Jumat, 17 April 2009

Skenario Menuju Anggaran 20%

Jakarta,LEPAS target perolehan anggaran bukan berarti harus lepas target dari program-program pembangunan di bidang pendidikan. Mungkin moto itulah yang dianut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam menyiasati keterbatasan alokasi dana pemerintah yang disalurkan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sesuai dengan amanat konstitusi yang menentukan besaran anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN, Depdiknas menetapkan strategi pembiayaan pendidikan tersebut dalam rencana strategis (Renstra 2005-2009). Dalam rencana semula, misalnya, sejak 2006-2009 anggaran tersebut diproyeksikan naik berturut-turut 12%, 14,7%, 17,4%, dan mencapai 20,1% pada 2009. Namun kenyataannya karena alasan keterbatasan sumber anggaran pemerintah, perjuangan anggaran oleh Depdiknas bersama Komisi X DPR tersebut hanya tercapai 11,8% pada 2007 atau setara dengan Rp48 triliun.

Meski demikian, Depdiknas tetap berkomitmen memanfaatkan dana yang ada untuk berbagai program guna mengejar ketertinggalan pembangunan pendidikan di Tanah Air. Fokus program pendidikan pada 2007, selain program wajib belajar yang masih diarahkan pada pendanaan pendidikan, kurikulum, dan sertifikasi guru, tentunya memiliki tantangan tersendiri dalam pemanfaatan anggaran yang tersedia.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo beberapa waktu lalu mengatakan akan terus melanjutkan program rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah serta penerapan pendidikan dengan basis teknologi, informasi, dan komunikasi.

"Terobosan di bidang pendanaan pendidikan, selain diberikan dalam bentuk bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan operasional manajemen mutu (BOMM), dan bantuan khusus murid (BKM) akan diberikan beasiswa prestasi," ujarnya.

Pada beasiswa prestasi, pemerintah akan memberikan beasiswa bagi anak-anak berprestasi, sesuai dengan anggaran pendanaan pendidikan untuk beasiswa yang dikucurkan ke sekolah. Selain itu, pendanaan pendidikan akan diarahkan pada pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus.

Pendidikan khusus, yakni bagi mereka yang cacat, atau mereka yang cerdas dan berbakat istimewa luar biasa. Di sisi lain, pendidikan layanan khusus pemerintah akan tetap diprioritaskan pada daerah bencana, konflik, daerah terpencil, dan wilayah perbatasan.

Pada bidang kurikulum, Mendiknas mengemukakan pemerintah tetap melanjutkan penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) baik di sekolah ataupun perguruan tinggi. "Pada KTSP, pemerintah memberi kebebasan kepada sekolah atau perguruan tinggi untuk menyusun kurikulum sendiri. Pemerintah hanya menetapkan rambu-rambunya melalui UU, PP, dan Permen," ungkapnya.

Lanjutan program sertifikasi guru yang sudah diamanatkan pada UU Guru dan Dosen juga dianggap mendesak untuk direalisasikan dengan segera.

Saat ini, guru dan dosen sudah berstatus profesi sehingga kualifikasi mereka perlu ditingkatkan agar sesuai dengan ketentuan minimal yang ada pada UU.

Dengan cara itu, baik guru ataupun dosen akan memiliki sertifikat kompetensi sehingga guru dan dosen di Indonesia dapat sejajar dengan guru dan dosen di negara-negara maju. Lebih lanjut, program rehabilitasi dan rekonstruksi sarana dan prasarana pendidikan juga akan terus dilakukan. Model pendanaannya akan disalurkan melalui dana alokasi khusus (DAK) maupun dana dekonsentrasi yang sudah diposkan dalam anggaran.

Untuk memuluskan jalan, Depdiknas melakukan terobosan dengan membuat MoU (kerja sama) dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Sebanyak 26 dari 33 pemprov telah melaksanakan MoU tersebut. Sasaran Mou yang berdasarkan Pasal 46 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, Pasal 2 UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Renstra Pendidikan Nasional 2005-2009 tersebut, diarahkan untuk merehabilitasi ruang kelas yang rusak berat pada semua jenjang, penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pemberantasan buta aksara, sertifikasi guru, dan pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

"Kenyataannya, lebih banyak ruang-ruang kelas yang diperbaiki pemerintah daerah daripada pemerintah pusat melalui dana alokasi khusus (DAK)," ujar Bambang.

Lihatlah proporsinya, pada 2004 terdapat 49,95% ruang kelas SD/MI rusak, lalu pada akhir 2006 tersisa 17,39% yang rusak.

Jika pemerintah pada tahun ini tetap melanjutkan komitmennya hingga akhir 2007, ditargetkan ruang kelas SD/MI rusak yang belum diperbaiki hanya tersisa 9,17% dari jumlah total sekolah yang rusak, yaitu 498.600 sekolah pada 2004.

Di sisi lain, untuk ruang kelas SMP/MTs, pemerintah daerah diharapkan membantu mengurangi jumlah sekolah yang rusak dari 33.183 ruang kelas (17,7%) pada 2004 menjadi 5,34% atau 9.978 ruang kelas pada akhir 2007.

Jika hal tersebut berjalan lancar, pada 2008 anggaran DAK yang selama ini lebih banyak disalurkan untuk prasarana atau rehabilitasi tentu dapat bergeser pada perbaikan kesejahteraan guru.

Di samping perlunya penambahan anggaran pendidikan menuju 20% tersebut, Sekretaris Jenderal Depdiknas Dodi Nandika menyoroti pentingnya pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut. Seusai berbicara dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan 2007 pada Senin (9/4), Dodi mengatakan ada kendala di berbagai daerah dalam membuat laporan keuangan. "Selain ada yang terlambat, beberapa yang lainnya tidak memenuhi kriteria laporan keuangan yang baik. Sekitar lima atau enam daerah yang paling banyak memiliki kendala pada 2007 akan kita dampingi dan dibina untuk menyusun laporan yang baik." Oleh karena itu, Depdiknas saat ini menjalin kerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) membantu daerah dalam menyusun dan meninjau kembali laporan keuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar