Rabu, 22 April 2009

PAUD Berbasis Keluarga

risis ekonomi, itulah yang tengah terjadi di negeri ini. Belum pulih kesejahteraan rakyat dari guncangan akibat kenaikan harga bahan bakar minyak pada 2005, sudah kembali hancur. Lagi-lagi oleh badai kenaikan harga BBM, yang pada 24 Mei 2008 naik sebesar 28,7 persen.
Bisa dipastikan jumlah penduduk miskin meningkat. Dengan melonjaknya biaya hidup, mereka yang sebelumnya sedikit berada di atas garis kemiskinan, serta-merta tidak lagi mampu mengakses kebutuhan sehari-hari, yang primer sekalipun. Mereka jatuh miskin.
Bila kenaikan harga BBM 2005 sebesar 118 persen telah meningkatkan jumlah penduduk miskin se- besar 4,2 juta jiwa maka kenaikan BBM 2008 diperkirakan menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 1,02 juta jiwa, sehingga jumlah penduduk miskin pada 2008 akan membengkak menjadi 41,7 juta jiwa atau sekitar 21,9 persen dari penduduk Indonesia (SP, 27/5/08).
Memang untuk membantu penduduk miskin pemerintah kemudian memberikan bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan per keluarga miskin. Namun, jumlah bantuan tersebut tentu saja tidak mampu menutupi peningkatan pengeluaran keluarga sebagai dampak ikutan dari kenaikan harga BBM. Terlebih tidak semua keluarga miskin bisa menerima BLT karena pemerintah masih menggunakan data keluarga miskin 2005, yang tentu sudah tidak valid lagi. Kenyataan tersebut dipastikan akan membuat banyak keluarga tidak mampu mengakses kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, dan papan. Dengan kondisi seperti ini bisa dipastikan bila keluarga miskin akan mengabaikan kebutuhan akan pendidikan. Jangankan menyekolahkan anak, untuk bisa makan tiga kali sehari dengan kandungan gizi memadai saja sangat jarang bisa mereka alami.
Anak-anak pun tidak bisa sekolah bahkan yang sudah sekolah terpaksa putus sekolah. Besar kemungkinan mereka semakin tidak beratensi untuk memasukkan anaknya yang masih berusia dini ke lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) formal, semacam taman kanak-kanak (TK). Karena bukan rahasia lagi bila diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk bisa menyekolahkan anak ke TK. Terlebih hingga saat ini pemerintah belum memberikan subsidi bagi anak-anak yang mengikuti lembaga PAUD formal.
Pemerintah hanya memberikan subsidi pendidikan (berupa BOS, misalnya) bagi anak yang bersekolah di SD/SMP/SMA, sehingga tidak aneh bila biaya mengikuti PAUD formal kerap kali melebihi biaya pendidikan bagi anak SD/SMP/ SMA. Bahkan begitu miskinnya mereka bisa jadi juga tidak mampu menyekolahkan anaknya ke lembaga PAUD nonformal, seperti taman bermain, tempat penitipan anak, dan sebagainya. Sekalipun biayanya lebih murah, namun tetap saja memerlukan biaya.
Potensi Belajar
Lalu, apakah berarti anak-anak mungil dari keluarga miskin itu akan diabaikan saja? Semestinya tidak. Karena seperti halnya anak-anak yang lain, mereka pun mempunyai potensi belajar yang sangat luar biasa.
Saat masih dalam kandungan, otak anak sudah berkembang dengan sangat pesat. Melalui proses pembelahan sel (mitosis), sedikitnya setiap menit tumbuh 250.000 sel otak sehingga saat dilahirkan, setidaknya di otak bayi telah ada 100 miliar sel otak. Jumlah sel-sel otak ini akan terus bertambah hingga bayi berusia dua bulan. Di usia inilah jumlah sel otak bayi sudah sama dengan jumlah sel otak orang dewasa dengan kemampuan beribu kali lebih hebat dari super komputer tercanggih di dunia. Fantastis. Mengapa bisa demikian? Hal ini karena setiap sel otak anak berpotensi menjadi alat pemroses informasi.
Menurut Dr Leon Eisenberg, psikiater anak dari Universitas John Hopkins, otak bayi dapat dianalogikan seperti sebuah komputer. Hanya, komputer canggih itu masih belum bisa dipakai karena jaringannya belum banyak yang tersambung, belum diisi program, memorinya juga masih kosong. Untuk menghidupkan dan mengaktifkannya perlu dibangun jaringan dan dimasukkan program serta data.
Sel-sel otak bayi baru berguna apabila telah ada serabut yang menghubungkan antarsel otak. Untuk memacu pertumbuhannya diperlukan stimulus berupa rangsangan melalui organ-organ sensorik, yaitu pancaindera.
Semakin banyak stimulus yang dimasukkan ke dalam otaknya akan semakin banyak dan semakin baik kerja otak. Ini artinya, bila kepada bayi diberikan banyak kesempatan untuk memprogram otaknya, yaitu dengan memberi masukan sensorik dan motorik, maka kecerdasannya akan jauh berkembang. Namun, proses pemberian stimulasi juga tidak bisa sembarangan karena otak mempunyai sifat yang sangat khas.
Hanya empat macam stimulus yang akan disimpan oleh otak anak, yaitu yang lebih dulu direkamnya, yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan dan yang berlangsung terus-menerus.
Dalam konteks inilah keluarga (terutama orangtua) berperan dominan. Bukankah orangtua merupakan orang pertama yang dikenal anak? Ia berpeluang menjadi orang pertama yang memasukkan rekaman stimulus. Apalagi dengan kemampuan janin untuk menangkap dan merespons suara maka proses pendidikan sudah bisa dilakukan sejak anak masih dalam kandungan. Bukankah orang tua merupakan sosok yang paling dipercaya oleh anak? Bukankah orang tua merupakan sosok yang paling sering bersama anak? Oleh karena itu ia berpeluang untuk memberikan stimulus secara terus-menerus. Bukankah suasana rumah semestinya lebih santai daripada suasana sekolah, sehingga orangtua bisa memberikan stimulus dengan lebih menyenangkan?
Kerja Sama
Benyamin S Bloom, professor pendidikan dari Universitas Chicago, menemukan fakta bila sesungguhnya 50 persen dari semua potensi dasar manusia sudah terbentuk sejak masih berada dalam kandungan hingga usia 4 tahun. Sebanyak 30 persen potensi berikutnya terbentuk pada usia 4 - 8 tahun. Dan potensi sisanya, yaitu 20 persen, terbentuk dari rentang usia 8 tahun hingga manusia itu meninggal.
Mencermati fakta di atas jelaslah bila sebagian besar potensi dasar manusia terbentuk di rumah, ketika ia belum mengikuti pendidikan formal. Ini berarti kemampuan anak, kebiasaan, karakter, dan sikapnya bergantung pada proses pembelajaran di rumah, oleh orangtua. Masalahnya tidak semua orangtua bisa memberikan pembelajaran bagi anak usia dininya dengan benar. Masih sangat banyak orangtua yang belum mengetahui cara yang benar untuk berkomunikasi dengan anak, untuk memberikan stimulasi kecerdasan, baik secara kognitif, emosi maupun spiritual. Ironinya, hal ini justru banyak terjadi di keluarga miskin, karena tingkat pendidikan rendah. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Perlu kerja sama semua pihak untuk mengatasinya.
Pemerintah, misalnya, bisa menggiatkan kembali serta lebih memberdayakan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Selama ini Posyandu lebih memfokuskan pelayanan pada pemantauan pertumbuhan dan kesehatan anak. Tentu tidak ada yang salah dengan bentuk layanan ini, hanya pelayanan Posyandu bisa lebih diperkaya dengan memberikan informasi tentang cara pengasuhan anak yang benar, terutama saat anak masih dalam kandungan dan ketika ia berada di tahap usia emas (golden age), yaitu usia 0 - 6 tahun.
Guna memperlancar program ini, Posyandu bisa bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, PKK, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN mempunyai program Bina Keluarga Balita (BKB) dengan sasaran orangtua yang memiliki anak usia dini. Dalam program BKB, yang sekolah adalah orangtua anak, yang kemudian diimplementasikan ke anak-anaknya.
Pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, bisa mengajak para penulis dan praktisi pendidikan untuk membuat modul-modul pembelajaran PAUD bagi orangtua. Modul pembelajaran PAUD berbasis keluarga ini nantinya sebagai pegangan orangtua terkait dengan pembelajaran PAUD yang benar. Hendaknya modul- modul tersebut dibagikan gratis, terutama bagi keluarga miskin. Bisa secara langsung atau melalui lembaga nirlaba, seperti Posyandu.
Pemerintah hendaknya juga bekerja sama dengan media massa untuk menyebarluaskan informasi tentang PAUD berbasis keluarga serta tentang materi-materi PAUD. Dengan cara ini, keluarga miskin bisa mengakses ilmu mendidik anak usia dini secara gratis.
Tak ada yang bisa mengingkari bila anak-anaklah yang akan memegang kendali masa depan negeri ini, termasuk yang saat ini terkungkung oleh kemiskinan. Oleh karena itu, kita harus memberdayakan mereka sejak berusia dini. Jangan biarkan krisis ekonomi menghancurkan masa depan anak-anak kita.
Penulis adalah ibu rumah tangga yang sangat berminat pada masalah anak, perempuan, dan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar