Rabu, 22 April 2009

Menyelaraskan Mutu Pendidikan Tinggi Indonesia dengan Standar Eropa

Perkembangan pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tinggi, beberapa tahun terakhir berada pada situasi sangat memprihatinkan. Bukan hanya mutu pendidikan mengalami kemunduran, pendidikan budi pekerti pun kini dipertanyakan. Kondisi ini terjadi karena pendidikan tinggi Indonesia terlalu lama dipasung dan tidak diberi kebebasan mengembangkan kreativitas.
Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, John JOI Ihalauw, menyampaikan hal ini pada Pertemuan Peserta Kursus Reguler Lemhanas Angkatan XXXIII dengan Pimpinan PTN/PTS se-Jawa Tengah, Selasa (22/8), di Semarang. "Kita berada pada situasi yang memprihatinkan. Ambil contoh saja tahun 1960-an Indonesia mengirim dosen untuk mengajar di Perguruan Tinggi di Malaysia. Sekarang justru terbalik, mahasiswa Indonesia yang harus belajar di Malaysia," tandasnya.
Kondisi ini diperkuat Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Ir Eko Budihardjo MSc. Menurut Eko, pemasungan yang terlalu lama berdampak luas dalam dunia pendidikan tinggi.
Dia mencontohkan, betapa sulitnya perguruan tinggi membuka program baru, karena ketatnya aturan yang ditetapkan. Padahal, sudah tersedia dosen, mahasiswa, sarana dan prasana, bahkan lapangan kerja untuk lulusan itu pun sudah ada, tetapi tetap sulit diloloskan.
Ketinggalan
Eko sependapat dengan John Ihalauw mengenai kemunduran pendidikan Indonesia yang jauh ketinggalan dibanding Malaysia. Malaysia bisa maju pesat karena porsi bantuan pendidikan dari pemerintah sangat besar. "Sampai saat ini bantuan pendidikan Indonesia tidak lebih dari delapan persen dari anggaran pendapatan belanja nasional (APBN) sedangkan Malaysia 18 persen dari anggarannya," jelasnya.
Menanggapi hal ini, Direktur Kerjasama Antarlembaga dan Pemberdayaan Masyarakat Dirjen Dikti, Depdiknas, Sudarmadi MS, juga menyatakan keprihatinannya. Selain masalah budi pekerti, diakuinya jual beli gelar menjadi persoalan yang cukup besar bagi Indonesia. Sebab, meskipun telah ada aturan yang ketat, kenyataannya tetap saja ada yang melanggar. "Kita menghadapi kondisi dilematis. Bayangkan saja, saat ini hanya dengan modal Rp 5 juta orang bisa mendapat gelar doktor," tandasnya.
Sudarmadi mengatakan, yang paling sulit menghadapi otonomi daerah justru PTN, yang selama ini terbiasa menerima bantuan pusat. "Karena itu PTN sekarang harus mampu melihat peluang dalam menghadapi otonomi daerah," jelasnya. (son)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar