Rabu, 22 April 2009

Para Siswa yang Memilih Belajar di Jalur Nonformal

Ketika para siswa lainnya berburu sekolah formal, maka yang dilakukan para siswa di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Gedeg ini justru sebaliknya. Mereka harus puas menyandang predikat lulus di lembaga pendidikan nonformal. KHOIRUL INAYAH, Mojokerto ---------------------------------------------------- BERADA di dekat areal persawahan, membuat SKB Gedeg terlihat asri. Jauh dari kebisingan lalu lintas Jl Raya Gedeg yang kerap dilewati kendaraan kelas berat. Di sinilah, sekitar 500 meter dari Jembatan Tinggi Pagerluyung hamper 100 siswa belajar.Meskipun masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 13.00 dan mengenakan pakaian abu-abu putih, ternyata di sini mereka bukan masuk sekolah kategori SMA atau SMK. Pada identitas bahu kanan mereka tertulis Pendidikan Setara SMA. ''Ini sesuai dengan permintaan para siswa sendiri yang meminta pakai seragam, agar tidak berbeda dengan pendidikan di jalur formal,'' kata M. Sokheh, salah satu pamong atau sebutan untuk guru.Demikian untuk jam masuk belajar, ketentuan pukul 07.00-13.00 itu juga permintaan para siswa sendiri. Sebab pada umumnya, mereka berasal dari kelompok usia sekolah. ''Mungkin akan berbeda ceritanya kalau yang belajar di sini para pekerja atau yang sudah di atas usia sekolah. Mungkin jamnya ya tidak jam efektif kerja dan tidak perlu mengenakan seragam,'' katanya.Sri Wulandari, salah satu siswa dari Desa Kepuhkuning mengaku menggunakan seragam membuatnya tidak minder karena terasa sama dengan teman-temannya yang bersekolah di sekolah formal. ''Ya, biar kelihatan seperti sekolah,'' ujarnya.Saat ditanya mengapa ia memilih sekolah nonformal dan tidak masuk ke lembaga pendidikan formal. ''Yang utama ya karena faktor ekonomi. Karena sekolah di sini gratis,'' kata Yuliani, siswi lainnya yang juga berasal dari desa yang sama.Memang, para pelajar di sini tidak dipungut biaya sepeser pun. Bahkan termasuk uang untuk buku pun mendapatkan subsidi. Pihak sekolah hanya menarik biaya Rp 20 ribu per bulan untuk biaya kursus mereka. Sebab, di sini para siswa selain mendapatkan pelajaran seperti pelajaran formal lain, mereka juga bisa belajar keterampilan. Antara lain, laboratorium bahasa mulai Bahasa Jerman, Inggris dan Jepang. Juga ada laboratorium computer untuk desain grafis, serta ada 8 komputer yang memiliki koneksi internet. Beberapa siswa putri juga ada yang mengikuti kursus menjahit.''Kalau masalah fasilitas di sini sebenarnya sudah lumayan lengkap,'' kata Kasek Imam Baidlowi.Dengan kondisi seperti ini, maka siswa di SKB ini cukup beragam. Termasuk salah satunya ada yang menjadi loper koran. ''Saya kalau pagi loper Koran Jawa Pos, jam 07.00 ke sekolah,'' kata Ivan Wahyudi, siswa kelas II.Untuk mengatur waktu, Ivan mengaku berangkat ke agen Koran Tamin Agency di Jl Pahlawan Kota Mojokerto pukul 04.30 dengan mengayuh sepeda pancal. Pukul 05.00, dia sudah mengirim Koran Jawa Pos kepada pelanggannnya. ''Pelanggan saya ada 20 orang di Perumahan Magersari Indah,'' kata pemuda yang setiap hari menghabiskan 30 koran untuk dijualnya.Nah, sisanya yang 10 eksemplar koran ia jual setelah mengantar ke rumah pelanggan. Biasanya, ini akan dibeli warga yang menghendaki membeli koran secara eceran. Menjelang pukul 07.30, ia bergegas pulang untuk persiapan menuju sekolah yang berjarak sekitar 6 km dari rumahnya.Bagaimana kalau sisa yang 10 eksemplar tersebut tidak habis? ''Biasanya saya titipkan ke kakak saya yang juga jualan koran. Tetapi seringnya habis kok,'' kata Ivan. (yr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar