluas 1,75 meter persegi dengan luas bangunan berlantai satu 0,75 meter persegi menghabiskan dana Rp 500 juta.

Keberadaan sekretariat FKUB yang sebelumnya bermaskas di Yayasan Dwijendra Denpasar ini, disambut gembira Ketua Umum FKUB Bali Drs. IB Wiyana.

“Setidaknya, dengan keberadaan sekretariat ini, merupakan pengakuan secara faktual FKUB menjadi mitra Depag, serta bersatu padu dalam menciptakan suasana ketenangan yang kondusif, memberi kenyamanan kepada umat dalam melaksanakan aktivitas keagamaan. Mari kita bersama-sama memelihara kerukunan umat beragama,” ujarnya berharap.

Serangkaian kegiatan HAB ke-63 tersebut, sejumlah kegiatan lain telah dilaksanakan sebelumnya di antaranya donor darah, yang dihelat di aula Kanwil setempat, Rabu (17/12); persembahyangan bersama yang dikoordinir oleh masing-masing bidang/pembimas, Senin (22/12) dan Kamis (25/12); gerak jalan santai yang dilanjutkan dengan berbagai lomba yang melibatkan anak-anak keluarga besar karyawan Depag, kegiatan bazar yang didukung penuh ibu-ibu Dharma Wanita unit Kanwil Depag Prov. Bali, Senin (29/12); kegiatan bakti sosial di Yayasan Panti Asuhan Artha Kara Kumara Jembrana, Selasa (30/12); dan di pengujung tahun 2008 para pejabat eselon beserta karyawan Depag Kabupaten Tabanan melakukan ziarah ke Taman Makam Pahlawan Pancaka Tirta Tabanan.
–ten

Pendidikan Layanan Khusus

Kala Suara Anak Jalanan Teredam ‘Live Music’

Januari 1, 2009 · Tidak ada Komentar

Kompas.com Rabu, 31 Desember 2008 | 23:38 WIB

JAKARTA, RABU - Bagi kalangan kelas menengah ke atas, menikmati hiburan live music menjelang pergantian tahun merupakan hiburan yang menyenangkan. Namun bagi anak-anak jalanan yang biasa berprofesi sebagai pengamen, hingar bingar live music justru mengurangi pendapatan mereka hari ini.

Ketika ditemui di kawasan Tebet Utara Dalam, enam orang anak jalanan yang biasa beroperasi di sejumlah kafe yang memang berjejer di ruas jalan Tebet Utara Dalam sedang bercengkerama di trotoar di pertigaan ujung jalan ini. Hingar bingar live music dari Comic Cafe, Burger and Grill dan sejumlah kafe lainnya memaksa mereka harus diam.

“Nggak boleh ngamen. Dimarahin ama penjaganya,” ujar Harupin (9).

Teman-temannya, Doni (6), Iwan (10) dan Riswan (11) sibuk mencoba terompet tahun baru yang baru saja mereka peroleh dari penjual terompet di tempat itu dengan cuma-cuma.

Sementara itu, teman lainnya Oki (11) dan Doni (10) menyusul kemudian. Doni yang berumur 10 tahun mengaku sering mengamen di daerah ini dengan intensitas tak tentu. Sekali-kali bisa saja pindah ke daerah lain atau justru di kereta rel listrik (KRL) ekonomi. Seharinya, sekitar Rp 10.000-20.000 bisa mereka kantongi. Jika ngamen bertiga, tentu saja uangnya harus dibagi tiga.

Menjelang 2009, tak ada satupun dari mereka yang mengungkapkan harapan khusus yang mereka inginkan. Bahkan, Doni yang ayah ibunya tidak akur hingga pisah rumah hanya terdiam ketika ditanya mengenai rencananya di tahun depan.

“Apa ya? Nggak tau,” ujarnya lalu diam. Nggak ingin sekolah? “Oh iya, mau,” tandas Doni meralat jawabannya.

“Nggak mungkin,” seru Harupin yang memang agak usil.

Meski gelap malam menyamarkan senyum simpul Doni, senyumnya melanjutkan tekad yang baru saja diucapkannya. Asal saja, kesempatan pun segera diberikan kepada anak-anak tidak mampu seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan menjadi 20 persen oleh pemerintah.

Pendidikan Layanan Khusus untuk Daerah-daerah Bencana

Jakarta, Kompas - Model pendidikan di daerah pascabencana gempa bumi dan tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) hendaknya disertai kebijaksanaan dan perlakuan khusus, mengingat situasinya sangat tidak normal dibandingkan daerah-daerah lainnya. Perlakuan serupa juga harus diberikan kepada daerah-daerah yang sebelumnya dilanda gempa bumi, seperti Alor di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nabire di Papua.

Pendidikan layanan khusus bisa diwujudkan antara lain dengan membangun sekolah berasrama atau pesantren. Terhadap siswa dan mahasiswa yang kehilangan dokumen dalam melanjutkan pendidikan, seperti ijazah dan rapor, harus diberikan kemudahan administratif.

Demikian kesimpulan Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan Nasional di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Kamis (13/1). Rapat yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Heri Akhmadi tersebut secara khusus membahas langkah-langkah penanganan pascabencana alam di NAD dan Sumut, serta Papua dan NTT.

Pada kesempatan itu, Mendiknas Bambang Sudibyo antara lain didampingi Sekjen Depdiknas Baedhowi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, dan Dirjen Pendidikan Tinggi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Wakil Ketua Komisi X DPR Anwar Arifin menegaskan, pendidikan layanan khusus di daerah bencana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 32 Ayat (2) berbunyi: pendidikan layanan khusus diberikan kepada peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

Berkaitan dengan itu, Mendiknas telah menyiapkan langkah-langkah penanganan jangka pendek (1-6 bulan) dan jangka panjang (4-5 tahun). Penanganan jangka pendek bertujuan memulihkan kembali kelangsungan proses pembelajaran dalam situasi darurat. Tahapan ini mencakup pendidikan formal (persekolahan) dan non formal (luar sekolah).

Pada jalur formal, Depdiknas sedang membangun sekolah tenda dengan kapasitas 40 orang per kelas. Setiap kelas ditangani tiga orang guru. Sekolah darurat didirikan di sekitar lokasi pengungsian sehingga kegiatan belajar-mengajar sudah bisa dimulai paling lambat 26 Januari 2005.

Guru bantu

Khusus untuk wilayah NAD, Depdiknas juga segera mengisi kekurangan tenaga guru yang meninggal akibat bencana. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi mengatakan, pada tahap awal, guru bantu yang ditugaskan di NAD tidak lain adalah para guru bantu yang baru saja dikontrak untuk daerah itu.

"Kebetulan, pada akhir 2004, di NAD telah dikontrak sekitar 3.000 guru bantu. Untuk sementara mereka itulah yang diterjunkan mengisi kekurangan guru di daerahnya," ujar Indra.

Ia menambahkan, jumlah yang dibutuhkan untuk bertugas di sekolah-sekolah darurat di sekitar kamp pengungsi sekitar 2.800 orang. Daripada gegabah mengontrak guru bantu baru, akan lebih efektif jika guru yang sudah telanjur dikontrak tadi difungsikan secara optimal.

Lagi pula, secara sosio-kultural, para guru bantu tersebut sudah paham situasi masyarakat Aceh. Peran ganda mereka sangat dibutuhkan untuk membangkitkan semangat hidup para murid dan guru agar bisa melupakan trauma bencana.

"Jika nanti ternyata masih dibutuhkan tambahan guru bantu, tentu ada perekrutan guru bantu sesuai jumlah yang dibutuhkan," ujar Indra.

Jumlah yang dibutuhkan disesuaikan dengan jumlah sekolah darurat maupun sekolah permanen yang didirikan pascabencana. Sekolah darurat maupun sekolah permanen yang dibangun itu mungkin hanya 70-80 persen jumlahnya dari sekolah yang rusak. Sebab, dua-tiga sekolah yang kekurangan murid dapat digabung jadi satu.

Pada jalur nonformal, Depdiknas dan para relawan dalam situasi darurat belakangan ini memberikan layanan pendidikan untuk membangkitkan semangat hidup para korban di kamp-kamp pengungsi. Layanan yang dimaksud berupa program pendidikan anak usia dini bagi usia 0-6 tahun, taman bacaan masyarakat bagi anak usia 7-18 tahun, serta kecakapan hidup bagi usia 18 tahun ke atas.

Kepada pers seusai rapat, Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan, ujian akhir pada setiap jenjang pendidikan di daerah bencana akan tetap dilakukan. Karena situasinya tidak normal, waktu ujian akhir dan standar soalnya tentu dirancang khusus.

Meski begitu, Mendiknas mengisyaratkan akan tetap menerapkan standar angka kelulusan secara nasional. "Ibarat net untuk main voli, standar kelulusan itu harus tetap distandarkan. Kalau netnya kerendahan, semua orang nanti bisa men-smash," katanya.

Guna menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang bahaya gempa dan tsunami, Komisi X meminta Depdiknas memperkaya muatan kurikulum SD hingga perguruan tinggi mengenai langkah antisipasi.

Berkait dengan penggunaan anggaran untuk pemulihan kegiatan pendidikan, Komisi X menekankan prinsip kehati- hatian. Depdiknas diminta melaporkan secara rinci jumlah dan asal bantuan serta rencana alokasinya. Paling lambat Februari 2005, Depdiknas diminta mengajukan rencana menyeluruh dari rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan di daerah-daerah bencana. (NAR/INE).

Minggu, 30 Desember 2007
Asah Pendidikan Keagamaan Pada Anak

Pontianak,- Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)< Ketua Umum Badan Komunikasi Pemuda-Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) Kota Pontianak, Firdaus Zar’in berharap malam tahun baru para orang tua melakukan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sebab, kata dia, dari inventarisasi justru minim sekali kegiatan malam tahun baru yang bersifat refleksi dan positif. Justru terkesan malam tahun baru diperingati dengan kumpul-kumpul, maupun pesta.

“Saya imbaulah, perayaan malam tahun baru, jangan sampai muncul festival anak yang salah dan justru menimbulkan bencana kepada ibu-ibu maupun bapak-bapak. Jadi hendaklah anak-anak kita diawasi jangan sampai mabuk-mabukan, narkoba atau terjerumus seks bebas pada malam tahun baru,” kata Firdaus Zar’in, saat membuka Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) ke VII Kota Pontianak di lingkungan Perguruan Mujahidin, kemarin.

Firdaus menuturkan hendaknya semua pihak lebih sensitif dan peduli pada masalah anak. Seharusnya upaya meningkatkan prestasi dan pendidikan keagamaan. “Selama ini, kadang-kadang kita tidak adil pada kegiatan yang bersifat akhirat. Kepedulian terhadap pendidikan agama anak juga kurang diperhatikan. Karena itu momentum Festival Anak Saleh Indonesia (FASI) hendaknya kita jadikan tekad untuk membimbing dan mengasah nilai keagamaan pada anak. Adanya Festival Anak Saleh Indonesia merupakan kegiatan yang sangat positif, sasaran dan tujuannya juga sangat jelas,” ujarnya.

Namun sangat disayangkannya, dalam melakukan aktivitasnya, selama ini masih terkendala dengan bantuan. Bahkan dalam sambutan panitia diketahui, mereka hanya bermodalkan “tekada kebersamaan”. Karena tujuan dan sasarannya jelas, Firdaus menekankan, sudah semestinya kegiatan yang positif seperti ini mendapat dukungan anggaran di APBD Kota Pontianak.

Direktur LPPTKA Kota Pontianak, Drs Jamiat kepada Pontianak Post menguraikan Festival Anak Shaleh Indonesia (FASI) ke VII merupakan kegiatan yang diikuti TKA, TKPA, dan TQA. Dimana kegiatan yang diadakan tiga tahun sekali ini tujuannya mempersiapkan FASI tingkat Propinsi maupun tingkat nasional.

Tentu saja festival anak Shaleh Indonesia merupakan upaya peduli terhadap peningkatan kemajuan dan pengembangan bidang pembangunan keagamaan khususnya Agama Islam, melalui pendekatan dan kebersamaan. Dengan demikian, pembangunan bidang keagamaan khususnya Agama Islam, di Kota Pontianak mengalami peningkatan dan perkembangan yang cukup pesat dan semarak.

Demikian juga mengikat silaturahmi, media pendidikan agama secara professional maupun perbaikan proses belajar dan lain sebagainya.“Ada sekitar tujuh cabang kegiatan yang diperlombakan seperti, Nasyid, Kaligrafi, dan lain-lain, kegiatan yang dikatakan ketua panitia diikuti sebanyak 395 peserta ini tentu saja tujuannya mengasah jiwa anak untuk lebih memahami nilai-nilai agama, termasuk juga ukhuwah Islamiyah,” papar Drs Jamiat.(ndi)

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

Senin, 2 Juni 2008 13:44:43 - oleh : admin

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

Pendidikan Anak Usia Dini, belum Merata

Media Indonesia: 25 Oktober 2004

JAKARTA (Media): Pendidikan untuk anak usia dini belum menjamah seluruh lapisan masyarakat, karena akses informasi pendidikan jenjang ini masih belum merata.

Dalam sistem pendidikan nasional pendidikan anak usia dini (PAUD) telah dimasukkan secara tegas dalam pasal tersendiri yakni Pasal 28 UU Sisdiknas atau UU No 20/ 2003.

Dalam Ayat 1 butir 14 disebutkan bahwa PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan pada anak sejak lahir hingga umur 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Menurut Fasli Jalal, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP), Depdiknas, kemarin, pendidikan PAUD ini sudah mulai dilakukan sejak ibu masih hamil ketika sang jabang bayi perlu rangsangan dari luar baik lingkungan ataupun kebutuhan gizinya, agar nantinya tumbuh berkembang menjadi anak sehat dan pintar.

Setelah sang anak mengenal lingkungan perlu pola pengasuhan yang baik agar dia dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula. ''Pada saat pengasuhan inilah mulai intervensi dari keluarga,'' kata Fasli yang juga seorang dokter medis tersebut.

Di Indonesia saat ini, kata Fasli, terdapat antara 16-20 juta anak yang perlu mendapat motivasi dan bimbingan PAUD secara holistik. Mereka ini berada dalam usia kelompok bermain ataupun taman kanak-kanak yang memerlukan stimulasi pertumbuhan. Sayangnya dari mereka itu hanya sebagian kecil yang memiliki peluang untuk mendapatkan stimulasi pendidikan.

Hingga saat ini baru sekitar 28% anak usia dini yang terlayani pendidikannya. Mereka terlayani di bina keluarga balita (9,6%), taman kanak-kanak (6,5%), raudhatul athfal (1,4%), kelompok bermain (0,13%), dan taman penitipan anak (0,05%), serta lainnya (9,9%).

Beberapa tahun terakhir, perkembangan pendidikan PAUD ini memperlihatkan adanya peningkatan, terutama pada program kelompok bermain, taman penitipan anak, dan posyandu terintegrasi. Pada 2004 ini, misalnya, Jumlah anak yang terlayani di kelompok bermain mencapai 36.648 anak, padahal semula hanya 4.800 anak.

Pada tahapan taman penitipan anak sebanyak 15.308 anak yang semula hanya 9.200 anak. Meskipun demikian dibanding dengan jumlah anak yang memasuki usia PAUD di Indonesia jumlah ini masih perlu ditingkatkan.

Menurut Fasli, masih rendahnya jumlah anak yang terlayani dalam PAUD ini akibat dari kurangnya akses informasi masyarakat terhadap PAUD. Bagi masyarakat di kota besar dan sekitarnya program ini cenderung bisa berjalan lebih mudah, sebab memiliki informasi yang baik, serta kesadaran tinggi tentang perlunya program PAUD ini.

Mereka juga didorong oleh tuntutan lingkungan yang memaksa mereka melalukan upaya PAUD. Namun, bagi masyarakat pinggiran atau masyarakat kurang mampu lainnya program PAUD ini masih belum banyak menyentuh kehidupan mereka.

Minimnya pengetahuan, ditambah dengan kondisi ekonomi yang tidak memadai menyebabkan mereka mengabaikan PAUD. Padahal, kata Fasli, program PAUD ini sesungguhnya tidak memerlukan biaya besar seperti yang terjadi di kota-kota besar, program PAUD sudah bisa berjalan apabila di suatu kelompok masyarakat meluangkan waktunya untuk memberi rangsangan pendidikan bagi si anak balita.

Mereka bisa melakukannya di mana saja, di kebun, di halaman, di lapangan ataupun di rumah secara berkelompok dengan cara bermain.

Namun, ujar Fasli, upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan bekerja sama dengan media massa mengenalkan program PAUD secara luas.

Pada 2004 ini, Dirjen PLSP, Direktur PAUD bekerja sama dengan Forum Wartawan Peduli Pendidikan menyelenggarakan lomba penulisan PAUD. Tujuannya, mencari masukan tentang PAUD, juga dalam rangka menyebarluaskan informasi mengenai PAUD ke segenap lapisan masyarakat.

Trauma Konseling Pendidikan Anak Usia Dini di Nias Tersendat

Jakarta, Kompas - Sebanyak 14 posko pendidikan anak usia dini yang dirintis pascagempa bumi dan tsunami di Pulau Nias, Sumatera Utara, hancur berantakan akibat gempa bumi susulan tanggal 18 Maret lalu. Kegiatan trauma konseling bagi anak-anak usia 0-6 tahun di pulau tersebut praktis tersendat.

Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas Fasli Jalal di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan bahwa ke-14 posko pendidikan anak usia dini tersebut dirintis oleh relawan-relawan, yang sebelumnya sudah mengikuti pelatihan kelompok bermain di Balai Pengembangan PLSP Depdiknas di Medan. Sama seperti puluhan tenaga relawan lainnya yang telah aktif di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), mereka pun bermisi membangkitkan semangat hidup anak-anak usia 0-6 tahun di Nias yang kehilangan orangtua akibat gempa dan tsunami, 26 Desember 2004.

"Begitu gempa susulan terjadi, posko-posko yang didirikan di sisa emperan rumah, tempat ibadah, dan balai desa hancur berantakan. Seorang relawan bahkan meninggal dunia. Kegiatan trauma konseling di Nias bisa diibaratkan kembali ke titik nol. Kita harus memulai lagi," kata Fasli.

Terkait dengan itu, Direktur Pendidikan Anak Dini Usia Depdiknas Gutama mengatakan, saat ini pihaknya kembali mengadakan pelatihan tenaga pengelola dan pendidik kelompok bermain untuk para korban bencana alam di Nias dan wilayah NAD.

"Tantangannya tentu makin besar karena tenaga lokal yang pernah diterjunkan merintis pun masih trauma. Perlu sokongan tenaga baru dengan tetap mengacu standar prosedur wilayah bencana," katanya.

Atas bantuan Unicef, tenaga relawan terdidik yang telah dan akan diterjunkan ke Nias dan NAD mendapatkan biaya operasional Rp 600.000 untuk satu posko. Satu posko ditangani dua orang. Satu orang tenaga diharapkan melayani sekitar 20 anak.

Materi pelatihan diberikan oleh Depdiknas. Adapun perekrutan dan penempatan tenaga relawan ditangani oleh pemerintah setempat.

Menurut Gutama, upaya membangkitkan semangat hidup anak-anak usia prasekolah di daerah bencana perlu terus digalakkan. Alasannya, dalam kondisi normal saja, anak-anak yang tidak tersentuh layanan pendidikan berpotensi putus sekolah. Apalagi jika jiwanya dicekam trauma. (NAR)

Artikel Pendidikan Anak Usia Dini

dari Bintang untuk Bangsaku

Landasan Dasar Pendidikan Anak Usia Dini

Ada tiga hal yang dijadikan landasan PAUD, yaitu :
1. Landasan Yuridis
2. landasan Empiris
3. Landasan Keilmuan

Landasan Yuridis

Landasan hukum terkait dengan pentingnya PAUD tersirat dalam :

  • Amandemen UUD pasal 28b ayat 2, yaitu : negara menjamin kelangsungan hidup, pengembangan dan perlindungan anak terhadap eksploitasi dan kekerasan.
  • Keppres No. 36 tahun 1990, Konvensi Hak Anak, kewajiban negara untuk pemenuhan hak anak.
  • UU No. 20/2003 tentang sistem Pendidikan Nasional
  • PP No.27/1990 tentang pendidikan Prasekolah
  • PP No.39/1992 mengenai Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional

Berbagai komitmen/peraturan maupun konvensi internasional yang terkait dengan hak asasi anak (beberapa telah diratifikasi).

  • CRC-20 November 1989, pemenuhan hak-hak dasar anak
  • United Nations Milenium Declaration- 8 Desember 2000, tentang perlunya nilai-nilai dasar yang bersifat universal yang harus ditanamkan pada anak-anak.
  • The World Fit for Children - 8 Mei 2002, tentang memberikan kesempatan yang lebih luas bagi anak untuk berpartisipasi dalam pengambilan dan pemenuhan hak-hak dasar anak.
  • Konferensi internasional di Dakkar – Senegal tahun 2000, “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak dini usia, terutama bagi nak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung”.

Landasan Empiris

  • Sensus penduduk 2003, diperkirakan jumlah anak usia dini di Indonesia adalah 26,17 juta jiwa. Namun yang belum terlayani PADU masih terdapat sekitar 19,01 juta (72,64%).
  • Laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) pada tahun 2002 Indonesia menempati peringkat 110 dari 173 negara dan 111 pada tahun 2004, jauh di bawah negara ASEAN lainnya seperti Malaysia (59), Philipina (77), Thailand (70).
  • Berdasarkan hasil studi “kemampuan membaca” siswa tingkat SD yang dilaksanakan oleh International Educational Achevement (IEA) diketahui bahwa siswa SD di Indonesia berada di urutan ke 38 dari 39 negara.
  • Hasil penelitian The Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999, kemampuan siswa Indinesia di bidang IPA berada di urutan ke 32 dari 38 negara yang diteliti dan di bidang matematika berada di urutan ke 34 dari 38 negara yang diteliti.
  • Berdasarkan Piramida pendidikan Depdiknas tahun 1999/2000, yaitu rendahnya kualitas calon siswa didasarkan pada suatu kenyataan bahwa selama ini perhatian kita terhadap pendidikan anak usia dini masih sangat minim.

Landasan Keilmuan

Penelitian-penelitian :

  • Seorang bayi yang baru lahir memiliki kurang lebih 100 miliar sel otak. Ini menunjukkan selama 9 bulan masa kehamilan, paling tidak setiap menit dalam pertumbuhan otak diproduksi 250 ribu sel otak. Setiap sel otak saling terhubung dengan lebih dari 15 ribu simpul elektrik kimia yang sangat rumit sehingga bayi yang berusia 8 bulan pun diperkirakan memiliki biliunan sel saraf di dalam otaknya. Sel-sel saraf ini harus rutin distimulasi dan didayagunakan supaya terus berkembang jumlahnya.
  • Pada usia rawan saat anak mulai banyak bergerak, yaitu usia 6 bulan, angka kecelakaan dapat berkurang sebanyak 80% bila mereka diberi rangsangan dini.
  • Pada umur 3 tahun, anak-anak akan mempunyai IQ 10 sampai 20 poin lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah mendapat stimulasi.
  • Pada usia 12 tahun, mereka tetap memperoleh prestasi yang baik dan pada usia 15 tahun, tingkat intelektual mereka semakin bertambah.
  • Ini memberikan gambaran bahwa pendidikan sejak dini memberikan efek jangka panjang yang sangat baik. Sebaliknya, bila anak mengalami stress pada usia-usia awal pertumbuhannya akan berpengaruh juga pada perkembangan otaknya. Anak yang dibesarkan di dalam lingkungan yang minim stimulasi, berkurang kecerdasannya selama 18 bulan yang tidak mungkin tergantikan.
  • Otak manusia terdiri dari 2 belahan, kiri (left hemisphere) dan kanan (right hemisphere) yang disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpuss callosum. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi, tugas, dan respons berbeda dan harus tumbuh dalam keseimbangan. Belahan otak kiri terutama berfungsi untuk berpikir rasional, analitis, berurutan, linier, saintifik seperti membaca, bahasa dan berhitung. Sedangkan belahan otak kanan berfungsi untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Bila pelaksanaan pembelajaran di PADU memberikan banyak pelajaran menulis, membaca, bahasa dan berhitung seperti yang cenderung terjadi dewasa ini, akan mengakibatkan fungsi imajinasi pada belahan otak kanan terabaikan. Sebaiknya dalam usaha memekarkan segenap kecerdasan anak, pembelajaran pada anak usia dini ditunjukkan pada pengembangan kedua belahan otak tersebut secara harmonis.
  • Gardner menemukan bahwa otak manusia memiliki beberapa jenis kecerdasan yaitu : bahasa, logis matematis, visual-spasial, musical, kinestik, interpersonal social, intrapersonal, naturalis.

Wiratih Rahayu

SOSIALISASI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
Dipublikasi pada Senin, 02 Februari 2009 oleh Ade
Selasa,27/01/09, Bertempat di Gedung Serba Guna Kantor Walikota Jayapura, sejumlah peserta berkumpul untuk mengikuti acara Sosialisasi Pendidikan Usia Dini (PAUD) Non Formal bagi Pengelola PAUD di Kota jayapura, Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom.Acara ini dibuka langsung oleh Wakil Walikota Jayapura Soedjarwo,BE yang dihadiri oleh para pejabat dan Muspida Kota Jayapura serta undangan lainnya.


Acara sosialisasi ini merupakan kerja sama Sub Dinas PLS Dinas P dan P Provinsi Papua dan PAUD Waniambe PKK Kota Jayapura.

Dalam sambutannya, Wakil Walikota mengatakan," Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia dan pendidikan itu, berlangsung sepanjang hayat (Long Life Education), yaitu sejak usia dini dan sepanjang kehidupan setiap manusia".

Lebih lanjut dikatakan bahwa berdasarkan UU No. 30 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, antara lain disebutkan perlunya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan non formal. Sementara PAUD merupakan bagian dari penyelenggarakan pendidikan non formal yang diselenggarakan bagi warga masyarakatyang memerlukan layanan pendidikan yang berungsi sebagai pengganti, penambah dan/ atau pelengkap pendidikan formal.Melalui pendirian PAUD (Play Group) diharapkan anak-anak usia dini dapat memiliki kelompok bermain yang terarah dan teratur dan lebih bersifat didikan dini.

Wakil Walikota juga mengatakan bahwa, PAUD yang merupakan lembaga pendidikan yang tergolong baru dan belum beitu memasyarat dan belum berkembang di Provinsi Papua, sehingga sosialisasi perlu dilakukan baik terhadap pengelola maupun masyarakat pada umumnya.

Di akhir sambutannya, H.Soedjarwo,BE menyampaikan harapannya," Agar seluruh peserta dapat mengikuti dengan baik kegiatan ini dan memahami materi yang disajikan, sehingga kegiatan sosialisasi PAUD ini dapat diteruskan oleh peserta di tengah-tengah masyarakat, sehingga masyarakat semakin menyadari akan pentingnya PAUD bagi anak-anak usia pra sekolah, dan jumlah PAUD akan semakin tumbuh dan berkembang di Provinsi Papua". (Ade Att.)

MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINIMar 6, '08 9:22 AM
for everyone


MEMAHAMI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

By : Dra. Nani Susilawati (Staf Pengajar FISIP USU)

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah salah satu upaya pembinaan yangditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tujuan PAUD adalah membantu mengembangkan seluruh potensi dan kemampuan fisik, intelektual, emosional, moral dan agama secra optimal dlam lingkungan pendidikan yang kondusif, demokratis dan kompetitif.

LANDASAN YURIDIS

  1. Pembukaan UUD 1945 ; ‘Salah satu tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.’
  2. Amandemen UUD 1945 pasal 28 C

’Setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.’

3. UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 9 ayat (1)

’Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minta dan bakat.’

4. UU No 20/2003 pasal 28

1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan/atau informal.

3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

5) Pendidikan anak usia dini pada jalur informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

PAUD MERUPAKAN KOMITMEN DUNIA

Komitmen Jomtien Thailand (1990)

’Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir sampai menjelang ajal.’

Deklarasi Dakkar (2000)

’Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini secara komprehensif terutama yang sangat rawan dan terlantar.’

Deklarasi ”A World Fit For Children” di New York (2002)

‘Penyediaan Pendidikan yang berkualitas’

PENTINGNYA PAUD

1) PAUD sebagai titik sentral strategi pembangunan sumber daya manusia dan sangat fundamental.

2) PAUD memegang peranan penting dan menentukan bagi sejarah perkembangan anak selanjutnya, sebab merupakan fondasi dasar bagi kepribadian anak.

3) Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik maupun mental yang akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, produktivitas, pada akhirnya anak akan mampu lebih mandiri dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

4) Merupakan Masa Golden Age (Usia Keemasan). Dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada anak usia dini menempati posisi yang paling vital yakni mencapai 80% perkembangan otak.

5) Cerminan diri untuk melihat keberhasilan anak dimasa mendatang. Anak yang mendapatkan layanan baik semenjak usia 0-6 tahun memiliki harapan lebih besar untuk meraih keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan yang memadai membutuhkan perjuangan yang cukup berat untuk mengembangkan hidup selanjutnya.

KONDISI YANG MEMPENGARUHI ANAK USIA DINI

Faktor Bawaan : faktor yang diturunkan dari kedua orang tuanya, baik bersifat fisik maupun psikis.

Faktor Lingkungan

  1. Lingkungan dalam kandungan
  2. Lngkungan di luar kandungan : lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah dll.

MEMAHAMI KARAKTERISTIK ANAK USIA DINI

  1. Mengetahui hal-hal yang dibutuhkan oleh anak, yang bermanfaat bagi perkembangan hidupnya.
  2. Mengetahui tugas-tugas perkembangan anak, sehingga dapat memberikan stimulasi kepada anak, agar dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik.
  3. Mengetahui bagaimana membimbing proses belajar anak pada saat yang tepat sesuai dengan kebutuhannya.
  4. Menaruh harapan dan tuntutan terhadap anak secara realistis.
  5. Mampu mengembangkan potensi anak secara optimal sesuai dengan keadaan dan kemampuannya.