Selasa, 31 Maret 2009

Baru 64.000 Anak Cacat Mendapat Pendidikan Khusus

Jakarta (ANTARA News) - Baru sekiatar 64.000 anak penyandang cacat usia (5-18 tahun) atau emapat persen dari sekiat 2,1 juta penyandang cacat di Indonesia yang kini memperoleh pendidikan khusus di sekolah luar biasa (SLB), kata Ketua Yayasan Asih Budi (YAB) Jakarta Ny RA Aryanto.

"Dari 64.000 anak penyandang cacat yang kini memperoleh pendidikan di SLB yang sebagian besar sekolahnya (62 persen) dikelola swasta, sedang sisanya SLB milik pemerintah," katanya kepada pers para peringatan HUT ke-50 YAB di Kompleks Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu.

Dalam acara yang diikuti 300 anak tuna grahita (kelambatan berpikir) se-Jakarta dan pengurus DNIKS H Bustanil Arifin, Rohadi dan pejabat Pemprov DKI Ibnu hajar itu, Ny Aryanto berharap, pemerintah segera menambah sekolah bagi anak penyandang acat agar kelak dewasa mereka dapat mandiri dan tidak harus bergantung orang lain.

"Sesuai kesepakatan negera-negara anggota PBB pada tahun 2012 bahwa minimal 75 persen dari penyandang cacat di setiap negera telah memperoleh pendidikan khusus agar mereka menjadi warga negara yang ikut serta membangun negaranya," katanya.

Mantan ketua olimpiade penyandang cacat Indonesia (SOINA) itu mengajak pemerintah dan masysrakat untuk ikut peduli dan memperhatikan dengan memberikan pelayanan yang sama dengan warga yang normal, sehingga penyandang cacat akan tumbuh, berkembang dan memiliki keterampilan untuk mandiri.

Menurut Ny Aryanto, penyandang cacat terbagi atas tuna runggu (cacat pendengaran), tuna netra (cacat penglihatan), tuna daksa (cacat tubuh) dan tuna grahita (cacat kelambatan berpikir) itu semua dapat didik dan dilatih melalui sekolah khusus sehingga dapat mandiri.

Karena itu, dia menilai keliru jika ada masyarakat atau keluarga yang "malu" memiliki anak penyandang cacat, tapi perlu meberikan pelayanan yang sama dengan anak normal, seperti menyekolahkan ke SLB atau memberikan keterampilan tertentu.

Ny Aryanto menegaskan, YAB yang dipimpinnya bergerak menyelenggrakan pendidikan bagi anak tuna grahita di Jakarta yakni tanpa dikenakan biaya dari keluarga miskin, para anak tuna grahita mendapat pendidikan dan keterampilan, seperti menjahit dan pertukangan.

"Selain itu, anak tuna grahita dapat berprestasi bagus dalam olah raga, seperti dalam olimpide tuna grahita di Shanghai, Cina, 2007, tim Indonesia berhasil mendapatkan 9 medali emas dan 11 perak," katanya.

Pada HUT ke-50 YAB tersebut diisi lomba gerak jalan yang diikuti 300 anak tuna grahita dan 200 pembina, lomba olahraga futsal, pentas seni serta pameran hasil kerajinan anak tuna grahita se-Jakarta.

Komitmen Depdiknas terhadap Pendidikan Khusus Baru Sentuh 21 Persen ABK

Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak. Sayang, hal tersebut belum diikuti ketersediaan sekolah yang cukup dan tenaga pendidik yang memadai. Bagaimana program pemerintah untuk mengangkat derajat pendidikan para ABK itu?
Hingga kini, masih terlihat kesenjangan antara pendidikan khusus dengan pendidikan reguler. Belum adanya pendataan yang akurat mengenai jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) oleh pemerintah merupakan salah satu bukti. Selama ini, untuk memprediksi jumlah ABK di Indonesia, pemerintah menggunakan data dari hasil sensus nasional atau prevalensi dari standar lain. implikasinya, pemerintah tidak dapat menyusun program layanan yang benar-benar akurat sesuai dengan karakteristik kebutuhan ABK itu sendiri.
Berdasar hasil analisa BPS (Badan Pusat Statistik) dan Depsos (Departemen Sosial) tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun (masuk kategori usia sekolah) diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat, atau 317.016 anak.Sementara itu, berdasar data dari Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa), ABK yang sudah mendapat layanan pendidikan sebanyak 66.610 anak. Rinciannya, TKLB 8.011 anak, SDLB 44.849 anak, SMPLB 9.395 anak dan SMALB sebesar 4.395 anak. Dengan fenomena itu, dapat disimpulkan baru 21 persen ABK di Indonesia yang telah memperoleh layanan pendidikan.
Kenyataan itu diperparah dengan minimnya tenaga pendidik yang hanya berjumlah 10.338 orang. Jumlah tersebut disinyalir jauh dari kebutuhan. Apalagi, mainset guru kita sudah telanjur terpola secara dikotomi antara guru regular dan guru khusus.
Menurut Budiyanto, tim pengembang SDN Inklusi Ngasem 1 Surabaya dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), hak mendapat pendidikan merupakan hak semua anak bangsa. Itu sesuai UUD 1945 pasal 31 (1) dan UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas).
Pada pasal 32 ayat 1 disebutkan, pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan disik, emosional, mental, sosial dan memliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Ada 12 jenis ABK. Yaitu, tunanetra (cacat penglihatan), tunarungu (cacat pendengaran), tuna grahita, tunadaksa (cacat tubuh), tunalaras (lambat belajar), tuna wicara (tidak dapat berbicara), tunaganda (korban penyalahgunaan narkoba), dan penyandang HIV/AIDS. Tuna Grahita dibagi menjadi tiga. Yaitu, tuna grahita ringan (anak yang memiliki IQ diantara 50-70), tuna gfrahita sedang (IQ: 25-50), dan tuna grahita berat (IQ dibawah 25).
Pada ayat 2 dijelaskan, pendidikan layanan khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang. "Termasuk yang mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Melihat fenomena yang cukup miris itu, Direktorat PSLB (pendidikan sekolah luar biasa) tahun ini berkonsentrasi mendandani pendidikan khusus (PK). Salah satu langkah yang diupayakan ialah menyediakan anggaran sebesar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Nilai anggaran itu berkisar Rp 365 miliar. "Nilai itu belum termasuk anggaran yang diprogramkan dari APBD masing-masing daerah tingkat kabupaten dan kota," ujar drg Sjatmiko dari direktorat PSLB Depdiknas dalam seminar Strategi Pengembangan Pendidikan Inklusif di Indonesia yang diadakan Unesa, beberapa waktu lalu.
Persoalannya, kata Jatmiko, pada tataran realisasi, apakah semua daerah memiliki komitmen yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan? "Sebab, di era otonomi seperti sekarang, masing-masing daerah memiliki kewenangan sendiri-sendiri," ujarnya.
Di samping itu, untuk menambah SDM pendidik, pemerintah mulai menggandeng perguruan tinggi di seluruh tanah air.


Reformasi Pendidikan Tinggi Hukum untuk Memungkinkan Pendidikan Khusus bagi Advokat

1. Kurikulum Nasional (Khusus) 1993 (Kep. Mendikbud 17/1993) mensyarakatkan adanya matakuliah “kemahiran hukum” (legal skills) dalam kurikulum semua fakultas hukum. Tujuannya adalah agar lulusan dibekali dengan “kesiapan kerja” yang lebih baik. (Bandingkan pula dengan

CLE-Pendidikan Hukum Klinik yang di UNPAD dijadikan proyek percontohan dengan Kep. Dikti No. 30/1983).

2. Seorang sarjana hukum yang akan mempergunakan pengetahuannya dalam masyarakat harus mempunyai “kemahiran analisa” (analytical skills). Ketidakmampuan secara cermat menganalisa suatu kasus hukum, adalah keluhan umum yang diajukan terhadap lulusan (baru) fakultas hukum. Kritik masyarat tentang “tidak siap-kerja” para lulusan fakultas hukum, berintikan keinginan kantor-kantor hukum untuk menerima bekerja lulusan yang mampu mempergunakan “wawasan ilmu pengetahuan hukum” secara profesional analitis dalam kasus (-kasus) yang dihadapinya.

3. Dalam organisasi fakultas hukum telah disarankan adanya “laboratorium hukum” (Lab-Hukum). Tugas Lab-Hukum adalah: (a) menyelenggarakan pendidikan kemahiran (secara khusus dan tersendiri), dan (b) membina (para dosen) menggunakan pendekatan-terapan (applied approach) melalui penyediaan bahan untuk dosen, maupun meningkatkan dosen menggunakan bahan (kasus, peraturan; kontrak) tersebut. Memasukan Lab-Hukum dalam “struktur organisasi” fakultas hukum adalah dengan tujuan memudahkan perolehan dana dan pertanggungjawabannya (terutama untuk PTN).

4. Lab-Hukum yang disarankan adalah:
4.1. Unit latihan berlitigasi (sebagai hakim, jaksa, dan advokat)
4.2. Unit latihan non-litigasi (kemahiran bernegosiasi, menyusun kontrak, dan menyusun peraturan perundang-undangan);
4.3. Unit bantuan hukum untuk orang miskin (legal aid; melatih “social responsibility”).
Dalam perjalanan diskusi, maka ketiga unit ini ditambah dengan:
4.4 Unit latihan penulisan hukum (persiapan “legal memorandum” dan skripsi);
4.5 Unit pengajaran bahasa (Indonesia dan Inggris serta bahasa asing lainya).

5. Dalam makalah saya sepuluh tahun yang lalu, yaitu tahun 1994 (penataran untuk dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung), telah disarankan sejumlah aktivitas Lab-Hukum sebagai berikut:
5.1. Unit Litigasi (UL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Membuat dokumen-dokumen hukum pengadilan, misalnya: surat gugatan dan jawaban (hukum perdata); surat dakwaan dan pembelaan (hukum pidana); berita acara sidang (panitera); keputusan perkara (hakim; hukum perdata; hukum pidana); memori banding; memori kasasi; dan lain-lain.
(b) Praktik beracara di pengadilan: tata tertib; sopan santun; etika beracara (untuk hakim, jaksa, dan penasehat hukum); dapat disimulasikan melalui “peradilan semu” yang pada dasarnya akan mengajarkan a.l. teknik, keterampilan, dan etika dasar dalam beracara di pengadilan dan lain-lain.
(c) Manajemen dalam menangani kasus litigasi: persiapan-persiapan untuk maju di muka pengadilan; menangani kasus yang mendapat “sorotan publik/pers” atau kasus yang telah menimbulkan “emosi publik” atau kasus yang menyangkut klien yang “banyak” (10,50,100) orang; dan lain-lain.

5.2. Unit Non-Litigasi (UNL) dengan aktivitas a.l.:
(a) Mewakili klien dalam bernegosiasi untuk transaksi bisnis yang besar (dengan pihak pemerintah; pihak “mitra” ataupun “lawan” dalam bisnis): teknik-teknik mempersiapkan diri, pendekatan “take and give”, penyusunan laporan untuk klien; dan lain-lain;
(b) Menyusun kontrak dagang atau bisnis berdasarkan fakta dan instruksi klien;
(c) Menyusun peraturan perundang-undangan: tingkat daerah dan tingkat pusat; menelusuri peraturan yang akan menjadi dasar, yang perlu diubah atau dicabut; dan lain-lain;
(d) Penyusunan dokumen hukum “resmi” seperti: pendirian perusahaan (a.l. anggaran dasar p.t.); jual beli tanah; jual beli rumah susun atau kondominium; dan lain-lain.

5.3. Unit Bantuan Hukum (UBH):
Kegiatan dalam unit ini mencerminkan keprihatinan dan kepedulian fakultas hukum terhadap warga masyarakat yang tidak mampu (miskin). Partisipasi para mahasiswa dalam UBH sebaiknya lebih bersifat “sukarela” dan berdasarkan “seleksi”, karena tujuan pendidikannya adalah menanamkan konsep “pelayanan social” (public service) dan bahwa perlu ada “ketertiban sosial” dari profesi hukum. Yang perlu dicegah adalah bahwa UBH menjadi “kantor penasihat hukum (advokat; konsultan hukum) terselubung” dari dosen (dan mahasiswa) fakultas hukum bersangkutan. Pendekatan “komersial” atau “bisnis” dari UBH harus dicegah pula, namun tentu diharapkan dapat “berdikari” dalam bidang keuangan.

Melalui Lab-Hukum ini fakultas dapat pula melaksanakan kegiatan-kegiatan lain misalnya yang pernah disarankan:

5.4. Yang bersifat “latihan kemahiran”:
(a) Penelusuran efektif peraturan dan yurisprudensi;
(b) Menulis “nasihat” hukum singkat dan sederhana;
(c) Memimpin rapat (misalnya rapat umum tahunan suatu organisasi atau perusahaan);
(d) Pemahaman tentang keberadaan (dan sejarah terbentuknya) berbagai organisasi profesi hukum serta etika profesi hukum;
(e) Tata cara melangsungkan “perdamaian” antara klien dan “lawan”, atau antara dua (atau lebih) “klien” (pihak-pihak yang meminta bantuan “mediation”, “conciliation” ataupun arbitration”) [dapat merupakan prasyarat untuk matakuliah (bila ada) “Alternative Dispute Resolution”];
(f) Manajemen kantor penasihat hukum (arsip klien; titipan dokumen hukum asli; penagihan pembayaran; pembukuan sederhana; peraturan jadwal sidang dan pertemuan dengan klien; dan lain-lain);
(g) Pemanfaatan program-program komputer untuk meningkatkan manajemen (termasuk penyusunan rancangan perjanjian) kantor penasehat hukum (atau mutatis mutandis kantor jaksa, kantor panitera, kantor hakim).

5.5. Yang bersifat “pengabdian kepada masyarakat”:
(a) Penyuluhan hukum untuk memberikan pengetahuan hukum yang dasar kepada masyarakat, tidak saja kewajibanya tetapi juga hak-haknya;
(b) Membantu membekali mahasiswa fakultas hukum yang akan melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata).

6. Kalau saran sepuluh tahun yang lalu telah dijalankan, maka fakultas hukum tentu sudah mempunyai Lab-Hukum yang cukup siap dan berpengalaman untuk dikembangkan menjadi suatu penjurusan atau pengkhususan kependidikan profesi hukum (Professional school) yang dapat disesuaikan dengan tantangan masa kini. Pada waktu ini (tahun 2004), peta pendidikan untuk profesi hukum sudah mulai berubah. Perkembangan ekonomi dunia telah memberikan dampaknya pula pada pendidikan tinggi hukum. Globalisasi pasar ekonomi telah berpengaruh timbal balik pada perkembangan teknologi informasi dan perubahan dalam masyarakat, termasuk di bidang hukum. Kampus hukum harus siap menghadapi persaingan dunia di berbagai aspek aktivitas ekonomi, termasuk perdagangan di bidang jasa. Pasar jasa dalam negeri pada awal abad ke-21 ini diprediksikan akan mulai menjadi pasar internasional. Dalam suasana seperti itu, para sarjana hukum Indonesia harus dapat bersaing dengan jasa hukum yang ditawarkan dari luar negeri ke Indonesia.

7. Untuk menghadapi tantangan di atas, kampus hukum Indonesia harus mempunyai strategi yang agresif untuk meningkatkan daya saing (competitiveness) para lulusannya berhadapan dengan sarjana hukum asing. Sebaiknya kampus dan profesi hukum tidak mengandalkan cara-cara tradisional yang bersifat defensive, dengan meminta proteksi melalui berbagai larangan dan pembatasan untuk praktisi hukum asing. Cara ini hanya akan membuat sarjana hukum Indonesia menjadi “jago kandang” (yang sering disamarkan dengan istilah “tuan di rumah sendiri”) dan tidak kompetitif di luar Indonesia. Jangan lupa bahwa pada akhir abad yang lalu, dunia profesi hukum telah mulai berubah dan pada penghujung abad ke 21 ini internasionalisasi dan globalisasi profesi hukum sudah berjalan, begitu pula untuk Indonesia.


8. Bagaimana sebaiknya kita bersikap? Tidak ada jawaban yang mudah, sederhana, dan berlaku umum. Pertama, kita harus mengakui kita telah tertinggal dibandingkan pendidikan profesi hukum di negara-negara tetangga kita (Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina). Kita mau menyadari hal itu dan kita harus ingin mengejar ketinggalan kita. Kedua, kata kunci adalah “kepedulian” dan “kerjasama”. Peduli terhadap sumber-sumber utama personalia di bidang hukum (hakim, jaksa, advokat) yang sedang menghadapi masalah. Karena itu perlu ada kerjasama antara organisasi profesi dengan fakultas hukum. Harus dibangun suatu “strategi bersama” dan suatu “cetak biru” untuk membuka jalan ke masa depan. Tanpa hal ini mustahil kita dapat mengejar ketinggalan kita!

Senin, 30 Maret 2009

Kurangnya Pendidikan Agama Picu Kekerasan


Pendidikan menjadi kunci utama pembentukan kepribadian anak. Pertambahan usia anak memiliki konsekuensi pada perubahan proses pendidikan yang mereka terima. Oleh sebab itu, bertambah usia anak dan berubahnya perilaku mereka harus disertai pendidikan yang tepat sehingga memiliki kepribadian yang luhur. Pendidikan agama menempati posisi yang vital menyertai proses pendidikan anak. Kurangnya pendidikan agama dapat memicu tindak kekerasan. Berikut perbincangan Reporter CMM Yulmedia dengan Hj. Nidalia Djohansyah Makki. Anggota Komisi II DPR RI:
Tindak kekerasan marak di mana-mana. Perilaku tersebut ternyata merambah pada lembaga pendidikan, IPDN misalnya. Mengapa demikian? Peristiwa ini telah membuka mata kita, mengetuk pintu relung hati hati kita yang paling dalam, apakah dari bangku pendidikan yang ada sekarang ini ajaran yang menyangkut moral, pendidikan agama serta tuntunan yang menjunjung tinggi bahasa nurani dan kemanusiaan masihkah dijadikan kurikulum di sekolah-sekolah yang bakal melahirkankan generasi-generasi untuk memimpin bangsa ini selanjutnya? Karena kita tahu, manusia tidak bisa hanya disuguhkan ilmu pengetahuan an sich (semata), melainkan juga perlu diimbangi dengan suguhan-suguhan untuk mengisi ruang-ruang spiritual yang ada pada diri masing-masing kita, seperti nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Intinya, ajaran-ajaran atau pendidikan berlandaskan keagamaan mesti selalu ada.
Berbicara pendidikan agama, faktor apa yang dapat mempengaruhi perkembangan keagamaan kita? Perkembangan keagamaan anak, antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, faktor pendidikan, baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di luar sekolah termasuk dalam keluarga. Kedua, faktor makanan yang disajikan orangtua untuk anak. Al-Qur-’an mengisyaratkan agar memakan makanan dan meminum minuman yang halal dan baik (halalan thayyiba). Makanan yang disediakan orang- tua adalah bahan dasar yang akan mengalir dalam darah anak. Jika makanan itu halal dan baik, maka akan baik pulalah akibatnya pada masa depan dan kehidupan anak. Ketiga, faktor doa yang menjadi kekuatan spiritual bagi perkembangan anak. Secara sederhana, doa adalah suatu harapan yang diwujudkan dalam ucapan dan perilaku. Ucapan buruk orangtua kepada anaknya bisa menjadi doa. Demikian pula sebaliknya. Oleh karenanya, hindarilah kata-kata yang berisi laknatan kepada anak. Berikan ucapan dan kata-kata yang mulia untuk anak-anak. Tunjukan perilaku yang terpuji di hadapan anak. Hindari percekcokan di depan anak.
Dalam membimbing perkembangan keagamaan sang anak apa saja yang mesti diperhatikan? Kita semua dilahirkan dalam keadaan suci. Lahir bersih tanpa noda apapun. Dalam al-Quran dijelaskan, “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur,” (QS an-Nahl [16]: 78). Sejak lahir itulah setiap individu mulai dihiasi warna-warni kehidupan, sehingga selama proses perawatan ini pula, tumbuh kesadaran cinta kasih sebagai fitrah yang dianugerahkan-Nya. Membimbing perkembangan keagamaan anak seyogyanya dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar shalat dan mengaji, belajar berbuat kepada orangtua dan sesama manusia. Mendekatkan anak pada agama dapat pula dilakukan dengan mengondisikannya dalam ruang kehidupan yang serba teratur dengan tetap memelihara kebebasan dan kreativitasnya. Bimbinglah dan perkenalkan anak pada lingkungan yang religius. Ciptakan suasana rumah dalam nuansa yang religius, pilihlah lingkungan sosial yang memungkinkan anak belajar beragama, serta kondisikan anak untuk memilih sendiri sekolah dengan warna agama yang lebih dominan.
Hal-hal apa yang perlu diperhatikan dalam memberikan pendidikan keagamaan pada anak? Keteladanan merupakan kunci keberhasilan dalam mendidik anak. Lebih-lebih pada usia yang penuh diwarnai dengan perilaku meniru. Anak akan melakukan apa yang dilakukan orangtua serta orang-orang yang ada di sekitarnya. Selain itu, didiklah anak atas dasar kasih sayang, penuh perhatian dan pengertian, serta dalam suasana dan sikap yang penuh kesabaran. Pesan-pesan al-Quran dalam memberikan pendidikan salat kepada anak, secara implisit sekaligus memaparkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak. Salat juga mengajarkan kebersihan, sebab salah satu syarat dalam melaksanakan salat adalah bersih dari hadats dan najis. Dengan salat juga kita dapat melatih anak menutup aurat dan menanamkan kesadaran jenis kelamin. Sebab salat mensyaratkan menutup aurat, dan ketika berjamaah terikat dengan ketentuan imam dan makmum. Mendidik anak salat juga sekaligus mendidik anak belajar membaca al-Quran, sebab dalam pelaksanaan salat terdapat kewajiban membaca surat al-Fatihah dan surat-surat lainnya dalam al-Quran. Lebih penting lagi adalah membina dan membimbing anak dalam hidup berjamaah. Inilah, antara lain, prinsip pendidikan yang integratif, yang akan membawa anak didik memasuki dunia komprehensif.(CMM)

carut marut pendidikan agama islam di indonesia

Sampai hari ini pendidikan tetap dianggap pemerintah sebagai problem solving bagi perbaikan kondisi bangsa yang telah rapuh. Pendidikan tetap di prioritaskan untuk dilestarikan karena merupakan aset mahal bagi suatu negeri. Namun tidak semua pendidikan dapat dijadikan problem solving, hanya pendidikan yang memiliki kualitas atau bermutu terjamin yang dapat menjadi obat atau problem solving bagi perbaikan kondisi bangsa yang sedang mengalami krisis.
Sebagai sebuah problem solving sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk mengelola pendidikan dengan profesional dan efektif bagi terlaksananya pendidikan yang bermutu. Pemerintah sebagai sebuah lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam mengatur, me-manage dan membuat kebijakan tentang pendidikan seharusnya melakukan tugas terebut dengan baik dan profesional.
Dalam menempuh perjalannya, pemerintah (dalam hal ini departemen pendidikan nasional dan departemen agama-ed.) sebagai pengelola kebijakan pemerintah dalam bidang kependidikan masih di rasa kurang mampu dalam merespon dan menjawab tantangan perkembangan bangsa. Sehingga sering kali terkesan pemerintah kurang cakap dalam meelakuan pengelolaan di bidang pendidikan yang sebenarnya menjadi tumpuan bagi pemecahan problem bangsa.
Persoalan pemenuhan kebutuhan pendidikan yang bermutu hingga hari di rasa cenderung tidak terpenuhi, indikasi ini terlihat dari semakin menurunnya indeks prestasi sumber daya manusia yang surveinya dilakukan oleh UNDP (United Nations Development Program) sebuah badan di bawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa/United Nations). Indonesia dalam laporan tahun 2002 tersebut berada pada peringkat 110 atau satu tingkat lebih rendah dari prestasi negara tetangga yaitu Vietnam yang baru menglami perang saudara tahun 1960-an
1.
Namun pemerintah tidak pernah akan menyerah terhadap persoalan pemenuhan kebutuhan pendidikan bermutu bagi masyarakatnya. Semangat inilah yang akhirnya menyulut para pendidikan untuk ikut berperan aktif dalam mewujudkan cita-cita para founding father bangsa ini sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam upaya perbaikan mutu pendidikan pemerintah selama sekian dekade telah melakukan kebijakan-kebijakan yang mengarah pada perbaikan mutu walaupun belum terlaksana. Dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah banyak sekali terkandung kelebihan dan kekurangan. Tetapi selain pemeritah pakar-pakar pendidikan juga tetap berupaya memberikan masukan bagi pengambilan kebijakan yang mampu mengangkat mutu pendidikan.
Carut-marut dari semakin hancurnya kondisi bangsa indonesia dapat di lihat ketika anti klimaks proses pembangunan bangsa yang di prakarsai oleh mantan presiden Soeharto, terjadi pada masa reformasi. Reformasi di akibatkan oleh krisis yang dialami bangsa menjadi sangat parah tidak hanya pada sector ekonomi krisis juga merambah pada sector yang lain yaitu pendidikan, politik kesehatan bahkan keamanan. Dengan reformasi diharapkan kondisi bangsa yang sedang ditimpa krisis multidimensi dapat teratasi.
Sebagai stakeholders pada dunia pendidikan mahasiswa diharapkan dapat berperan lebih baik dalam mengawal proses reformasi pada dunia pendidikan. Namun keterpurukan pada sector pendidikan harusnya dapat di respon lebih baik oleh pemerintah yang memiliki otoritas penuh dalam mengambil kebijakan. Hari ini pemerintah yang dipimpim oleh duet SBY-JK (Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla) masih belum memberi perhatian yang lebih kepada sector pendidikan, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama.
Dalam banyak diskursus pemikiran pendidikan agama Islam di sebutkan bahwa pendidikan agama islam yang sedang dilaksanakan dalam banyak lembaga pendidikan formal belum sesuai dengan tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang system pendidikan nasional (UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003). Hal inilah yang sering di klaim banyak pihak menjadi akar masalah degradasi moral yang sedang terjadi pada bumi pendidikan Indonesia.
Pada dasarnya masalah-masalah yang sedang terjadi pada lembaga pemerintahan yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan adalah masalah yang menjadi akar turunan dari segala macam masalah yang telah terjadi pada dunia pendidikan agama islam Indonesia. Jadi dapat di simpulkan bahwa sebenarnya masalah tersebut muncul dari lembaga pegelola pendidikan yaitu departemen agama dan departemen pendidikan nasional.
Kapita selekta pendidikan Agama Islam di Indonesia secara garis besar dapat di dikotomikan menjadi dua hal yaitu :
Politik pendidikan dalam SISDIKNAS
Budgeting dalam pendidikan nasional
Permasalah mengenai budgeting adlah masalah yang cukup pelik dan dilematis untuk dicari problem solving-nya. UUD’45 mengamanatkan pada pasal 31 ayat 2 disebutkan minimal pembiayaan pendidikan nasional 20% dari total APBN.
Namun pada prakteknya tidak lebih dari 3,49% saja dari total APBN yang di alokasikan untuk pembiayaan pendidikan nasional. Inilah masalah utama yang menjadi rintangan dalam pelaksanaan pendidikan yang maju, adil dan merata.
Dikotomi lembaga pendidikan nasional
Banyak pakar pendidikan menilai bahwa dikotomi lembaga pengelola pendidikan yang terbagi dalam Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama menjadi awal permasalahan pendidikan yang ada dalam penyamapaian materi pendidikan keagamaan.
Hal inilah yang menghambat proses internalisasi pemahaman nilai-nilai keagamaan yang termaktub dalam pendidikan agama.
Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan yang belum mendukung mengakibatkan banyaknya hamabatan yang terjadi pada proses penyampaian, pemahaman dan peyerapan nilai-nilai moral keagamaan.
Akademik
Human resources
Pelaksana pendidikaan agama yang merupakan ujung tombak penyampaian nilai-nilai keagamaan menjadi factor paling penting. Namun hal ini masih belum disadari sebagai yang krusial sehingga cenderung asal-asalan dalam mencari pendidik materi keagamaan.
Kondisi ini di perparah dengan kurang propfesionalnya oknum pendidikan dalam membekali diri sebagai pendidik. Kondisi ini terlihat dari cara penyampaian materi, penguasaan metodologi sangat jelas terlihat dalam praktek pengajaran di kelas dan di luar kelas.
Kurikulum
Pertentangan mengenai kurikulum pendidikan agama mulai terlihat ketika Depag dengan Diknas ribut mengenai pemberian jam pelajaran pada lembaga yang berada dibawah naungan kedua lembaga tersebut. Depag mengklaim bhwa pendidikan agama adalah wilayah eksklusiv milik nya akan tetapi Diknas juga memberi apologi bahwa kurikulum dirancang oleh diknas sehingga ini menjadi lahan garapan diknas.
Lebih jauh pada dasarnya kurikulum yang dirancang pada lembaga sekolah lebih pada aspek kognitif belum kepada aspek afektif dan psikomotor.
Evaluasi
Mengenai permasalahan evaluasi, pendidikan agama belum dapat menjadi instrument utama dalam penetuan kelulusan setiap jenjang pendidikan. Inilah yang menurut pesreta didik dianggap bahwa pendidikan Agama tidak menjadi aspek pelajaran yang penting, sehingga cenderung di remehkan.

HOMESCHOOLING : Sekolah Anak Indonesia Masa Depan

Wah..home schooling., udah pada tahu gak? Home schooling atau yang di-Indonesiakan menjadi Sekolah Rumah, merupakan salah satu terobosan baru di pendidikan .
Home schooling menimbulkan banyak kontroversi, entah itu negative yang lebih dominan atau sisi positifnya. Untuk mengetahui lebih detail tentang home schooling, mari kita telaah secara mendalam tentang ini,
Home schooling merupakan salah satu solusi bagi orang tua yang mungkin ingin mengontrol sisi belajar sang anak setiap waktu ataupun mereka ingin waktu belajar si anak lebih fleksibel dan tepat.
Home schooling telah banyak dikembangkan di beberapa negara. Dalam pengembangannya di Indonesia memang tidak bisa lepas dari Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), karena dasar hukum Home schooling adalah UU No. 20 tahun 2003 (Sisdiknas) Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi:”Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Serta Pasal 27 Sisdiknas tentang pendidikan Informal: ” (1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. (2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.
Di Indonesia memang tidak banyak peserta yang ikut home schooling, menurut Kak Seto terdapat 600 peserta homeschooling, 500 diantaranya mengikuti homeschooling majemuk dan komunitas, 100 lainnya mengikuti home schooling tunggal. Ada berapa jenis sih home schooling? Ada 3 jenis Home schooling yaitu:
· Home schooling tunggal, di mana kegiatan pendidikan dilakukan oleh ortu dalam 1 keluarga tanpa join dengan keluarga yang lainnya.
· Home schooling Majemuk: dilaksanakan 2 keluarga atau lebih untuk kegiatan kertentu, sedang kegiatan pokok tetep dilaksanakan oleh ortu di rumah masing2.
· Home schooling Komunitas: terdiri dari gabungan dari home schooling majemuk. Dalam jenis ketiga ini beberapa perwakilan keluarga berembuk untuk menyusun dan menentukan silaus, RPP, bahan ajar, sarana2 srta jadwal pembelajaran.
Apakah home schooling diakui pemerintah? Ya, pemerintah mengakui terhadap keberadaan homeschooling. Namun pihak yang melaksanakan home schoolinglah yang harus proaktif melapor ke diknas setempat agar nantinya dicatat, diakui dan bisa mendapat ijazah dengan mengikuti ujian kesetaraan. Untuk ijazah SD adalah paket A, SMP adalah paket B dan SMA adalah paket C. Sedangkan sistem akreditasinya menggunakan ujian persamaan yaitu UNAS kesetaraan.
Anda tau BOS? Alias Bantuan Operasional Sekolah? Siswa home schooling juga dapat ’BOS’, namanya bukan BOS tapi BOP (P=pendidikan). Untuk paket A sebesar 230 ribu plus modul senilai 74 ribu per siswa. Paket B dapat 260 ribu plus 80 ribu per siswa, sedang paket C (setara (SMA) mendapat 285 ditambah 84 ribu.
Apa sih manfaat home schooling dibanding sekolah formal? Ada beberapa manfaat diantaranya:
1) Anak2 menjadi subjek bukan objek.
2) Materi pelajarannya sangat luas tidak hanya spt kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
3) Peran ortu menjadi sangat penting dan harus dominant
4) Fleksibel dalam penyelenggaraan pembelajaran
5) Penerapan Contextual teaching and learning adalah model yang ampuh untuk home schooling, dsb.
Memang bagi keluarga yang supersibuk konsep home schooling sangat tidak tepat, namun bagi keluarga yang punya waktu luang, ataupun keluarga yang mampu megintegrasikan antara beberapa aktivitas seperti pekerjaan mereka maka home schooling adalah alternative yang tidak bisa disepelehkan. Anda tau siapa sih role model dari home schooling? Sebut saja beberapa pahlawan nasional kita seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka. Mereka adalah didikan dari keluarga home schooling yang tidak diragukan lagi kualitasnya baik di dalam maupun luar negeri.
Namun ada beberapa orang yang menggunakan konsep secara terintegrasi; penerapan home schooling part time/after school. Jadi mereka masih disekolahkan di sekolah formal namun sepulang sekolah ditreatment dengan home schooling. Jadi home schooling di sini merupakan sarana untuk melengkapi apa2 yang tidak ada di sekolah. Memang dalam implementasi riilnya terdapat kekurangan-kelebihan antara keduanya.
Jadi sisi negative maupun positifnya akan selalu ada, tetapi pada intinya, bagaimana sikap kita sendiri dalam menyikapi home scholling-lah yang akan m

Ribuan Santri Ikut Tes Beasiswa PTN

SURABAYA -- Peluang para siswa yang bersekolah di lingkungan pesantren untuk masuk di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kian terbuka. Sehubungan dengan itu, sebanyak 2.200 santri seluruh Jatim telah mengikuti tes beasiswa masuk ke PTN.Para santri yang mengikuti ujian saringan untuk penerimaan beasiswa berkuliah gratis di jenjang S1 (sarjana) di sejumlah PTN yang telah ditunjuk itu pada tahun ajaran 2009 ini dijatah sebanyak 400 orang. Jadi, sebanyak 2.200 santri memang harus bersaing secara ketat.Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren (Kabid Peka dan Ponpes) Kanwil Departemen Agama (Depag) Jatim, Sudjak mengatakan bahwa ujian tes penerimaan beasiswa ini di antaranya mencakup materi tes skolastik, kecakapan akademis, pengusaan Bahasa Inggris, Arab, dan kepesantrenan. ''Tes beasiswa ini diikuti oleh seluruh santri di Jatim,'' kata Sudjak di Surabaya, Jumat (20/3).Sudjak menjelaskan, seleksi penerimaan beasiswa pada tahun ini memang cukup banyak pesertanya. Dari kuota penyeleksian yang ditetapkan hanya 1.000 santri, papar Sudjak, ternyata yang mendaftarkan lebih dari dua kali lipatnya, yakni sebanyak 2.450 santri. ''Dan, setelah dilakukan seleksi awal yaitu seleksi administrasi akhirnya hanya sebanyak 2.200 santri yang bisa ikut tes seleksi tersebut,'' ungkap Sudjak sambil menambahkan tes telah berlangsung pada Kamis (19/3) lalu di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya.Untuk penilaian seleksi ini, terang Sudjak, pihak kanwil depag menterahkan sepenuhnya kepada tim penilai yang terdiri dari unsur depag, Depdiknas, serta PTN. ''Semua berkas seleksi ini langsung kami kirimkan ke Jakarta. Sepenuhnya penilaian sangat ditentukan oleh tim yang ada di Jakarta,'' jelas Sudjak.Perihal materi ujian yang dikirimkan ke Jakarta tersebut, ujar Sudjak, memang dipilah-pilah sesuai dengan kapasitas penilaian. Misalnya, ia menyebutkan untuk materi tes kacakapan skolastik disampaikan ke depdiknas. ''Sedangkan untuk potensi akademik telah dikirim ke PTN yang bersangkutan. Begitu pula, untuk materi tes bahasa dan kepesantrenan disampaikan ke depag,'' terangnya.Bagi para peserta ujian tes penerimaan beasiswa ini, jelas Sudjak, kalau tidak ada hambatan bisa melihat pengumumannya pada 19 April 2009 mendatang. ''Ya, untuk pengumumannya akan bisa dilihat di kanwil depag Jatim atau di masing-masing ponpes. Atau bisa dilihat di website a milik depag pusat,'' katanya.Dari kuota penerimaan yang hanya 400 orang itu, Sudjak menjelaskan bahwa para peserta memang bisa memilih delapan PTN yang telah ditunjuk. Di antaranya, papar Sudjak, IAIN Walisongo Semarang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ITS, Unair Surabaya, IPB, UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, ITB, serta UGM Yogyakarta. -afa/ahi

Pendidikan Tanpa Pemerintah

Kalau kita pembaca seolah “pemerintah” memang harus menjadi “Kambing Hitam” terhadap realitas pendidikan Indonesia yang terjadi selama ini. Apalagi menyangkut masalah biaya dan anggaran pendidikan yang begitu minim. Harus diakui memang, bahwa penyelenggaraan pendidikan memang memerlukan biaya. Tidak ada bedanya antara pendidikan yang bermutu atau tidak. Bahkan, biaya penyelenggaraan pendidikan yang tidak bermutu justru akan lebih mahal ketimbang pendidikan yang bermutu, dikarenakan banyaknya kegiatan yang harus diurus. Oleh sebab itu, sehingga banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan lantaran biaya pendidikan (sekolah) yang begitu mahal.
Menanggapi tulisan Saudara Mustatho’, Kandidat Magister Pendidikan Islam di IAIN Sunan Ampel Surabaya: “Mengurai Benang Kusut Pendidikan di Indonesia” (Duta Masyarakat, kamis 12 Juli 2007) menarik untuk dibaca kembali. Selama ini sekolah tak ubahnya pasar, dimana ada uang disitu ada barang, sekolah hanyalah bagaikan mesin-mesin pencetak ijazah. Padahal tujuan pendidikan sendiri merupakan intrumen seseorang untuk melakukan mobilisasi sosial, mengangkat harkat dan martabat, dan memanusiakan manusia. Tetapi tujuan tersebut jauh dari harapan juga, padahal sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31 (1) menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”, secara otomatis pendidikan bisa dinikmati oleh orang miskin.
Masing-masing dari kita mempunyai tanggung jawab untuk membebaskan diri dari sistem sekolah karena hanya kitalah yang sanggup melaksanakannya. Sekolah jauh lebih memperbudak orang dengan cara yang sistematis (Ivan Illich).
Di akhir 1970-an, Ivan Illich mengejutkan masyarakat, praktisi, dan pemerhati pendidikan dengan gagasan kontroversial tentang deschooling society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan bahwa jika pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang luas, tanpa harus terikat kelembagaan seperti sekolah. Artinya, dalam masyarakat ini, sekolah tidak lagi dibutuhkan. Gagasan ini, sampai sekarang, memang belum terbukti dalam kehidupan kongkrit. Akan tetapi, jika saja kita melihatnya sebagai parodi maka betapa tepatnya Illich dalam menilai dan mendeskripsikan eksistensi lembaga pendidikan.
Tetapi masyarakat Indonesia kurang merespon terhadap ide cemerlang Ivan Illich, tiba-tiba dipertengahan tahun 2005, jadi lebih dari 32 tahun kemudian dalam dialog interaktif dalam sebuah radio yang peduli pada pendidikan, ada rasan-rasan mengenai pendidikan tanpa sekolah. Nampaknya, keinginan itu dipicu oleh kekecewaan mengenai keadaan pendidikan yang terasa semakin ruwet dan carut-marut. Ide semacam ini sangat wajar, mengingat bahwa ketidak puasan masyarakat mengenai pendidikan dewasa ini sudah sampai di ubun-ubun.
Sebagai warga negara, relevan atau tidak. jika masyarakat bermimpi tentang pendidikan tanpa sekolah. Kenapa tidak? Ada beberapa alasan untuk mendukung ide ini. Pertama, pendidikan tidak identik dengan sekolah. Karena, pendidikan jauh lebih bermakna, lebih luas dan lebih mendalam bila dibandingkan dengan sekolah, apalagi sekolah tidak bermutu, dalam artian tidak jelas visi dan misinya serta masih mencari model-model pembelajarannya. Di sekolah yang berkembang hanyalah proses pembelajarannya, yang kadang melupakan proses pendidikan.
Kedua, kebijakan pendidikan Indonesia adalah wajib belajar, bukan wajib sekolah itupun menganut aliran compulsory, yang tidak mempunyai kekuatan hukum untuk memaksa. Hal ini bisa saja diberi makna bahwa orang tua harus menggirang anaknya ke sekolah, asal ia dapat menjamin anaknya belajar, karena tetap bertanggung jawab mendidik anaknya.
Ketiga, pendidikan di Indonesia dilaksanakan dengan 3 jalur, formal, non-formal, dan informal. Maka dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 29 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dirumuskan, “Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan adalah berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.”
Keempat, model pendidikan yang paling tua adalah pendidikan individual, yang berpusat pada siswa dan bukan berpusat pada kepentingan lain, misalnya politik dst. Hal sangat sangat sesuai dengan pendapat Wuest (1995) mengenai teori pembelajaran modern antara lain, berpusat pada siswa (belajarnya seorang pelajar), iklim belajar yang tidak tegang dan menyenangkan, hubungan yang akrab antara siswa dan guru.
Mungkin solusi yang terbaik adalah tuntutan adanya sekolah alternatif yang berkualitas. Kerisauan mengenai penyelenggaraan sekolah yang ada sekarang ini, telah memicu beberapa pakar untuk mendirikan sekolah pilihan, diantaranya Romo Mangon almarhum dengan SD Mangonan (Jogja), Prof Dr Muchlas Samani dengan sekolah Alam Insan Mulia (Surabaya), Ahmad Bahruddin dengan SMP Qaryah Thayyibah (Salatiga) dan seterusnya.Pendidikan Alternatif
Dari tiga lembaga pendidikan diatas kita bisa membaca : SMP Qarya Thayyibah yang didirikan oleh Bahruddin, nyatanya tidak mahal, dan justru didirikan bermaksud menolong bermaksud menolong anak-anak miskin yang tidak tertampung di sekolah.
Qaryah Thayyibah juga menetapkan anggaran Rp. 3.000 per hari bagi para siswa yang dipergunakan untuk tiga keperluasn : Rp. 1.000 untuk komputer, Rp. 1000 untuk tabungan pribadi siswa yang bisa diambil sewaktu-waktu, dan sisanya dengan uang Rp. 1000 mereka bisa makan nasi, tempe, sayur, ikan, sambal, krupuk, dan minum teh manis (Baca:Qaryah Thayyibah).
Sebuah pertanyaan menggelitik timbul mungkin di para hati pembaca, dari manakah biaya oprasional sekolah tersebut didapatkan? Dan bagaimana pula dengan kesejahteraan para guru didalamnya? Setelah menelusuri helai demi helai dalam buku ini pembaca akan menemukan jawabannya.
Honor tiap guru di tetapkan Rp. 25.000 per jam. Untuk dua kelas dengan jumlah 180 jam mengajar, maka harus dikeluarkan dana sebesar Rp. 2.700.000 perbulan. Tidak ada lembaga dana yang dilibatkan untuk membiayai keberlangsungan sekolah. Dalam hal ini, Baruddin hanya menggabungkan jumlah uang (rata-rata Rp. 10.000 per bulan) yang diperoleh dari sumbangan orang siswa dengan subsidi 20 persen yang diperoleh dari pemerintah. Sementara akses internet diperoleh dari pengusaha internet di Salatiga, Roy Bidhiyanto. Berarti dapat disimpulkan bahwa untuk memajukan pendidikan tidak harus bergantung kepada pemerintah.
Meskipun terletak di pedesaan, sekolah ini tidak edintik dengan keterbelakangan. Keterampilan para siswa mengoprasikan komputer dan internet, diakui peneliti Asia Pasific Telecommonity, Dr Nadwil Idris sejajar dengan tujuh pengguna internet terbaik di dunia. Keahlian bahasa dengan ber-cas-cis-cus juga dapat dijadikan bukti. Bahkan sekolah mempunyai web site sendiri yang bisa diakses di www.pendidikansalatiga. net/qaryah. itulah sebabnya siswa tidak ketinggalan informasi.
Akhirnya, semoga kita bisa mengobah logika yang selama ini kita yakini bahwa pendidikan yang berkualitas memerlukan biaya yang tidak sedikit dan ini harus melibatkan pemerintah. Setidaknya Romo Mangon, Prof Dr Muchlas Samani, Ahmad Bahruddin dengan SMP Qaryah Thayyibah (Salatiga) telah membuktikan bahwa pendidikan yang berkualitas tidak harus mahal. Yang terpenting adalah ada tekad, keberanian, kegigihan, serta kreativitas yang tinggi untuk mewujudkan pendidikan berkualitas. []

Orangtua Menentukan Biaya Pendidikan

Tahun ajaran baru. Semua orangtua bergegas, mengulangi ritual yang harus dijalaninya setiap tahun: menyiapkan sekolah untuk anak-anaknya dengan segala keluh-kesah yang terus berulang. Uang masuk, biaya gedung, biaya tahunan, biaya buku, biaya seragam, biaya kegiatan ekstra-kurikuler, dan aneka rincian biaya lain yang harus dibayarkan. Biaya terus membubung yang tak sama sekali tak ada kaitannya dengan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan meningkat atau tidak, biaya tetap harus naik.
Rasionalitas biaya pendidikan tak lagi terkait dengan kualitas output yang dihasilkannya. Biaya pendidikan hanya dihitung berdasarkan biaya produksi dan penyelenggaraan pendidikan. Semuanya terkait dengan inflasi dan kenaikan harga-harga barang. Tapi keterkaitannya dengan output pendidikan tak pernah dibicarakan sebagai sebuah pertanggung jawaban atas biaya yang harus dikeluarkan oleh orangtua.Yang menjadi ironi, semua keluh-kesah itu terus berulang setiap tahun. Orangtua “dipaksa” untuk menerima dan menelan semua biaya yang diajukan oleh sekolah. Proses penyesuaian biaya tidak pernah terjadi pada sistem pendidikan, tetapi selalu orangtua yang menjadi korban dan harus menyesuaikan keuangan keluarga. Orangtua seolah tak berdaya dan tak memiliki pilihan selain menerima semuanya.Katak Rebus PendidikanPenyesuaian terus menerus yang dilakukan oleh orangtua itu dikhawatirkan akan menciptakan jebakan “katak rebus”. Jebakan katak rebus adalah sebuah teori manajemen mengenai matinya seseorang/sistem karena kemampuan menyesuaikan dirinya tak dapat lagi mengikuti tekanan eksternal yang diterimanya secara gradual.Ide mengenai teori “katak rebus” berasal dari percobaan seekor katak yang dimasukkan dalam bejana air dingin yang diletakkan di atas api. Seiring dengan meningkatnya suhu air yang ditempatinya, katak itu tak melompat untuk melarikan diri. Alih-alih, dia menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu air yang ada di sekitarnya. Demikian, air sedikit demi sedikit menjadi panas, demikian pun suhu tubuh katak. Ketika air semakin mendidih, katak tak lagi memiliki kekuatan untuk melompat. Matilah dia dalam rebusan air yang menjadi tempat hidupnya.Tentu saja kita tak menginginkan orangtua dan keluarga Indonesia “mati” oleh tekanan sosial eksternal yang dialaminya dengan intensitas yang terus meningkat. Walaupun memiliki kemampuan adaptasi dan menyesuaikan diri, selalu ada batas alam sebelum ada kematian atau “ledakan”.Itulah pelajaran dan peringatan dari alam yang mengingatkan kita.Membuka Opsi PendidikanSalah satu cara untuk keluar dari jebakan “katak rebus” pendidikan adalah membuka opsi atau alternatif-alternatif pendidikan yang dapat dijalani oleh keluarga Indonesia. Monopoli model “sekolah formal” sebagai satu-satunya bentuk pendidikan yang diakui oleh negara dan sistem sosial harus diakhiri. Monopoli itu telah menempatkan orangtua pada obyek yang tidak memiliki pilihan dan mau tidak mau harus menelan pil pahit biaya pendidikan.Dengan tetap berpegang pada spirit tujuan-tujuan pendidikan, banyak model selain pendidikan formal yang tetap dapat menjangkau tujuan-tujuan pendidikan. Model-model pendidikan nonformal dan informal (homeschooling) yang beraneka ragam sudah waktunya diangkat dan diberi kesempatan untuk tampil dalam dunia pendidikan Indonesia.Dalam konteks meningkatnya beban biaya pendidikan, model pendidikan informal seperti homeschooling menawarkan paradigma baru dalam memandang biaya pendidikan. Secara kasat mata, homeschooling memotong biaya gedung dan biaya-biaya seremonial yang selama ini menjadi kewajiban yang dipaksakan kepada orangtua. Keluarga dapat berfokus pada esensi-esensi pendidikan yang ingin diraih dan dikuasai oleh anak-anaknya.Model pendidikan homeschooling juga menggeser posisi kontrol keuangan dari pihak eksternal kepada orangtua. Pergeseran atas kontrol terhadap biaya pendidikan itu meningkatkan fleksibilitas yang selama ini tak pernah dimiliki orangtua. Dengan peningkatan fleksibilitas, orangtua dapat meningkatkan efisiensi alokasi dana yang dimilikinya untuk meraih kualitas pendidikan yang diinginkannya.Lalu?Sekolah mungkin menolak kritik terhadap mahalnya biaya penyelenggaraan pendidikan yang harus ditanggung orangtua. Pemerintah pun terus berdalih kurangnya dana untuk anggaran di bidang pendidikan. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai orangtua dan anggota masyarakat yang berkepentingan atas pendidikan anak-anak kita?Mungkin ada baiknya kita merenungkan sebuah kutipan dari Robert T. Kiyosaki, penulis buku “Rich Kid Smart Kid”: “Setiap pilihan mempunya konsekuensi. Jika kita tidak menyukai pilihan dan konsekuensinya, kita harus mencari sebuah pilihan baru dengan konsekuensi baru.”Mahalnya biaya pendidikan pada akhirnya kembali lagi pada kita sebagai orangtua. Apakah kita menerimanya, ikut memperbaiki sistem sekolah, atau mencari pilihan baru dengan konsekuensi yang baru?Waktunya bertindak, sudah cukup waktu untuk mengeluh. Untuk kepentingan kita, dan terutama masa depan terbaik anak-anak kita.

Pendidikan Keagamaan terus Ditanamkan

DUA tahun enam bulan tepatnya Drs H Halil Domu MSi mengabdikan diri sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Sulut. Pria yang dilahirkan di Poyowa hari ini (23/3) mencapai usia ke 53. Menurut Domu, hidup adalah anugerah terindah dan terbesar telah diberikan Allah SWT kepadanya. Pria yang dibesarkan di Kabupaten Bolaang Mongondow ini tumbuh sebagai seorang muslim yang rendah hati dan bersahaja. Sikap dan kepribadian inilah yang melekat dalam dirinya dan mengantar dia menjadi orang berguna bagi nusa bangsa dan agama. Berlatar belakang sebagai seorang pendidik dia terus merentas kehidupan dan karier. Banyak suka dan duka yang dirasakan selama bertugas. Walau begitu suami dari Hj Harniyanti Potabuga sangat konsen dengan tugas. Tak heran sejak kepemimpinannya di Depag banyak kemajuan yang diraih. Dalam karir pendidikan, Domu termasuk pelopor pendiri Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN). Sekolah ini telah eksis dan menjadi kebanggaan masyarakat Kristen di Sulut. Tak sampai di situ sejak dikeluarkannya UU tentang pendidikan agama dan keagamaan Domu langsung menindaklanjuti melalui sosialisasi. Domu juga ikut andil berdirinya 12 Sekolah Menengah Teologia Kristen (SMTK). Selain di bidang pendidikan, ayahanda terkasih Musdalifah Domu SH dan Aldy Muhammad Domu ini juga sangat memprioritaskan masalah kerukunan umat beragama. “Saya sangat menentang jika ada oknum yang mencari kesempatan memprovokasi masyarakat supaya terjadi konflik. Jika ada masyarakat yang mengetahui hal ini, harap melapor,” ungkap Domu penuh ketegasan beberapa waktu lalu. Untuk terus menjaga kondusinya Sulut, dialog antar tokoh agama pun terus dilakukannya.(cw-09)

Homeschooling Solusi, atau Kerugian

Akhir-akhir ini metode pendidikan Homeschooling sedang ramai diperbincangkan oleh masyarakat, dipelopori oleh Kak Seto melalui Asah Pena yaitu sebuah lembaga yang didirikan untuk membantu proses belajar mengajar di dalam Homeschooling, apalagi juga didukung melalui pemberitaan yang luas dari media masa, maka semakin tinggilah apresiasi masyarakat -gembor terhadap metode pembelajaran ini, apalagi dengan gembar-gembor dari media massa yang menyatakan bahwa Homeschooling merupakan alernatif pendidikan yang sangat tepat untuk saat ini mengalahkan dominasi sekolah yang sudah sejak dahulu berada dalam garis terdepan dalam melakukan pembelajaran kepada siswa maka masyarakat perlu dijelaskan apakah memang Homeschooling seindah yang mereka bayangkan? Homeschooling dan Legalitas Sebelum berbicara mengenai legalitas dari Homeschoolng, harus diketahui dulu apakah sebenarnya Homeschooling itu. Home Schooling atau biasa disingkat HS merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing (Daryono, 2008). Sistem ini sendiri terlebih dahulu berkembang di Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya di dunia. Baru kemudian mulai menjadi tren di Indonesia tahun-tahun belakangan ini. Sebenarnya jika kita flashback ke belakang sistem pembelajaran HS telah ada bahkan sejak sebelum jaman penjajahan dulu, beberapa tokoh penting kita seperti Ki Hajar Dewantara, Buya Hamka dan KH Agus Salim telah lebih dulu mengenyam sistem pengajaran HS ini. Pendidikan alternatif dengan model sekolah rumah (home schooling) tidak hanya menumbuhkan keinginan belajar secara fleksibel pada anak, namun juga mampu menumbuhkan karakter moral pada anak. Pasalnya, dengan menyerahkan proses belajar sebagai hak anak untuk mendapatkan pendidikan, akan mendorong anak untuk belajar berdisiplin dan bertanggung jawab, terhadap segala kegiatan belajar yang telah dilakukannya (Mulyadi, 2008). Berbicara mengenai payung hukum, Homeschooling sebenarnya sudah mempunyai payung hukum. Menurut, Harun Al Rosyid Kepala Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Non Formal (BPPLSP) mengatakan sekolah rumah atau home schooling ini telah memiliki payung hukum UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anak peserta home schooling dapat mengikuti ujian nasional berbarengan dengan siswa sekolah formal melalui sekolah mitra yang ditunjuk Dinas Pendidikan.. selain itu, di Indonesia, pendidikan dalam keluarga merupakan kegiatan pendidikan jalur informal, kutipan UU no 20/2003 Sisdiknas). Pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Negara tidak mengatur pada proses pembelajarannya, tetapi hasil pendidikan dari informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. Kemudian (kutipan pasal 90 SNP), peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh sertifikat kompetensi yang setara dengan sertifikat kompetensi dari pendidikan formal setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau oleh lembaga sertifikat mandiri / profesi sesuai ketentuan berlaku dan peserta didik pendidikan informal dapat memperoleh ijasah yang setara dengan Ijasah dari pendidikan dasar dan menengah jalur formal setelah lulus uji kompetensi dan ujian nasional yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang teraktreditasi sesuai ketentuan yang berlaku. Dari penjelasan ini maka dapat diketahui bahwa sebenarnya Homeschooling memiliki payung hukum yang jelas dalam melaksanakan metode pembelajaran yang mereka lakukan sehingga masyarakat tidak perlu merasa terlalu takut untuk menyekolahkan anaknya di dalam Homeschooling Keuntungan dan Kerugian Metode pembelajaran tematik dan konseptual serta aplikatif menjadi beberapa poin keunggulan HS. Home schooling memberi banyak keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Setiap siswa HS diberi kesempatan untuk terjun langsung mempelajari materi yang disediakan, jadi tidak melulu membahas teori. Mereka juga diajak mengevaluasi secara langsung tentang materi yang sedang di bahas. Bahkan bagi siswa yang memiliki ketertarikan di bidang tertentu, misalnya Fisika atau Ilmu alam, diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengadakan observasi dan penelitian sesuai ketertarikan mereka. Beberapa keunggulan lain home schooling sebagai pendidikan alternatif, yaitu karena sistem ini menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik, menyediakan waktu belajar yang lebih fleksibel. Juga memberikan kehangatan dan proteksi dalam pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat, menghindari penyakit sosial yang dianggap orang tua dapat terjadi di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba dan pelecehan. Selain itu sistem ini juga memberikan keterampilan khusus yang menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga, dan sejenisnya, memberikan pembelajaran langsung yang kontekstual, tematik, dan nonscholastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu. Ada keunggulan, pasti ada juga kekurangannya, begitu juga dengan home schooling, beberapa kekurangan harus siap dihadapi oleh orang tua yang memilih home schooling sebagai alternatif pendidikan, diantaranya tidak ada kompetisi atau bersaing. Sehingga anak tidak bisa membandingkan sampai dimana kemampuannya dibanding anak-anak lain seusia dia.. Selain itu anak belum tentu merasa cocok jika diajar oleh orang tua sendiri, apalagi jika memang mereka tidak punya pengalaman mengajar sebelumnya Kekurangan lain yang tidak bisa kita pungkiri adalah kurangnya interaksi dengan teman sebaya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat. Kemungkinan lainnya anak bisa terisolasi dari lingkungan sosial yang kurang menyenangkan sehingga akan kurang siap nantinya menghadapi berbagai kesalahan atau ketidakpastian. Faktor tingginya biaya home schooling juga menjadi salah satu kekurangan, karena dipastikan biaya yang dikeluarkan untuk memberikan pendidikan home schooling lebih besar dibanding jika kita mengikuti pendidikan formil disekolah umum. Sudah Adaptifhkah dengan Indonesia Untuk menelaah lebih jauh tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama pendidikan kita di â?ohantui â?ooleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang relatif â?oamanâ? buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha). Dan salah satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan alternatif semisal home schooling ini dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah. Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih pendidikan home schooling ini, tidak semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era globalisasi ini yang menuntut segi otentitas dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi. Kredibilitas program pendidikan home schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi link & mach dengan dunia usaha dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistic, jadi mau Homeschooling atau tidak itu terserah anda.

sistem pendidikan nasional

Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan InformalKegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan..: Pendidikan Anak Usia DiniPendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:1. Taman Kanak-kanak (TK),2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:1. Kelompok Bermain (KB),2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan..: Pendidikan KedinasanPendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal..: Pendidikan KeagamaanPendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.Pendidikan keagamaan berbentuk:1. pendidikan diniyah,2. pesantren,3. pasraman,4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis..: Pendidikan Jarak JauhPendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan..: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pendidikan Matematika pada Anak Usia Dini

Rendahnya mutu pendidikan masih disandang bangsa Indonesia. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengoptimalkan pendidikan pada anak sejak dini, terutama pendidikan matematika. Mengingat image masyarakat terhadap matematika yang menganggap pelajaran yang menakutkan. Padahal, matematika dapat diberikan kepada anak sejak usia 0+ tahun. Anak pada usia 0-6 tahun perlu mendapat perhatian khusus karena pada usia inilah kesiapan mental dan emosional anak mulai dibentuk. Penelitian terhadap Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan keberhasilan akademis secara signifikan dipengaruhi oleh kualitas masukan pendidikan yaitu kesiapan mental dan emosional anak memasuki sekolah dasar. Anak mulai belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya sejak bayi. Hal ini dikarenakan pertumbuhan otak bayi dibentuk pada usia 0-6 tahun. Oleh sebab itu asupan nutrisi yang cukup juga harus diperhatikan. Para ahli neurologi meyakini sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia terjadi pada usia 4 tahun, 80% terjadi ketika usia 8 tahun, dan 100% ketika anak mencapai usia 8 - 18 tahun. Itulah sebabnya, mengapa masa anak-anak dinamakan masa keemasan. Sebab, setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu, tidak akan meningkat lagi. Bagi yang memiliki anak, tentu tidak ingin melewatkan masa keemasan ini. Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan juga dipengaruhi faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya. Maka faktor lingkungan harus direkayasa dengan mengupayakan semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi faktor bawaan tersebut bisa diperbaiki. Dalam tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak berkembang sangat pesat dan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan yang memuat berbagai kemampuan dan potensi. Nutrisi bagi perkembangan anak merupakan benang merah yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Setidaknya terdapat 6 aspek yang harus diperhatikan terkait dengan perkembangan anak antara lain: pertama, perkembangan fisik: hal ini terkait dengan perkembangan motorik dan fisik anak seperti berjalan dan kemampuan mengontrol pergerakan tubuh. Kedua, perkembangan sensorik: berkaitan dengan kemampuan anak menggunakan panca indra dalam mengumpulkan informasi. Ketiga, perkembangan komunikasi dan bahasa: terkait dengan kemampuan menangkap rangsangan visual dan suara serta meresponnya, terutama berhubungan dengan kemampuan berbahasa dan mengekspresikan pikiran dan perasaan. Keempat, perkembangan kognitif: berkaitan dengan bagaimana anak berpikir dan bertindak. Kelima, perkembangan emosional: berkaitan dengan kemampuan mengontrol perasaan dalam situasi dan kondisi tertentu. Keenam, perkembangan sosial: berkaitan dengan kemampuan memahami identitas pribadi, relasi dengan orang lain, dan status dalam lingkungan sosial. Para orang tua juga dituntut untuk memahami fase-fase pertumbuhan anak. Fase pertama, mulai pada usia 0-1 tahun. Pada permulaan hidupnya, anak diusia ini merupakan suatu mahkluk yang tertutup dan egosentris. Ia mempunyai dunia sendiri yang berpusat pada dirinya sendiri. Dalam fase ini, anak mengalami pertumbuhan pada semua bagian tubuhnya. Ia mulai terlatih mengenal dunia sekitarnya dengan berbagai macam gerakan. Anak mulai dapat memegang dan menjangkau benda-benda disekitarnya. Ini berarti sudah mulai ada hubungan antara dirinya dan dunia luar yang terjadi pada pertengahan tahun pertama (± 6 bulan). Pada akhir fase ini terdapat dua hal yang penting yaitu: anak belajar berjalan dan mulai belajar berbicara. Fase kedua, terjadi pada usia 2-4 tahun. Anak semakin tertarik kepada dunia luar terutama dengan berbagai macam permainan dan bahasa. Dunia sekitarnya dipandang dan diberi corak menurut keadaan dan sifat-sifat dirinya. Disinilah mulai timbul kesadaran akan "Akunya". Anak berubah menjadi pemberontak dan semua harus tunduk kepada keinginannya. Fase ketiga, terjadi pada usia 5-8 tahun. Pada fase pertama dan kedua, anak masih bersifat sangat subjektif namun pada fase ketiga ini anak mulai dapat melihat sekelilingnya dengan lebih objektif. Semangat bermain berkembang menjadi semangat bekerja. Timbul kesadaran kerja dan rasa tanggung jawab terhadap kewajibannya. Rasa sosial juga mulai tumbuh. Ini berarti dalam hubungan sosialnya anak sudah dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan disekitarnya. Mereka mengingini ketentuan-ketentuan yang logis dan konkrit. Pandangan dan keinginan akan realitas mulai timbul. Pendidikan Matematika Untuk pendidikan matematika dapat diberikan pada anak usia 0+ tahun sambil bermain, karena waktu bermain anak akan mendapat kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan dengan bebas mengekspresikan dirinya. Dengan bermain, tanpa sengaja anak akan memahami konsep-konsep matematika tertentu dan melihat adanya hubungan antara satu benda dan yang lainnya. Anak juga sering menggunakan benda sebagai simbul yang akan membantunya dalam memahami konsep-konsep matematika yang lebih abstrak. Ketika bermain, anak lebih terstimulasi untuk kreatif dan gigih dalam mencari solusi jika dihadapkan atau menemukan masalah. Pada pendidikan matematika dapat diberikan misalnya pada pengenalan bilangan, terlebih dahulu diperdengarkan angka dengan menyebutkan angka satu, dua, tiga dan seterusnya. Dan perlihatkan benda-benda berjumlah satu, dua, tiga dan seterusnya, bukan berarti materinya langsung mengenalkan lambang bilangan "dua" karena anak akan bingung. Dengan bertambahnya kecerdasan dan umur barulah diperkenalkan ke lambang bilangan. Pengenalan geometri, anak diberikan berbagai macam bentuk bangun misalnya bola, kotak, persegi, lingkaran dan sebagainya. Dengan memerintahkan anak mengambil bangun yang disebutkan nama dan ciri-cirinya. Pengenalan penjumlahan dan pengurangan, pakailah lima bola berdiameter sama yang dapat digenggam. Untuk pengurangan, sebanyak lima bola diambil satu, dua, ..., dan lima. Sebaliknya penjumlahan dengan menambahkan satu, dua, ..., sampai empat pada bola yang tergenggam. Mengingat ciri khas pada setiap jumlah bola yang sering dilihatnya, anak pun akan melihat kejanggalan ketika dikurangi atau ditambah. Peristiwa tersebut membuatnya semakin memahami hakikat "bertambah" dan "berkurang", yang ditandai perubahan jumlah bola yang digenggamnya. Apalagi pada peragaan bola yang diameter dan warnanya beragam, pemahamannya tidak lagi terikat dengan ukuran, tetapi pada jumlah bola yang tampak. Pengenalan hubungan atau pengasosiasian antara benda, misalnya berikan kotak dan dilanjutkan dengan memperlihatkan benda yang berbentuk kotak lain seperti kotak susu, bungkus sabun dan sebagainya. Dibenak anak dapat menghubungkan antar kotak yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pendidikan matematika dapat diberikan kepada anak usia dini dimulai dari pendidikan keluarga, yang dilakukan oleh orang tua sebagai guru terdekat sang anak. Orang Tua "Guru" Kreatif Peran penting yang dapat dilakukan orang tua yaitu sebagai: Pertama, pengamat. Orang tua mengamati apa yang dilakukan oleh anak sehingga dapat mengikuti proses yang berlangsung. Ketika dibutuhkan, orang tua dapat memberikan dukungan dengan mengacungkan jempol, mengangguk tanda setuju, menyatakan rasa sukanya, bahkan ikut bermain. Kedua, manajer. Orang tua memperkaya ide anak dengan ikut mempersiapkan peralatan sampat tempat bermain. Ketiga, teman bermain. Orang tua ikut bermain dengan kedudukan sejajar dengan anak. Keempat, pemimpin (play leader). Dalam hal ini orang tua berperan menjadi teman bermain, sekaligus memberikan pengayaan dengan memperkenalkan cara serta tema baru dalam bermain. Pengaruh orang tua sebagai "guru" pada anak memiliki porsi terbesar dilingkungannya, sehingga orang tua dalam mendidik dapat beracuan: pertama, berorientasi pada anak (pupil centered). Dalam mengajar anak tidak dengan komunikasi satu arah dengan kata lain orang tua dinyatakan orang yang paling tahu dan paling pandai. Kedua, dinamis. Dalam mendidik anak bawalah mereka sambil bermain dan orang tua dapat memancing anak untuk memunculkan ide kreatif dan inovatifnya. Ketiga, demokratis. Ini berarti, memberikan kesempatan pada anak untuk menuangkan pikirannya dan bersikap tidak sok kuasa.

Arti Pentingnya Pendidikan bagi Anak Usia Dini

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Tingkat kesadaran masyarakat terhadap pemberian layanan pendidikan bagi anak sejak usia dini (0-6 tahun) masih sangat rendah. Hal itu disebabkan antara lain karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan anak usia dini itu sendiri.
"Meskipun selama ini pemerintah dan masyarakat telah menyelenggarakan berbagai program layanan pendidikan bagi anak usia dini. Namun, kenyataannya hingga saat ini masih banyak anak usia dini yang belum memperoleh layanan pendidikan," kata Gutama, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Departemen Pendidikan Nasional, pada sosialisasi pendidikan anak usia dini bagi tokoh agama se-Jabotabek di Jakarta, Selasa (6/1).
Gutama menyebutkan, dari sekitar 26 juta anak usia dini, baru sekitar 28 persen yang tersentuh layanan pendidikan. Sosialisasi pendidikan anak usia dini juga diakui belum menyentuh secara merata pada lapisan masyarakat terbawah di tingkat kecamatan dan kabupaten/kota.
Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Fasli Jalal menyebutkan sejumlah masalah mendasar lainnya berkaitan dengan pendidikan usia dini. Menurut Fasli, hingga saat ini belum ada sistem yang bersifat holistik untuk menjamin keterpaduan dalam penanganan anak usia dini.
Masih banyaknya anak usia dini yang tidak tersentuh pendidikan apa pun juga disebabkan masih sangat terbatasnya jumlah tenaga pendidik dan kependidikan untuk mereka. Hal itu diperburuk oleh relatif rendahnya kualitas tenaga yang sudah ada.
Fasli menambahkan bahwa faktor geografis dan kendala transportasi juga menjadi masalah mendasar. Sebab, anak- anak usia dini, yang seharusnya mendapat layanan pendidikan, berada di wilayah yang sangat terpencar. Bahkan, sebagian berada di daerah yang sulit dijangkau karena kendala transportasi.
"Ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan bagi anak usia dini juga masih minim, terutama bagi mereka yang berusia di bawah empat tahun," ungkap Fasli.
Menurut Fasli, jumlah perguruan tinggi yang memiliki jurusan khusus pendidikan anak usia dini pun masih terbatas. Adapun penelitian di bidang pendidikan usia dini juga masih terbatas.
Gutama menjelaskan, pihaknya telah mengembangkan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi berkaitan dengan pendidikan anak usia dini tersebut, di antaranya dengan Universitas Negeri Jakarta, Univeristas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Universitas Negeri Padang, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Andalas. (lam)

Akankah Kisah Sukses Pelayanan Pendidikan bagi Anak Usia Dini Akan Berlanjut?

USAHA perbaikan kualitas manusia di jagat ini melalui pendidikan memang sudah lama menjadi perhatian dunia. Namun, belum banyak pertemuan tingkat dunia yang melibatkan menteri pendidikan untuk membahas secara khusus tentang pentingnya pendidikan anak usia dini bagi peningkatan kualitas pendidikan. Pertemuan yang dilakukan pada pertengahan Desember lalu di Kairo, Mesir, melibatkan menteri pendidikan dari sembilan negara yang memiliki penduduk terbesar dunia. Pertemuan yang dinamakan E9 Ministerial Meeting itu diikuti oleh Banglades, Brasil, Cina, Mesir, India, Indonesia, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan.

Pertemuan yang difasilitasi United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) ini diharapkan dapat mendorong sembilan negara tersebut untuk meningkatkan pelayanan pendidikan anak usia dini. Pasalnya, sembilan negara itu bertanggung jawab atas pendidikan bagi lebih dari 50 persen penduduk dunia.

Di Indonesia, keseriusan untuk menangani masalah ini dimulai pada tahun 2000 ketika Departemen Pendidikan Nasional membuat direktorat khusus yang menanganinya. Kerja direktorat ini dimulai dengan mengintervensi anak-anak pada usia dini non-taman kanak-kanak di seluruh Indonesia.

Data yang ada pada saat itu memperlihatkan angka yang sangat memprihatinkan. Data tahun 2000 menunjukkan, dari 26 juta anak usia 0-6 tahun baru sekitar 4,4 juta atau 17 persen yang sudah mendapat pelayanan di berbagai program pendidikan anak usia dini. Program yang sudah dikerjakan itu dalam bentuk bina keluarga balita, taman kanak-kanak, raudhatul athfal (taman bermain Islam), tempat penitipan anak, dan kelompok bermain.

Hal yang menggembirakan, menurut Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Fasli Jalal ketika memaparkan kondisi pendidikan anak usia dini di Indonesia di depan peserta E9 Ministerial Meeting, dua tahun sejak tahun 2000 terjadi peningkatan lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini. Peningkatan yang paling besar terjadi pada lembaga yang menyediakan layanan kelompok bermain. Kelompok ini meningkat dari 202 pada tahun 2000 menjadi 1.256 pada tahun 2002. Selain itu, tempat penitipan anak memperlihatkan peningkatan yang besar, yaitu dari 768 pada tahun 2000 menjadi 1.789 pada tahun 2002.

Implikasi dari peningkatan lembaga pelayanan itu telah memberikan akses pada lebih dari 20 juta anak. Sebuah hasil kerja keras yang luar biasa karena meningkat lebih dari lima kali lipat.

Persoalannya, program yang dijalankan ini dilakukan dengan dorongan proyek pendidikan anak usia dini yang mendapat dukungan dari pinjaman Bank Dunia dan berakhir pada tahun 2003. Itu sebabnya, sejak pertengahan tahun lalu Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Depdiknas berusaha membangun jaringan dan mencari dukungan komitmen daerah untuk menyelenggarakannya. Kondisinya memang mengkhawatirkan sekali jika komitmen untuk tetap menyelenggarakan pendidikan anak usia dini ini tidak didapatkan. Apalagi banyak kisah sukses berbagai proyek di lingkungan Depdiknas yang berakhir begitu sebuah proyek selesai.

Berbagai komitmen lisan memang sudah didapatkan dari berbagai pihak. Para istri bupati, bahkan beberapa dinas pendidikan kabupaten dan bupati juga memberikan komitmen untuk tetap melaksanakan program pendidikan anak usia dini setelah proyeknya berakhir. Depdiknas sendiri juga tetap memberikan dukungan untuk perintisan pelayanan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia.

Menurut Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Depdiknas Gutama, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 2 juta untuk rintisan pelayanan pendidikan anak usia dini. Ini memang hanya dukungan awal saja. Diharapkan masyarakat dan pemerintah daerah mau memberikan dukungan.

"Kami memang mengharapkan komitmen-komitmen untuk pelayanan pendidikan anak usia dini dapat berjalan tahun ini. Namun, Depdiknas sendiri tetap berkewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini," ujarnya. (MAM)

Pendidikan Anak Usia Dini Secara Holistik Diterapkan 2009

Jakarta, NTT Online - Pemerintah akan menerapkan kebijakan pendidikan anak usia dini (PAUD) secara holistik integratif pada tahun 2009 sehingga seluruh penyelenggaraan PAUD di Tanah Air dapat berpedoman pada suatu acuan yang sama.

"Saat ini kebijakan dan pengelola pendidikan anak usia dini (PAUD) berada di bawah Direktorat PAUD Ditjen Pendidikan Non Formal dan Informal (PNFI) Depdiknas. Namun, instansi lain dengan inisiatif sendiri juga menyelenggarakan kegiatan sejenis," kata Direktur PAUD Ditjen PNFI, Sudjarwo Singowidjojo, usai menghadiri pembukaan dialog interaktif dalam rangka HUT ke-3 Himpunan Tenaga Pendidik dan Pendidikan Anak Usai Dini (Himpaudi), di Jakarta, Senin.

Karena itu, katanya, agar ke depan tidak terjadi tumpang tindih baik dari sisi pendanaan dan program, maka saat ini sedang disusun kebijakan tentang penyelenggaraan PAUD yang antara lain nantinya akan memadukan program penyelenggaraan PAUD agar menjadi lebih efektif dan mencapai hasil maksimal.

Ia mengatakan, dalam PAUD holistik nantinya terdiri dari berbagai tenaga ahli, baik bidang pendidikan, kesehatan, psikolog, ilmu gizi dan sebagainya.

"Kita upayakan agar pendirian PAUD nantinya harus sudah dilengkapi dengan tenaga-tenaga yang memiliki kemampuan terkait dengan tumbuh kembang anak, kalau tidak bisa menyediakan tenaga dokter setidaknya ada tenaga medis setingkat di bawahnya yang menguasai ilmu kedokteran," katanya.

Ia mengatakan, bila dibandingkan dengan jumlah PAUD di seluruh Indonesia ketersediaan tenaga pendidik yang memiliki latar belakang pendidikan bagi anak usia dini memang jumlahnya masih sangat terbatas.

PAUD ini baru berkembang sehingga pemerintah berupaya menyusun modul-modul yang lebih singkat dan praktis sehingga dalam waktu singkat bisa segera dikuasai oleh tenaga pendidikan PAUD.

Pemda akan menjadi pelaksana utama penyelenggaraan PAUD holistik bekerjasama dengan Himpaudi dan organisasi wanita seperti PKK dan sebagainya.

"Pemerintah mengharapkan penerapan PAUD holistik ini mampu memberikan hasil yang lebih baik terhadap pendidikan anak usia dini sebab usia 0-5 tahun merupakan usia emas (golden age) di mana bila diolah dengan baik diharapkan mampu menghasilkan anak-anak yang lebih bermutu dibandingkan dengan mode parsial," katanya.

Dikatakannya, PAUD baru mampu melayani 54,47 persen dari jumlah anak usia 0-5 tahun yakni yang mencapai 26 juta anak. Sedangkan pemerintah sendiri menargetkan pada 2014 nanti PAUD mampu menjangkau 72 persen anak.

Ia mengatakan, prioritas program PAUD dan PAUD holistik akan dilaksanakan terhadap masyarakat yang belum terjangkau pelayanan tersebut, utamanya terhadap masyarakat yang belum peduli terhadap pendidikan anak usia dini karena alasan tertentu.

Dialog interaktif tersebut menghadirkan Pamela Phelp PhD, ahli di bidang PAUD, Ketua Himpaudi Dr Gusnawirta Fasli MPd, serta dihadiri Dirjen Dikti Depdiknas, Fasli Jalal, Dirjen PNFI Depdiknas, Hamid Muhammad, Sekretaris Dirjen PNFI Depdiknas, Gutama, serta pengurus Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB).

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kecamatan Kraton

Sebanyak 250 anak binaan Forum Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kecamatan Kraton Yogyakarta – KB Komimo dan KB Tiara Chandra serta Kelompok PAUD Kuncup Mekar, Teratai dan Tiara Siwi – Minggu pagi (30/11) berjubel memenuhi halaman kantor BPPO Propinsi DIY Alun-alun Selatan Yogyakarta. Mereka datang dengan mengenakan seragam masing-masing, sehingga halaman itu bagaikan diselimuti pelangi yang indah.

Mereka dengan ceria berantusias mengikuti “Gebyar PAUD Kraton”. Dan kehadiran anak-anak yang rata-rata berusia 0 - 6 tahun ini juga mengikuti kegiatan cuci tangan bersama, lomba mewarnai dengan tema “Bersepeda Bersama Keluarga”, lomba kreativitas menari dan menyanyi, yang diadakan TP PKK Kecamatan Kraton. Kegiatan yang mengikutkan 43 Satuan Pendidikan Anak Usia Dini Sejenis (SPS) yang tersebar di Kelurahan Kadipaten, Patehan dan Panembahan, merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Kesatuan Gerak PKK dan KB Kesehatan dan Hari Anak 2008.

“Anak merupakan harta karun yang sarat dengan bakat istimewa dan akan berkembang secara maksimal, jika kebutuhan tumbuh kembang anak yang mencakup gizi, kesehatan dan pendidikan terpenuhi dengan baik. Bila anak ditelantarkan atau kurang asupan gizi, perlindungan kesehatan dan stimulasi pendidikan, maka perkembangan kecerdasannya tidak akan optimal,” ungkap Ketua TP PKK Kraton Rumiyati Andhi Sasongko, SE dengan mantap.

Sementara itu, isteri Wakil Walikota Yogyakarta Hj Tri Kirana mengatakan, kebutuhan anak usia dini terhadap pendidikan sudah menjadi kebutuhan yang mutlak. Pendidikan pada anak usia dini, lanjutnya, juga mempunyai peran penting dalam pembentukan mental dan karakter anak. “Pada tingkat ini, pendidikan tidak ditekankan pada kecerdasan akademik, tetapi lebih pada pembentukan mental bocah. Dan PAUD penting bagi anak dan diharapkan semua anak bisa mendapatkan pendidikan tingkat ini,” katanya.

Pada kesempatan itu, ia menyampaikan kebanggaannya terhadap anak-anak usia dini di Kecamatan Kraton yang mulai belajar mandiri. Beliau berharap, kegiatan seperti ini dapat terus berlanjut karena dapat membahagiakan anak-anak, memperkaya dan meneguhkan semangat kita untuk terus meningkatkan mutu pendidikan anak-anak usia dini. Beliau juga mengajak seluruh pihak untuk terus mengembangkan PAUD yang sudah cukup popular di tengah masyarakat Kota Yogyakarta ini.

Ia juga berterima kasih kepada para pendidik dan relawan dan juga kader PKK Kraton yang telah ikut membina anak-anak usia dini. “Saya sangat berterima kasih karena ini merupakan bentuk kepedualian masyarakat, ornag tua dan kader untuk membentuk generasi muda yang sehat, cerdas di masa yang akan datang,” ungkap isteri Wakil Walikota Yogyakarta, Hj Tri Kirana Muflidatun, SPsi.

Dalam rangka mengefektifkan kinerja kegiatan anak usia dini, di Kecamatan Kraton telah dibentuk Forum Komunikasi PAUD Periode 2008-2013, yang dilantik Hj Tri Kirana Muflidatun, SPsi. Sebagai Pelindung Camat Kraton, Penasihat: GKR Pembayun, Ketua TP PKK Kec. Kraton, Penilik PNF Kec. Kraton, Kepala Puskesmas Kec. Kraton, Kepala UPT/Kependudukan Kec. Kraton, Ketua: Ny Endang Mulatsih dan Siti Meisaroh, SPd, Sekretaris: Ny Made Widiasih, Dra Siti Banindiru, Ny Ari Parmawati, Bendahara: Ny Sukardi, Ny Sri Isnaeni Sugeng R. Koordinator Sie Pendidikan Dra Siti Hafsah Budi A, M.Si, Sie Humas Ny Retno Gunarwati dan Sie Usaha GBRAy Murdokusumo.

Jumat, 20 Maret 2009

Meningkatkan kemampuan pendidik pada pendidikan nonformal antara harapan dan kenyataan

Pendidik di dalam Pendidikan Nonformal merupakan ujung tombak dalam menyampaikan informasi tentang dunia Pendidikan Nonformal, perlu terus didorong meningkatkan kompetensi profesionalnya. Pendidik dalam Pendidikan Nonformal seperti Pamong Belajar dan Tutor merupakan orang yang mempunyai kemampuan di bidangnya, hanya tidak semua orang mempunyai kemampuan seni menyampaikan materi yang membuat peserta didik memperhatikan dan senang mengikuti proses kegiatan pembelajaran. Untuk membantu mengetahui apakah peserta didik senang mengikuti atau tidak proses pembelajaran yang telah disampaikan seorang pendidik, perlu ada bantuan pihak lain untuk melaksanakan kegiatan pengamatan (observer).

Pihak lain adalah teman sendiri atau orang lain yang diharapkan dapat memberikan masukan secara obyektif dan santun sehingga masukan bisa diterima dan tidak melukai pihak yang diberi masukan.
Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan informal Regional IV sebagai salah unit pelaksanaan teknis (UPT) pusat Ditjen PNFI saat ini sedang mengembangkan model pembelajaran untuk membantu pendidik mengetahui suasana peserta didik pada saat mengikuti pembelajaran yang diselenggarakan di BPPNFI Regional IV diberi nama Lesson Study.
Untuk melihat keunggulan lesson study di lingkungan nonformal, telah melaksanakan ujicoba, pertama di lingkungan keaksaraan dan kedua dilaksanakan di BPPNFI Regional IV dengan responden pamong belajar ( PB). Model ini sudah dikembangkan di dunia pendidikan formal Negara Jepang, beberapa tahun yang lalu. Begitu juga di Indonesia sudah dikembangkan sekitar 5 tahun lalu di lingkungan sekolah formal di beberapa daerah, seperti malang, bandung dan Jogjakarta, diberi nama Lesson Studi.
Lesson Study adalah sebuah proses pengembangan kompetensi profesional untuk para guru dikembangkan secara sistematis dalam sistem pendidikan di Jepang dengan tujuan utama menjadikan proses pembelajaran lebih baik dan efektif ( cerbin dan Kopp, 2006). Kunci di dalam kegiatan lesson study yaitu melibatkan para Pendidik dalam kelompok-kelompok kecil melakukan diskusi merencanakan proses belajar mengajar, melakukan observasi terhadap proses belajar mengajar dan melakukan diskusi untuk melakukan perbaikan dalam proses belajar mengajar berikutnya.
Di Negara Jepang, dengan dilaksanakan kegiatan lesson study banyak terjadi berubahan seperti siswa yang membolos menjadi nol, kenakalan di sekolah tidak ada, dan penguasaan materi siswa meningkat. Kegiatan lesson study menitik tekankan pada 3 hal seperti Diskusi sebelum, selama dan setelah proses belajar mengajar. Untuk kegiatan meningkatkan kompetensi pendidik dan melahirkan pengetahuan baru di dalam proses belajar mengajar.
Menurut Tim Lesson Study dari BPPNFI Regional IV, manfaat dari kegiatan lesson study adalah (1). Memicu munculnya motivasi untuk mengembangkan diri, (2). Melatih pendidik memahami peserta didik, (3). Menjadikan penelitian sebagai bagian intergral pendidikan, (4). Membantu penyebaran inovasi dan pendekatan baru, (5). Menempatkan para peserta didik pada posisi terhormat.
Kegiatan lesson study dapat dilaksanakan dengan baik, bila 1. Stabilitas pada kebijakan pendidikan, 2. Kurikulum yang memberi ruang untuk berkembang, 3. Budaya refleksi diri, dan 4. Budaya kerjasama.
Untuk memudahkan dalam melaksanakan kegiatan lesson study ada tahapan yang harus dilalui. Tahapan yang digunakan oleh Tim Lesson Study BPPNFI mengambil model dari Cerbin dan Kopp ( 2005), yaitu
1. Membentuk Tim
2. Menentukan tujuan belajar
3. Merencanakan Pembelajaran
4. Mengumpulkan Fakta
5. Menganalisis Fakta
6. Mengulangi Proses

Adapun penjelasan dari tahapan tersebut adalah: (1). Membentuk Tim, yang ideal antara 3 – 6 orang pendidik yang memiliki kepedulian mengajar yang sama, (2). Menentukan tujuan belajar peserta didik, (3). Merencanakan penelitian pendidikan. Pendidik mendesain pengajaran untuk mencapai tujuan belajar, dan mengantisipasi respon peserta didik, (4). Mengumpulkan fakta- fakta dari peserta didik pada saat pendidik melaksanakan pembelajaran. Pendidik yang lain melakukan kegiatan pengamatan, mengumpulkan fakta tentang kegiatan peserta didik, (5). Menganalisis fakta-fakta pada pembelajaran. Setelah melaksanakan pengamatan, maka tim yang ada berkumpul dan melakukan analisis hasil pengamatan, yang digunakan untuk pembelajaran berikutnya, (6). Proses diulangi.
Kegiatan lesson study ini juga sedang menjadi perbincangan (walau belum dipraktekkan) di beberapa penyelenggaraan program pendidikan kesetaran, utamanya Kejar Paket B dan Peket C, seperti pada Kelompok Belajar Bina Abdi Wiyata maupun di kelompok belajar PKBM Al-Kamil Surabaya.
Berdasarkan ujicoba yang dilaksanakan di BPPNFI Regional IV pada Pamong belajar masih terasa belum maksimal terkait budaya refleksi diri. Hal ini tentu juga akan terjadi pada pendidikan formal mengingat masyarakat masih belum biasa menerima masukan secara langsung,. Untuk itu dibutuhkan kerjasama semua pihak bila ingin kegiatan lesson study menjadi kebutuhan semua, baik pemegang kebijakan, pendidik dan peserta didik khususnya di lingkungan nonformal dimana peserta didiknya sangat heterogen.[]
*Penulis adalah Karyawan BPPNFI Regional IV. Surabaya.
Alumni IKIP Negeri Malang.

Pendidikan Nonformal Atasi Pengangguran

INILAH.COM, Jakarta, 29/2 (ANTARA) - Ibu Negara Ani Yudhoyono menilai pendidikan nonformal dapat mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Ini karena pendidikan nonformal dapat mengajarkan generasi muda keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar.

Hal itu dikemukakan oleh Ibu Negara dalam pidato sambutannya pada acara Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Himpunan Seluruh Pendidik dan Penguji Indonesia Pendidikan Non Formal (HISPPI PNF) di Istana Negara Jakarta, Jumat (29/2).

"Tenaga handal yang dicetak oleh pendidikan nonformal tentu dapat ikut mengatasi masalah pengangguran di Indonesia," katanya.

Meski begitu ia mengakui banyak (lulusan, red) hasil lembaga pendidikan formal yang masih menganggur. "Ini sebagai bukti adanya kesenjangan antara kualitas lulusan dengan kualifikasi kebutuhan pekerja," katanya.

Oleh karena itu, lanjut Ibu Negara, diperlukan peningkatan kualitas tenaga pendidikan non formal agar lulusan yang diperoleh dari pendidikan nonformal dapat makin handal. "Dengan peningkatan mutu, kualitas pendidikan dan sertifikasi profesi sehingga di masa depan pendidikan non formal dapat bersaing," ujarnya.

Sementara itu Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo mengatakan pendidikan nonformal adalah solusi bagi anak-anak di seluruh Indonesia yang secara geografis dan sosiologis tidak terjangkau oleh pendidikan formal.

"Misal anak-anak di lokasi yang tidak terjangkau secara geografis atau tidak mampu secara ekonomi, bahkan ketika pendidikan telah digratiskan," jelasnya.

Pendidikan formal terdiri dari empat jenis yaitu program pendidikan usia dini selain TK, pemberantasan buta aksara, program paket A untuk setara SD, paket B untuk setara SMP dan paket C untuk setara SMU serta pendidikan kecakapan hidup.

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat HISPPI PNF Nasrullah Yusuf mengatakan rapat kerja nasional itu digelar 28 Febuari hingga 1 Maret dan diikuti 300 orang.

HISPPI PNF dibentuk pada 1986 dan beranggotakan 113 ribu orang dari seluruh Indonesia. Pada kesempatan itu Ibu Negara dengan didampingi para istri Menteri Kabinet Indonesia Bersatu juga melakukan dialog dengan para peserta. [*/P1]

PERAN Strategis PENDIDIKAN NON FORMAL

S U W A N T O
Di samping mengembangkan pendidikan formal, Indonesia juga berkonsentrasi menata sektor non formalnya. Peluang ke arah situ terbuka lebar dikarenakan banyaknya peminat untuk bisa melanjutkan belajar dijenjang yang lebih tinggi yang beorientasi pada ketrampilan kerja.. Dilihat dari subtansinya, pendidikan nonformal di sini adalah sebuah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai atau setara dengan hasil program pendidikan formal, setelah proses penilaian atau penyetaraan oleh lembaga pendidikan yang ditunjuk oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standart nasional pendidikan. Dengan hal ini ijazah yang bisa dikeluarkan oleh lembaga pendidikan nonformal tidak meragukan bagi seorang pelajar atau mahasiswa yang menuntut ilmu di dalam pendidikan nonformal tersebut. Kini di berbagai daerah sangat banyak dengan adanya program pendidikan nonformal, baik itu jenis program apa yang diinginkan oleh semua pelajar dan mahasiswa sesuai dengan keahlianya masing-masing.
Pada umumnya dalam pendidikan nonformal, peminatnya berorientasi kepada pada studi yang singkat, dapat kerja setelah menyelesaikan studi, dan biayanya pun juga tidak terlalu mahal, sehingga tidak meresakan bagi seorang pelajar atau golongan ekonomi menengah. Kini pendidikan non formal dari tahun ke tahun mengalami kemajuan dan dapat meluluskan banyak mahasiswa yang berkualitas dan unggul dalam dunia pekerjaan. Dengan adanya program pendidikan bermodel demikian, angka pengangguran dan kemiskinan dapat ditekan dari tahun ke tahun
Pendidikan non formal pun berfungsi sebagai pengembangan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional. Contoh dari pendidikan noformal pendidikan seperti adalah ADTC dan Marcell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut di pertimbangkan di tengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini. Antonius Sumamo selaku Branch Manager English Langguage Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan nonformal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua refrensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah ketrampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuaian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini digeluti. Tujuanya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang digeluti, serta meningkatkan keunggulan kompetetif yang dimiliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar inventasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani.

Mahasiswa Jurusan Biologi, FKIP, UMM