Rabu, 22 April 2009

WAJAH PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA

Jika kita cermati, kita akan menemukan begitu banyak perbedaan antara pendidikan saat ini dengan pendidikan akhir abad ke-20. Hanya sebagian masyarakat saja yang menyadarinya. Sebagian lagi bahkan tidak menyadari keberadaan perubahan itu. Sebenarnya, apa yang berubah? Apa yang terjadi? Melalui tulisan ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dan kemudian mengetahui apa yang seharusnya dilakukan. Jenjang pendidikan tinggi ditempuh untuk mendapatkan ilmu yang lebih luas, untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan ilmu tersebut dilakukan guna mengubah keadaan dari yang buruk menjadi baik, atau dengan kata lain untuk mencapai kebangkitan bangsa. Maka, sudah sepantasnya ilmu tersebut diterapkan demi kemajuan bangsa. Perubahan di pendidikan tinggi terjadi sejak UNESCO mengadakan “World Declaration on Higher Education for Twenty-First Century: Vision and Action” di Paris tahun 1998, yang kemudian mencetus lahirnya paradigma baru perguruan tinggi untuk mengimbangi perubahan global dunia. Konsep perubahan ini juga tercermin pada Kerangka Pembangunan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang III (1996-2005). Kemudian terbentuklah paradigma baru perguruan tinggi Indonesia, yaitu kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Bahkan pada draft KPPTJP IV (19 Maret 2003), pemerintah menyoroti pentingnya reformasi dalam dunia pendidikan tinggi. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, pemerintah melakukan kerja sama dengan Bank Dunia dan Asian Development Bank. Kerja sama ini memunculkan program-program seperti QUE (Quality of Undergraduate Education), DUE (Development of Undergraduate Education), University Research for Graduate Education, dan TPSD (Technological and Professional Skills Development). Dalam hal otonomi, pendidikan tinggi dituntut dapat menjadi institusi mandiri, yang bebas dari campur tangan pemerintah. Hal ini ditegaskan dalam PP No. 60 tahun 1999 tentang perubahan administrasi institusi perguruan tinggi dan PP No. 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai entitas legal. Melalui PP No. 153 tahun 2000, otonomi kampus diwujudkan dengan penetapan ITB, UI, UGM, IPB, USU, UPI, dan UNAIR menjadi berstatus Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara. Ciri khas suatu PTBHMN adalah pengumpulan dan pengelolaan dana dilakukan secara mandiri oleh institusi pendidikan yang bersangkutan. Dan kemandirian ini akan semakin diperkokoh dengan adanya Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU-BHP). Dalam hal akuntabilitas, akan dibentuk Dewan Audit yang dipilih dan diangkat sendiri oleh Majelis Wali Amanat (sebagai pemilik modal dalam institusi tersebut). Maka dapat dilihat dengan jelas, bagaimana pengelolaan dana di dalam institusi. Akreditasi merupakan jaminan kualitas pendidikan di sebuah institusi. Jika suatu institusi dipandang berpotensi secara internasional, maka institusi tersebut akan didorong untuk melakukan akreditasi internasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa kurikulumnya juga akan menyesuaikan dengan kebutuhan dunia. Pendidikan kemudian diarahkan untuk mampu menyelesaikan masalah luar negeri, bukannya masalah bangsa sendiri. Kebijakan-kebijakan di atas terdengar begitu menjanjikan. Secara teori, melalui kebijakan-kebijakan tersebut, akan dihasilkan pendidikan yang berkualitas. Namun, sebagaimana tertuang dalam RUU-BHP, aturan yang terlalu mendetil akan memunculkan kekacauan. Bukannya menyelesaikan masalah, hal ini justru dapat menimbulkan masalah baru. Dan dengan adanya status PTBHMN, telah membawa sebuah institusi pendidikan ke arah otonomi finansial. Konsekuensinya, dana operasional kampus ditarik dari mahasiswa dan masyarakat, karena subsidi dari pemerintah berkurang. Aset-aset perguruan tinggi juga dijadikan bisnis untuk mencari uang. Dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi, tidak dapat dipungkiri bahwa hanya masyarakat kaya saja yang mampu mengenyam pendidikan tinggi. Mereka yang miskin tidak berhak mendapatkannya. Maka bisa dipastikan akan timbul kesenjangan dalam dunia pendidikan. Walaupun beasiswa bagi yang kurang mampu masih dapat diberikan, namun hal itu akan menjadi sulit dilakukan jika institusi pendidikan tersebut mengalami krisis. Mahalnya biaya pendidikan juga akan mengarah ke pasar bebas pendidikan. Hanya yang bermodal saja yang menang. Selain persaingan di tingkat mahasiswa, juga akan muncul persaingan antarperguruan tinggi untuk mendapatkan program-pprogram Dikti karena program-program tersebut mengandung bantuan dana yang cukup besar. Yang perlu dikhawatirkan, akan timbul persaingan yang tidak sehat, yakni dengan adanya kecurangan dalam penilaian kompetensi perguruan tinggi. Akibat dari pasar bebas, ketika pasar Indonesia dikuasai asing, pendidikan Indonesia juga akan dikuasai asing pula. Maka lulusan perguruan tinggi tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan bangsanya, karena mereka diarahkan untuk menyelesaikan persoalan bangsa asing. Dan sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, pemerintah bekerja sama dengan pihak asing (Bank Dunia, Asian Development Bank). Hal ini justru memposisikan pendidikan tinggi Indonesia menjadi tidak independen lagi. Dan akan semakin menambah biaya pembayaran utang dengan adanya bunga pinjaman. Indonesia semakin tidak dapat melepaskan diri dari intervensi asing. Selain itu, dengan adanya otonomi di dunia pendidikan tinggi, semakin jelas bahwa pemerintah melepas tanggung jawabnya terhadap penyelenggaraan pendidikan di negaranya. Apalagi dengan adanya status PTBHMN yang hanya diatur PP, sehingga Departemen Keuangan tidak mengakuinya sebagai salah satu pos anggaran negara. Reformasi yang terjadi pada perguruan tinggi justru semakin menambah permasalahan bangsa, dan bukannya menyelesaikan permasalahan yang lalu. Keadaan seperti ini akan berbeda jika pemerintah Indonesia menerapkan sistem pendidikan Islam. Dalam sistem Islam, pendidikan diselenggarakan secara cuma-cuma. Pendidikan dasar dan lanjutan akan diberikan secara gratis kepada seluruh warga negara. Selain itu, akan disusun suatu kurikulum pendidikan yang Islami, untuk membangun pola pikir dan pola sikap yang Islami pada diri peserta didik. Maka, mereka akan memahami konsep halal-haram, dan bersedia mengikuti konsep tersebut. Tsaqafah Islam (ilmu yang terkait dengan kebudayaan/pemikiran Islam) akan diajarkan sejak pendidikan dasar. Ilmu sains akan diajarkan pada jenjang pendidikan tinggi. Dan tsaqafah bukan Islam atau ilmu yang bertentangan dengan Islam dipelajari pada jenjang pendidikan tinggi,, untuk diungkapkan keburukannya. Dalam sistem Islam, pendidikan diatur sepenuhnya oleh pemerintah. Masyarakat boleh menyelenggarakan pendidikan, namun kurikulum dan metodenya harus mengikuti ketetapan pemerintah. Sistem pendidikan dalam Islam juga tidak berorientasi pada nilai angka yang justru mematikan kreativitas murid. Seseorang dapat dinyatakan lulus jika telah menguasai ilmu yang dipelajarinya. Pemberian ijazah merupakan penghargaan atas kemampuan murid dalam penguasaan ilmu tersebut. Dengan diterapkannya sistem pendidikan Islam, akan membawa Indonesia menuju kebangkitan. Karena dalam sistem ini, para lulusan perguruan tinggi akan menerapkan ilmunya bagi kemajuan bangsa, bukan demi kemajuan bangsa asing seperti yang saat ini terjadi. (Sumber: Abe. 2007. Realita UGM Sebagai PT BHMN. Class Action. Yogyakarta: Advokasi BEM se-UGM. Al-Ansari, Jalal. 2004. Mengenal Sistem Islam, dari A sampai Z. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. BKLDK. 2007. Selamatkan Pendidikan Tinggi Indonesia dari Kapitalisasi dan Liberalisasi. Bogor: BKLDK Press.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar