Jumat, 20 Maret 2009

Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan

Kesenjangan Pendidikan dan Realitas
Buku Pendidikan Tinggi dan Goncangan Perubahan ini terlihat jelas bahwa Agus Suwignyo sangat prihatin dengan kondisi pendidikan kita yang kebingungan, bahkan tidak bisa berhadapan dengan tuntutan realitas kehidupan.

Betapa tidak, kondisi pendidikan yang, menurut Driyarkara (1980), seharusnya menjadi hominisasi dan humanisasi, tiba-tiba sirna. Yang dimaksud hominisasi adalah proses menjadi homo (manusia). Sedangkan humanisasi adalah proses menjadi human (manusiawi). Jadi, pendidikan sebagai hominisasi dan humanisasi memiliki arti bahwa pendidikan sebagai proses menjadi manusia yang manusiawi. Untuk tujuan itu, maka dalam setiap lembaga pendidikan meniscayakan adanya ruh yang kemudian diistilahkan dengan per definitionem. Yaitu kekhasan sekaligus kekuatan pada nilai-nilai dasar ilmu yang universal.

Ada empat bidang ilmu, kata Agus, yang menjadi tekanan utama karena merupakan dasar pembentukan watak dan kemampuan analitis. Yaitu filsafat, sejarah, kesusasteraan, dan seni. Penelitian yang menjadi darah daging dan pusat belajar civitas akademika di setiap pendidikan tinggi meniscayakan adanya kemampuan pada empat bidang keilmuan tersebut. Pengembangan ilmu dan pengetahuan dilakukan demikian pertama-tama adalah demi peningkatan ''derajat'' kemanusiaan manusia, walaupun secara tidak langsung sekaligus demi pengembangan ilmu dan pengetahuan itu sendiri.

Kondisi ini yang menjadi salah satu alasan dijadikannya pendidikan tinggi sebagai referensi masyarakat non-akademis dalam menguji ''kebenaran'' suatu fenomena. Dengan ini pendidikan tinggi menjadikan dirinya sebagai institusi yang berwibawa, dan memberi gengsi tersendiri pada warganya. Tetapi, jauh lebih penting, pendidikan tinggi dengan misinya tersebut mampu membentuk manusia-manusia merdeka dan humanis, manusia yang diistilahkan Victoria Camp dengan en todos los sentidos de la palabra, bueno (manusia yang baik dalam setiap arti kata dan perbuatannya; manusia intelektual berkepribadian penuh, bertanggung jawab, dan memiliki solidaritas sosial tinggi).

Hanya saja, idealitas itu tidak lagi bisa diharapkan dalam kondisi pendidikan tinggi yang tidak mampu mengejawantahkan misi tersebut di tengah semakin tingginya peradaban dunia. Bahkan yang terjadi kemudian adalah sumbangan jumlah pengangguran para lulusannya (baca: sarjana).

Maka, tak heran, melalui karyanya yang terkenal Sekolah adalah Candu, Roem Topatimasang menganggap bahwa pendidikan, sebagaimana keberadaannya selama ini, tidak lagi berguna. Ia hanya meracuni anak didik. Asumsi ini berangkat dari kemandulan pendidikan berhadapan dengan realitas dalam melahirkan solusi alternatif terhadap setiap problem sosial kehidupan yang muncul. Tesis ini kemudian mendapatkan legitimasinya pada kenyataan tingkat pengangguran yang sangat tinggi, yaitu 11 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang makmur ini.

Pengangguran yang sampai detik ini menjadi persoalan yang tidak mampu dicarikan solusinya oleh pemerintah akan terus berlanjut selama pendidikan, kata Agus, didefinisikan secara kaku. Pendidikan hanya didefinisikan sebagai proses belajar dalam sebuah lembaga pendidikan yang formal dengan seperangkat aturan yang ketat dan kaku. Padahal, pendidikan sebenarnya bisa dimaknai secara lebih luas sebagai suatu proses belajar dalam kehidupan semesta ini. Pendidikan adalah seluas kehidupan itu sendiri.

Lembaga pendidikan yang telanjur dianggap sebagai wahana terbaik bagi pewarisan dan pelestarian nilai, akhirnya sekadar menjadi alat untuk mewariskan dan melestarikan nilai-nilai ''resmi'' yang sedang berlaku dan direstui, tentu saja, oleh siapa yang berkuasa menentukan apa nilai-nilai resmi yang mesti berlaku dan direstui. Dibungkus dengan slogan-slogan indah tapi membius, misalnya nation and character building, nilai-nilai resmi itu wajib diajarkan di semua lembaga pendidikan dengan satu penafsiran resmi yang seragam.

Dari sinilah, selain indoktrinasi, muncul juga berbagai peraturan, dan penyeragaman-penyeragaman, juga kultur semimiliter, seperti baris berbaris, budaya komando, dan seterusnya. Di sisi lain, lembaga pendidikan formal mayoritas juga telah menjadi kapitalistik. Di sini, ada proses elitisasi, komersialisasi, dan kapitalisasi lembaga pendidikan. Ini sudah sangat lazim dalam lembaga pendidikan di tanah air. Pendidikan menjadi lembaga komersial, mewah, dan mengeluarkan banyak biaya, akan tetapi hanya melahirkan generasi-generasi yang gamang dan gagap.

Pendidikan menjadi semacam institusi perusahaan yang diwarnai suap-menyuap, uang pelicin, jalan belakang, dan seterusnya. Pendidikan hanya mendidik orang untuk menjadi pandai dan cerdik, bukan bijak dan arif. Maka, bisa dimaklumi jika pemikir radikal bernama Ivan Illich, misalnya, membongkar habis-habisan kebrengsekan lembaga pendidikan lewat salah satu tawarannya yang terkenal, Discolling Society.

Fakta adanya penyelenggaraan pendidikan yang telah menyimpang dari hakikat sebuah pendidikan seperti diuraikan di atas jelas terjadi di banyak institusi bernama pendidikan ini. Didorong oleh semangat pragmatisme, lembaga pendidikan saat ini lebih menyerupai lembaga pelatihan tenaga kerja yang dibutuhkan utamanya oleh dunia industri. Tetapi, atribut pendidikan tinggi sebagai lembaga pelatihan tenaga kerja itu pun tidak sepenuhnya benar, mengingat para alumnusnya masih memerlukan pelatihan tenaga kerja terapan ketika memasuki dunia kerja. ''Jadi apa yang bisa diharapkan dari kehadiran pendidikan tinggi saat ini?'' tanya Agus dalam buku ini.

Problem pendidikan tinggi yang demikian sebenarnya yang telah mengilhami Agus dalam buku ini. Pendidikan tinggi telah kehilangan ruh per definitionem-nya ketika berhadapan dengan realitas dunia yang telah terpengaruh paradigma capital is power. Sehingga, cara berpikir para pengelola pendidikan tinggi, termasuk yang bersendikan agama sekalipun, telah berubah pragmatis-kapitalis. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar