Senin, 30 Maret 2009

Akankah Kisah Sukses Pelayanan Pendidikan bagi Anak Usia Dini Akan Berlanjut?

USAHA perbaikan kualitas manusia di jagat ini melalui pendidikan memang sudah lama menjadi perhatian dunia. Namun, belum banyak pertemuan tingkat dunia yang melibatkan menteri pendidikan untuk membahas secara khusus tentang pentingnya pendidikan anak usia dini bagi peningkatan kualitas pendidikan. Pertemuan yang dilakukan pada pertengahan Desember lalu di Kairo, Mesir, melibatkan menteri pendidikan dari sembilan negara yang memiliki penduduk terbesar dunia. Pertemuan yang dinamakan E9 Ministerial Meeting itu diikuti oleh Banglades, Brasil, Cina, Mesir, India, Indonesia, Meksiko, Nigeria, dan Pakistan.

Pertemuan yang difasilitasi United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) ini diharapkan dapat mendorong sembilan negara tersebut untuk meningkatkan pelayanan pendidikan anak usia dini. Pasalnya, sembilan negara itu bertanggung jawab atas pendidikan bagi lebih dari 50 persen penduduk dunia.

Di Indonesia, keseriusan untuk menangani masalah ini dimulai pada tahun 2000 ketika Departemen Pendidikan Nasional membuat direktorat khusus yang menanganinya. Kerja direktorat ini dimulai dengan mengintervensi anak-anak pada usia dini non-taman kanak-kanak di seluruh Indonesia.

Data yang ada pada saat itu memperlihatkan angka yang sangat memprihatinkan. Data tahun 2000 menunjukkan, dari 26 juta anak usia 0-6 tahun baru sekitar 4,4 juta atau 17 persen yang sudah mendapat pelayanan di berbagai program pendidikan anak usia dini. Program yang sudah dikerjakan itu dalam bentuk bina keluarga balita, taman kanak-kanak, raudhatul athfal (taman bermain Islam), tempat penitipan anak, dan kelompok bermain.

Hal yang menggembirakan, menurut Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Fasli Jalal ketika memaparkan kondisi pendidikan anak usia dini di Indonesia di depan peserta E9 Ministerial Meeting, dua tahun sejak tahun 2000 terjadi peningkatan lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini. Peningkatan yang paling besar terjadi pada lembaga yang menyediakan layanan kelompok bermain. Kelompok ini meningkat dari 202 pada tahun 2000 menjadi 1.256 pada tahun 2002. Selain itu, tempat penitipan anak memperlihatkan peningkatan yang besar, yaitu dari 768 pada tahun 2000 menjadi 1.789 pada tahun 2002.

Implikasi dari peningkatan lembaga pelayanan itu telah memberikan akses pada lebih dari 20 juta anak. Sebuah hasil kerja keras yang luar biasa karena meningkat lebih dari lima kali lipat.

Persoalannya, program yang dijalankan ini dilakukan dengan dorongan proyek pendidikan anak usia dini yang mendapat dukungan dari pinjaman Bank Dunia dan berakhir pada tahun 2003. Itu sebabnya, sejak pertengahan tahun lalu Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini Depdiknas berusaha membangun jaringan dan mencari dukungan komitmen daerah untuk menyelenggarakannya. Kondisinya memang mengkhawatirkan sekali jika komitmen untuk tetap menyelenggarakan pendidikan anak usia dini ini tidak didapatkan. Apalagi banyak kisah sukses berbagai proyek di lingkungan Depdiknas yang berakhir begitu sebuah proyek selesai.

Berbagai komitmen lisan memang sudah didapatkan dari berbagai pihak. Para istri bupati, bahkan beberapa dinas pendidikan kabupaten dan bupati juga memberikan komitmen untuk tetap melaksanakan program pendidikan anak usia dini setelah proyeknya berakhir. Depdiknas sendiri juga tetap memberikan dukungan untuk perintisan pelayanan pendidikan anak usia dini di seluruh Indonesia.

Menurut Direktur Pendidikan Anak Usia Dini Depdiknas Gutama, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 2 juta untuk rintisan pelayanan pendidikan anak usia dini. Ini memang hanya dukungan awal saja. Diharapkan masyarakat dan pemerintah daerah mau memberikan dukungan.

"Kami memang mengharapkan komitmen-komitmen untuk pelayanan pendidikan anak usia dini dapat berjalan tahun ini. Namun, Depdiknas sendiri tetap berkewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini," ujarnya. (MAM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar