Jumat, 17 April 2009

Anak Belajar, Negara Membayar

    
Sembilan bulan lalu, negeri ini dihebohkan bencana gempa tektonik dan
badai tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Tsunami yang ganas
itu meluluhlantakkan fasilitas pendidikan. Banyak guru menjadi sahid, anak
sekolah menjadi yatim piatu, sekolahnya musnah, peralatan belajar hilang entah
ke mana. Singkatnya, pendidikan anak terancam kelangsungannya.

Jika ditilik dari UU Sistem Pendidikan nasional (UU Sisdiknas),
pendidikan yang terjadi atau terbengkalai dalam bencana tsunami, mestinya masuk
dalam skema pendidikan layanan khusus. Apakah kita sudah memiliki pendidikan
layanan khusus? Ternyata belum. Perintah pembuatan Peraturan Pemerintah (PP)
tentang pendidikan layuanan khusus yang memayungi pendidikan darurat belum
dibuat hingga kini.

Pendidikan layanan khusus, bukan cuma ada dalam kasus tsunami.
Sebenarnya, sejak lama di pulau-pulau kecil dan terpencil, misalnya di Pulau
Bertam, Kepulauan Riau (Kepri), dikenal kelompok masyarakat suku laut.
Dalam suatu kesempatan pembicaraan dengan ibu Sri Sudarsono, tokoh
masyarakat level nasional yang tinggal di Batam, mengisahkan bagaimana situasi
unik yang disandang suku laut. "Mereka suku laut belajar di laut." Demikian
antara lain pengalaman kisah Sri Sudarsono mendampingi suku laut yang
dituliskan dalam bukunya, "Menantang Gelombang - Kehidupan Suku Laut di Pulau
Bertam Perairan Batam". Sebagian bayi lahir di laut. Lantas segera pula
dimandikan air laut yang asin. Diyakini, air laut berguna sebagai antibody bagi
bayi.

***
Untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak, pendidikan dalam kondisi
bagaimanapun, termasuk keadaan darurat (in emergencies situation), denyutnya
mesti terus diselamatkan. Dari laporan pengalaman berbagai situasi darurat,
konflik sosial, ataupun konflik bersenjata, pengabaian hak pendidikan anak
paling sering terbukti. UNICEF (Badan PBB untuk Dana Anak-anak) menuliskan
bahwa, "In emergencies, children are frequently denied this right". Inilah
rasional yuridis (legal reason) mengapa Konvensi PBB tentang Hak Anak (KHA)
menghormati hak pendidikan sebagai hak fundamental anak (education is a
fundamental right of all children).

Di samping argumentasi legal formal itu, dalam "Technical Notes: Special
Considerations for Programming in Unstable Situations" yang diterbitkan UNICEF,
diuraikan beberapa alasan mengapa penting menyediakan akses pendidikan anak
dalam situasi krisis.
Pertama, pendidikan adalah hal fundamental anak. Kedua, Keadaan darurat
adalah etape yang kritis bagi perkembangan anak. Ketiga, pendidikan dapat
membantu anak dalam menghentikan trauma atau efek krisis . Keempat, pendidikan
dapat membantu perasaan normal anak dan masyarakat.

Kelima, lingkungan pendidikan penting bagi anak untuk ditempatkan pada
lingkungan yang aman. Keenam, pendidikan bagi anak dalam keadaan darurat
berguna sebagai medium membangkitkan daya kejuangan anak, membangun
solidaritas, dan spirit rekonsiliasi. Di samping itu, pendidikan darurat ini
relevan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam pendidikan anak.
Kendati dalam situasi darurat, tidak mengeliminasi penyelenggaraan
pendidikan anak yang berkualitas kurang. Anak dalam situasi darurat berhak atas
pendidikan dengan kualitas bagus.

Pemerintah wajib menyediakan pendidikan yang berkualitas dan non
diskriminasi (vide Pasal 11 ayat 1 UU No 20/2003). Dan, menjamin pendidikan
anak yang berbasis kesetaraan kesempatan.

Untuk menjamin good quality pendidikan dasar anak dalam situasi darurat
itu, masalah kualitas bagus ini meliputi lima aspek kunci. Pertama, pemberi
pelajaran, yakni memiliki kemampuan dan sehat. Kedua, konten pelajaran, yakni
konten yang relevan, aksesible.
Ketiga, proses belajar, yakni proses belajar yang mampu memberdayakan dan
efektif . Keempat, lingkungan belajar yakni lingkungan belajar yang aman, sehat
dan adil. Kelima, hasil pelajaran yakni hasil perolehan yang terukur, relevan,
dan mencerminkan dimensi yang sensitif gender.

Dengan demikian, upaya pemenuhan hak atas pendidikan dasar anak dalam
skema palayanan khusus, mestilah dikelola berbasis kepada kebijakan atau
regulasi. Bukan hanya berbasis kepada kebijakan insidental, reaktif atau malah
personal. Atau bahkan hanya berbasis kepada pesan telepon saja.

Beberapa strategi praktis dapat diperoleh dari akumulasi
pengalaman-pengalaman masyarakat. Pertama, memobilisasi komunitas/ masyarakat
untuk mengupayakan pelayanan pendidikan dasar. Memobilisasi dan mendorong aksi
dari komunitas/ masyarakat menyelenggarakan pendidikan dasar, menjadi prioritas
segera dalam program pendidikan darurat.

Kedua, menyiapkan berbagai kesempatan pelatihan bagi guru-guru,
para-profesional, dan anggota masyarakat. Pelatihan ini berguna untuk
menyiapkan skil dan mentalitas para guru dan pengelola sekolah dalam menghadapi
situasi darurat, yang diidentifikasi secara spesifik dan jelas di kawasan
sekolahnya. Sehingga langsung bisa diterapkan, diuji-latihkan dan dibiasakan.

Ketiga, menjamin pengupayaan segera peralatan dan material untuk
pendidikan dasar. Belajar dari pengalaman di Somalia ataupun Ruwanda (besama
UNESCO), bisa mengembangkan atau menduplikasi berbagai material, seperti
Scholl-in a- Box.

Keempat, mengupayakan persetujuan mengenai kurikulum yang relevan,
mengggambarkan material yang tersedia dan di mana diperoleh, dan menambah
kemampuan dalam menghadapi krisis. Dalam keadaan darurat, dokumen kurikulum dan
material pendukung pendidikan bisa musnah.

Dalam masa bencana atau konflik, kerap pula kurikulum yang biasa atau
yang tersedia tidak lagi relevan dengan situasi mental anak didik. Karenanya,
perlu pengembangan segera material kurikulum yang relevan bagi kebutuhan lokal.

Kelima, memajukan konsepsi untuk menciptakan adanya kesempatan rekreasi
dan bermain bagi anak. Dalam situasi darurat, masa untuk bermain terbatas.
Padahal, terapi bermain (playing teraphy) bisa membantu anak ke luar dari
trauma psiko-sosial yang dideritanya.
Rekreasi dan bermain adalah bagian dari proses pendidikan, dan diperlukan
untuk efektivitas pembelajaran anak. Bermain adalah terapi yang terbukti
efektif mengatasi trauma anak pasca bencana ataupun konflik.

Keenam, memajukan konsepsi untuk menciptakan rehabilitasi sistem
pendidikan (yang menyerap pendidikan dalam situasi darurat), sekolah dan
ruangan kelas. Ketujuh, melakukan advokasi untuk kegiatan pendidikan dan
mendorong kordinasi dengan kelembagaan lain.

Negara menjadi pendidikan anak, dalam sityasi apapun. Karena sudah
menjadi perintah konstitusi kepada pemerintah untuk menciptakan sistem
pengajaran nasional. Tentunya, dengan mengintegrasikan sub sistem pendidikan
layanan khusus, yang diperintahkan UU Sisdiknas.

Anak-anak korban tsunami, anak korban konflik sosial, anak di pulau
terpencil perbatasan Filipina, anak suku laut di Kepri, anak-anak dipedalaman
gunung Jayawijaya, atau anak suku Kubu, tetap berhak atas pendidikan. Negara
berkewajiban memberikan hak itu. Anak Belajar, negara membayar.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar