Jumat, 20 Maret 2009

Pengaruh Mahalnya Pendidikan Tinggi terhadap Masyarakat dan Kampus

Mengenyam pendidikan tinggi ( sarjana, megister, atau doctoral ) merupakan suatu cita-cita yang berhak dimiliki oleh setiap manusia diseluruh dunia ini. Dengan pendidikan yang tinggi setidaknya memberi harapan akan adanya perubahan taraf hidup yang lebih baik bagi masyarakat walaupun pada kenyataannya kita sering mendengar banyak sarjana yang juga menganggur, tapi kita semua sepakat kalau semua orang pasti punya cita-cita untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin. Demikian juga dengan anak-anak Aceh. Bagi anak-anak Aceh, pendidikan tinggi bukan sekedar untuk mengubah taraf hidup, melainkan suatu upaya untuk melahirkan sumber daya manusia baru yang kompeten dalam menjalankan pembangunan Aceh yang bisa dikatakan harus memulai semuanya dari awal pasca tsunami dan perjanjian damai antara pemerintah dan GAM . Namun pada kenyataannya pendidikan tinggi bagi anak-anak Aceh masih menjadi sebuah impian yang sulit untuk dicapai dengan berbagai alasan situasi dan kondisi.

Kemiskinan kita, antara beras, rumah dan pendidikan
Taraf hidup masyarakat yang masih rendah merupakan factor pemicu utama yang menyebabkan anak-anak Aceh mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tingkat kemiskinan masyarakat yang menurut gubernur Aceh mencapai angka 26,65 % ( www.nad.go.id ,28 april 2008) dan hasil penelitian world bank pada 2006 yang menempatkan Aceh sebagai provinsi kedua termiskin di Indonesia setelah papua (www.serambinews.com, 13/09/2006 ) merupakan indicator yang tentu akan sangat berpengaruh terhadap situasi pendidikan di Aceh termasuk pendidikan tinggi.

Pada tahun 2008 ini ada sekitar 65.635 siswa menengah atas / sederajat di Aceh yang mengikuti ujian nasional
(UN) (www.nad.go.id, 22 April 2008 ) dari jumlah ini pasti ada sebagian besar yang berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Tapi sayangnya ada saja alasan yang menyebabkan hal itu tidak tercapai.

Pilihan-pilihan hidup yang menghadapkan pada skala prioritas yang harus dipenuhi untuk melanjutkan hidup mungkin akan menempatkan pendidikan pada urutan terakhir, setelah kebutuhan akan beras dan kebutuhan pokok lain yang semakin hari semakin naik saja harganya menduduki peringkat pertama untuk dipenuhi. Dan menempatkan rumah sebagai pilihan kedua karena selama ini mereka sudah bosan tinggal bertahun-tahun dibarak pengungsian tanpa kejelasan nasib . Mungkin pendidikan terutama pendidikan tinggi baru akan mengisi perioritas selanjutnya itupun jika tidak ada kebutuhan lain yang lebih mendesak seperti kebutuhan akan kesehatan.

Komersialisasi pendidikan yang semakin menjadi-jadi mungkin menjadi pertimbangan lain bagi mereka yang telah mampu memenuhi kebutuhan beras dan rumah. karena pendidikan tinggi yang ditawarkan “di jual” dengan berbagai variasi harga mulai dari paket yang jutaan melalui kedok sumbangan akademik jika mereka lulus SPMB (seleksi penerimaan mahasiswa baru ) sampai puluhan juta bahkan ratusan juta dengan paket USM ( ujian saringan masuk ). Alasannya karena kampus harus mengelola kebutuhannya sendiri karena telah menjadi BHMN (badan hukum milik negara) atau mungkin sebentar lagi disebut BHP ( badan hukum pendidikan ). lalu bagaimana jika masuk perguruan swasta tentu biaya yang dikeluarkan akan lebih besar lagi karena perguruan swasta tentu memerlukan dana mandiri untuk menjalankan pendidikan di perguruan tersebut.

Informasi yang terbatas
Aceh saat ini memiliki tiga perguruan tinggi negeri dan sekitar 45 perguruan tinggi swasta (http://id.wikipedia.org). Dari jumlah tersebut sebagian besar berada di Banda Aceh. Hal ini menyebabkan banyak siswa-siswa berprestasi di daerah kesulitan dalam mengakses sarana pendidikan tersebut karena berbagai kendala. Dalam ruang lingkup yang lebih luas lagi kita juga tidak dapat memungkiri kalau perguruan tinggi favorit yang ada di Indonesia sebagian besar berada di pulau jawa bukan di pulau sumatera atau Aceh. Hal ini tentu menjadi suatu tantangan yang luar biasa bagi siswa-siswa Aceh tamatan sekolah menengah atas (SMA) yang ingin melanjutkan pendidikannya di perguruan-perguruan tinggi favorit tersebut.

kurangnya akses terhadap informasi perguruan tinggi juga turut berpengaruh pada kesan angker pendidikan tinggi di mata siswa itu sendiri. Jadi kita tidak perlu heran kalau ada siswa di Aceh yang baru tamat SMA tidak pernah tahu apa itu seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) atau ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN). Sehingga potensi-potensi yang ada di daerah ini tidak memiliki kesempatan untuk berkompetisi di skala yang lebih tinggi lagi.

Jadi percuma saja jika selama ini pemerintah atau perguruan-perguruan tinggi menggembar-gemborkan pendidikan itu berhak diakses oleh siapa saja, ada begitu banyak biaya siswa yang ditawarkan dikampus-kampus tapi sayangnya informasi tersebut mungkin hanya beredar di milis-milis kalangan tertentu atau hanya terpajang di loket-loket tata usaha jurusan di kampus masing-masing. Sementara siswa-siswa yang seharusnya mengetahui informasi malah tak pernah tahu berita-berita semacam itu.

Kampus saat ini
Lalu apa pengaruhnya semua itu terhadap kehidupan mahasiswa dikampus. Ternyata semua hambatan-hambatan tersebut berdampak pada kehidupan dikampus itu sendiri. Berbagai hambatan dan keterbatasan yang ada turut mempengaruhi mahasiswa dalam beraktivitas terutama untuk mencari pendidikan-pendidikan lain selain yang didapatkan di bangku kuliah. Pendidikan yang didapatkan di perguruan tinggi seharusnya bukan hanya berupa pendidikan yang berasal dari bangku kuliah tapi pendidikan-pendidikan lain tentang organisasi adalah kebanggaan lain dari hakikat seorang mahasiswa di perguruan tinggi.

Namun berbagai kebijakan yang telah terjadi di negeri ini mengenai kampus telah sedikit banyak berpengaruh terhadap kehidupan dikampus itu sendiri. Di beberapa kampus favorit di negeri ini misalnya, adanya perubahan status perguruan tinggi tersebut menjadi sebuah BHMN telah mempengaruhi beberapa hal terutama dari segi gaya hidup mahasiswanya. Mungkin di kampus-kampus favorit sekarang kita akan melihat fenomena yang lumrah jika parkir-parkir penuh dengan mobil mewah. Para mahasiswa menenteng laptop kemana-mana untuk mengakses internet melalui hotspot yang tersedia dengan begitu mudahnya hampir disetiap sudut kampus.

Atau fenomena lain jika kita saksikan di unit-unit kegiatan mahasiswa yang terlihat sangat sepi karena para aktivisnya sudah berkurang atau tidak ada sama sekali. Wajar memang karena para mahasiswa sudah enggan beraktivitas akibat ketatnya aturan akademik yang membatasi waktu belajar yang tidak lebih dari enam tahun jika tidak selesai maka harus di drop out (DO).

Lalu kita kembali bertanya apa kabar mahasiswa Aceh saat ini ditengah kemiskinan kita, hasrat ingin kembali membangun Aceh, masihkah kita menjadi para aktivis yang memperjuangkan kemakmuran nanggroe kita. menyalurkan aspirasi masyarakat yang saat ini masih belum mendapatkan hak-haknya. terutama hak akan pendidikan tinggi yang sampai saat ini belum terpenuhi dengan baik.

Kita boleh rela kalau halaman parkir di perguruan-perguruan tinggi favorit saat ini penuh dengan mobil-mobil mewah. Kita juga boleh rela jika disetiap sudut kampus-kampus terkenal di negeri ini para mahasiswa duduk dengan laptop keluaran terbarunya untuk mengakses bahan-bahan kuliah secara mudah melalui fasilitas hotspot yang tersedia dimana-mana. Tapi apakah kita rela jika ada seorang anak yang pintar di pedalaman Aceh putus sekolah gara-gara harus membantu orang tuanya ke ladang . Seorang anak di barak pengungsian tidak berani melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi karena tidak mampu membayar uang masuk yang mencapai puluhan juta nilainya

[Zarkasyi, Mahasiswa Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar